Seluruh jalan raya di semua kota memiliki wajah. Wajah jalan ikut menentukan seperti apa “rasa” jalan itu. Ketika kita memasuki jalan raya di sebuah pusat kota, saat bersamaan wajah jalan itupun memasuki benak pikiran kita. Wajah sebuah jalan termasuk deretan pertokoan di kedua sisinya. Deretan pertokoan yang menyatu memanjang sepanjang sisi jalan bagaikan membentuk dinding. Apabila menyusuri jalan maka kita serasa berjalan di sebuah terowongan tanpa atap. Dinding ini yang kadangkala tidak disadari padahal ikut membentuk citra yang memasuki pikiran dan benak kita. Citra yang mempengaruhi rasa kepuasan berjalan-jalan menyusuri sepanjang jalan.
Seperti halnya jalan raya populer di kota lain, jalan Malioboro Yogyakarta memiliki dua dinding memanjang di hampir sepanjang jalan. Pertokoan dan perkantoran pemerintah menyatu membentuk dinding abstrak di penglihatan pengunjung. Wajah pertokoan dengan segala aksesoris yang membalutnya menjadi bagian wajah Malioboro. Menjadi bagian rasa jalan yang dinikmati para pengunjung satu demi satu merumuskan kesan bagi pengunjung.
Bulan Maret 2017 ini Malioboro memasuki tahap kedua revitalisasi. Pemerintah sebaiknya tidak melupakan merevitalisasi wajah pertokoan sebagai bagian wajah jalan Malioboro. Membenahi wajah pertokoan tidak kalah penting dibanding pembenahan trotoar yang sudah dilakukan pada revitalisasi tahap pertama dengan menghadirkan kursi-kursi. Malioboro bukanlah sebatas jalan raya datar. Tetapi bangunan di sisi kanan dan kirinya adalah bagian satu paket sebagai wajah Malioboro. Keartistikan dan keasrian wajah bangunan terutama pertokoan itu perlu dijaga dan diberi aksesoris berkesan. Seperti dinding sebuah rumah haruslah memenuhi nilai artistik, komunikatif, bersahabat dengan pandangan manusia yang melihatnya.
Intervensi minimal dari pemerintah daerah
Di tengah keramaian Malioboro, apabila kita meluangkan waktu mencermati satu demi satu wajah toko di sana dengan lebih tenang dapat menemukan wajah pertokoan secara utuh. Kesan yang tertangkap adalah wajah pertokoan ini belumlah wajah optimal jalan populer sekelas Malioboro yang sudah mendunia. Misalnya, coba periksa plang nama toko. Selain sebagai penanda identitas bagi toko, plang nama ini adalah aksesoris yang ikut mengartistikkan jalan Malioboro. Artinya plang nama itu tidak boleh
Ada lagi plang nama yang tampak dipasang terbalik. Belum lagi yang dibiarkan berkarat. Barangkali terlalu asyik berdagang sehingga lupa situasi terkini plang nama tokonya. Semisal, sipemilik toko tidak mau mengganti secara sukarela sementara belum tersedia peraturan daerah yang bisa memaksa pemilik toko, maka pemerintah bisa mengambil tindakan bijak bestari memberi subsidi plang nama. Kebijakan ini memang boleh jadi mendorong oranglain mempertanyakan mengapa toko diberi subsidi? Padahal sipemilik toko relatif mampu secara finansial. Tentu bisa diberi penjelasan bahwa sebenarnya ini bukan memberi subsidi kepada pemilik toko. Melainkan itu adalah upaya win win solution. Sesungguhnya pemerintah daerah memperlakukan sebagaimana aksesoris kota lainnya cuma bedanya plang nama itu melekat menjadi bagian pertokoan milik pribadi. Jadi pemerintah bukan mensubsidi pemilik toko melainkan pemerintah bertanggungjawab mendandani semua bagian yang ikut mempengaruhi wajah Malioboro.
Untuk menyegarkan gambaran, kita perlu membandingkan wajah Malioboro sebelum revitalisasi tahap pertama dengan keadaan yang sekarang. Dulu parkir sepedamotor memadati sisi jalan dan itulah bagian wajah jalan Malioboro saat itu yang dinikmati pengunjung dan turis. Sekarang parkir motor sudah dibersihkan berganti jejeran kursi-kursi bagus yang selain menjadi tempat duduk juga adalah aksesoris Malioboro. Malioboro berubah kini lebih cerlang cemerlang. Senang melihat perubahan ini.
Tentu bisa dibayangkan perubahan yang serupa ketika wajah pertokoan ikut direvitalisasi. Sekarang ini wajah pertokoan dengan plang nama yang masih kurang beraturan apabila nanti ikut direvitalisasi tentu menghadirkan wajah Malioboro lebih cemerlang dengan wajah pertokoan yang menyenangkan. Coba kita membayangkan ketika tidak ada lagi plang nama yang terbuat dari bahan spanduk yang terkesan seperti jemuran selain keawetannya diragukan. Tidak ada lagi plang nama yang berkarat. Tidak ada lagi plang nama yang dipasang terbalik. Para turis lokal maupun mancanegara lebih leluasa dan utuh merasakan wajah Malioboro yang seharusnya.
Deretan pertokoan adalah dinding sebuah jalan raya. Dinding itu bagian wajah jalan. Wajah yang mempengaruhi rasa batin pengunjung saat meresapi detil sebuah pusat kota. Meskipun kadangkala tidak disadari, wajah pertokoan yang berderet ikut membentuk citra sebuah kota memasuki benak kita sebagai pengunjung. Itu akumulasi pengalaman yang ikut kita bawa pulang ke rumah sebagai oleh-oleh tersimpan di dalam benak menjadi kenangan. Kepuasan kita lebih utuh direndam di dalam batin, dan itu membuat kita bertambah mencintai Malioboro. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H