Mohon tunggu...
Parhorasan Situmorang
Parhorasan Situmorang Mohon Tunggu... Penulis - Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meletakkan Romo Mangun di Menara Gading Kedap Suara

27 Juni 2017   15:46 Diperbarui: 27 Juni 2017   16:05 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Romo Mangun salah seorang Guru Bangsa yang selalu mendorong generasi muda berdiri di depan. (Foto: dok. pribadi)

Salah satu kredo Romo Mangunwijaya tentang anak muda, yang konsisten diungkapkannya baik melalui pernyataan maupun dalam aksi riil adalah selalu mendorong anak-anak muda 'berdiri' di depan. Pernyataannya melegitimasi sikap pribadinya tentang masa depan bangsa, salah satunya tercermin dalam sambutannya berjudul Fokus Perjuangan Kita Saat Ini dan Saat Mendatang. Pada bagian pembuka sambutan yang diberikan dalam sebuah pertemuan orang-orang muda ini, Romo Mangunwijaya menyampaikan:

"Semoga Damai, Rahmat serta Berkat Tuhan selalu beserta kalian. Saudari-saudara Generasi Muda,

Terimakasih saya ucapkan bahwa saya boleh menerima kepercayaan berdiri di sini. Sebetulnya jujur saya katakan, orang setua saya ini sudah tidak pada tempatnya untuk memberi suatu catatan kunci untuk pertemuan kaum muda yang tentulah punya gelora, persepsi serta siasat lain dari kami.

Hari ini dan hari depan Indonesia pada hakekatnya hanya dapat menanti konsepsi serta strategi pengolahannya oleh generasi muda. Ini empiris selalu terjadi di mana-mana, baik dalam dunia politik maupun sosial, ilmu pengetahuan, seni, gaya hidup, mode, dan bidang-bidang kehidupan lain."

Pada bagian lain dari sambutannya Romo Mangun menegaskan posisi strategis anak-anak muda:

"Yang mengubah paradigma fisika nuklir dan astro fisika ialah Einstein muda!
Oleh karena itu, bila saya diundang untuk berdiri di sini, jelaslah saya tidak merasa terpanggil untuk memberi nasehat. Paling hanyalah mengajukan beberapa pertimbangan variabel-variabel obyektif yang mungkin dapat berguna bagi saudari-saudara muda nanti untuk mengambil kesimpulan, keputusan, atau tekat operasional yang realistik. Tanpa mengabaikan idealisme muda yang menjadi penggeraknya."

Sedangkan dalam aksi riil, Romo Mangun konsentrasi di pendidikan dasar, seperti mendirikan sekolah dasar dan menulis banyak artikel yang mengkritisi perihal pendidikan. Bagi dia pendidikan dasar sebagai bagian dari generasi muda adalah sumber mata air yang harus dijaga supaya ketika mereka menjadi 'air yang mengalir' tetap jernih sejuk bermanfaat mampu sebagai agen perubahan yang kreatif berintegritas.

***

Pada era sosial media sekarang ini banyak pihak yang gelisah dan lalu berupaya membahanakan bahwa nilai-nilai Mangunwijaya perlu dan masih relevan untuk dihadirkan. Pada sisi lain seiring hadir keluhan bahwa sosok role model guru bangsa seperti Romo Mangun semakin sedikit yang mengenal apalagi yang mengenalinya. Terutama relatif kurang populer di kalangan anak-anak muda generasi Y dan Z yang notabene adalah pemilik sah masa depan negeri dan alam semesta ini. Mereka tidak mengenal sosok sang guru bangsa, apa lagi memahami nilai-nilai keteladanannya. Bagaimana mengharapkan mereka bisa meneladani jika trackrecord kebaikan sang guru bangsa tidak familiar di pikiran dan di hati nurani mereka?

Maka sejumlah orang dewasa, baik yang dulu pernah berkerjasama langsung dengan Romo Mangunwijaya, para fans berat, dan para pembelajar yang mengenal sosok Mangunwijaya dari buku-bukunya melakukan sejumlah aksi. Seperti kegiatan menyambut momen hari lahir Romo Mangun yang ke sebelas windu (88 tahun) pada 6 Mei 2017 yang lalu. 

Mulai dari penerbitan buku, membedah, melaunchingnya. Ada juga yang melontarkan wacana segar sekiranya ada sutradara muda tertarik membuat film yang berkisah tentang Romo Mangun. Ada pula gabungan sejumlah komunitas mengadakan rangkaian kegiatan yang durasi masa penyelenggaraannya berbulan-bulan: lomba esay, diskusi, dan berbagai pernak-pernik yang seyogyanya melipat-gandakan ruang hadir sang guru bangsa di benak anak-anak muda.

Namun elok juga apabila tidak memungkiri bahwa sebagian kegiatan tersebut terjebak atau menjebakkan diri (mungkin tanpa disadari) ke dalam cakrawala nostalgia, sehingga makna dan pemaknaan hanya berputar-putar di seputar kegiatan diadakan. Makna dan gaungnya sekedar bergelora di areal lokasi kegiatan berlangsung. Menjadi inspirasi yang cenderung menjadi kata benda, bukan kata kerja yang berkesinambungan ketika peserta beranjak dari lokasi penyelenggaraan.

Semisal, kegiatan penerbitan buku yang layak diapresiasi karena hakekatnya mereaktualisasi sosok Mangunwijaya. Kegiatan ini sebenarnya bertujuan mulia mengenalkan kepada sebanyak-banyaknya anak muda (baca: generasi Y dan Z). Tetapi pada tataran riilnya, terkesan ironis, kurang memiliki benang merah yang kukuh dengan pikiran dan hati nurani anak-anak muda tersebut. Ini dapat ditelusuri mulai sesi proses penulisan buku yang 'cuma' mengajak para generasi senior dan kemudian meluncurkan buku itu dengan (juga) hanya mengajak hadir dominan generasi senior. Hanya sedikit anak-anak muda yang hadir.

Padahal apabila membaca (lagi) secara serius kegelisahan dan keluhan 'orang-orang dewasa' yang ingin mereaktualisasi nilai-nilai Mangunwijaya, jika menggunakan rumus: dari, oleh, dan untuk, maka yang tertangkap adalah buku dari generasi tua, oleh generasi tua, untuk (diberikan inspirasi peduli aktif kreatif kepada) anak-anak muda. Tetapi terealisasi adalah buku dari generasi tua, oleh generasi tua, untuk generasi tua. Artinya, meskipun (tidak dilarang) para penulis orang dewasa mendominasi, idealnya tetap ada perwakilan generasi muda yang ikut menulis di dalam buku itu. Toh, banyak anak muda yang memiliki kemampuan mumpuni dan hebat dalam menuangkan buah pikirannya. Keterlibatan anak muda, selain memberi saluran bagi suara anak muda sejajar dengan orang dewasa juga menjadi penambah daya tarik buku itu untuk dibaca generasi muda.

Seratus persen yakin kita semua sepakat bahwa nilai-nilai Mangunwijaya perlu dan sangat relevan direaktualisasi melalui sebanyak-banyaknya kegiatan dalam berbagai ragam aksi kreatif. Namun membaca realisasi yang tertangkap adalah kita pelan-pelan (tanpa atau belum menyadari) malah meletakkan sosok Mangunwijaya di menara gading kedap suara. Justru menjadi sosok role model yang susah diakses anak-anak muda dan tidak bisa 'didengarkan' inspirasinya oleh generasi Y dan Z. Artinya, perlu bersinerji lebih banyak pihak, terpenting sebaiknya semua kegiatan harus melibatkan anak-anak muda, baik dalam proses maupun ketika meresapi mengonsumsi hasil riil kegiatan itu. 

Para generasi senior, (meminjam kata-kata Romo Mangun), sebaiknya tut wuri handayani, dari belakang memberi dorongan dan dukungan. Membuka ruang eksplorasi sebesar-besarnya bagi generasi muda. Melibatkan lebih banyak anak muda adalah kunci memastikan Romo Mangunwijaya dan nilai-nilai keteladannya tidak berada di menara gading apalagi menara gading kedap suara. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun