Lalu pertanyaannya adalah: apakah tidak betul mengundang pakar bergelar profesor doktor? Jawabannya adalah: Bukan tidak betul, melainkan kurang lengkap apabila kita memperbincangkan Mangunwijaya. Mangunwijaya sosok bersahaja dan telah mengalami hal-hal ‘strategis hati nurani’ dalam banyak peristiwa yang membentuk pribadinya menjadi sosok sangat peduli kepada rakyat kecil.
Ketika dia di masa awal mendirikan SD Kanisius Eksperimental Mangunan dia mengajak seorang warga Kali Code bernama Ari menjadi guru. Romo Mangun mengetahui bahwa Ari bukanlah lulusan universitas, namun Romo Mangun memahami kapasitas dan kemampuan Ari mengajar sesuai konsep pendidikan Mangunwijaya. Ari diberikan tugas mulia sesuai kapasitasnya dan itu karena Romo Mangun memahami kemampuan Ari bukan dari deretan gelar akademis. Itu juga yang dimaknai dari penjabaran Romo Mangun tentang konsep pendidikannya. Dia menjelaskan yang menjadi rolemodel adalah Adam Malik yang cuma tamat sekolah dasar tetapi mampu menjadi diplomat ulung, menguasai banyak bahasa asing, menjadi Wakil Presiden ketiga Republik Indonesia, dan pernah menjadi Ketua Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Artinya jelas ada rujukan untuk mengajak Ado Bintoro menjadi narasumber, pun dengan mengajaknya, secara bersamaan kita sudah menanggalkan mindset berpikir label gelar akademis yang notabene berseberangan dengan pola pikir Romo Mangun. Apabila mengundang narasumber hanya berdasar label gelar akademis justru memenara gadingkan Mangunwijaya dan beserta nilai-nilainya.
Apalagi Ado Bintoro memiliki kapasitas sangat mumpuni sebagai ‘gudang harta karun nilai-nilai Mangunwijaya’ yang tidak dipunyai oleh narasumber yang lain.
Ado Bintoro menjadi spesifik dan signifikan karena selama dua tahun bersama Romo Mangun di Wisma Kuwera 14 (rumah Romo Mangun), teman mangobrol ketika santai dan merasa ‘kesunyian’, teman berbincang ketika berdua membersihkan kolam, teman makan dengan lauk bersahaja, teman bercanda, dan teman untuk bertutur lemah lembut dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami. Ado Bintoro juga sudah mengalami masa pengendapan. Seperti penuturannya, “Saya dulu itu mungkin karena masih bodoh, cuma mendengarkan ucapan Romo Mangun. Belum terlalu memahami apa maksud Romo Mangun. Namun sekarang sesudah berjarak waktu dan merenung, dan ditambah semakin banyak membaca tulisan Romo Mangun, saya mengalami pemahaman dan tercerahkan mengenai maksud tujuan Romo Mangun.”
*
Membandingkan pengalaman berbincang-bincang dengan Ado Bintoro dan pengalaman mendengarkan para narasumber bergelar akademis berbicara di forum-forum mengkonfirmasi bahwa materi yang diceritakan Ado Bintoro sangat berbobot, tidak kalah dengan para narasumber bergelar akademis. Ado Bintoro sangat layak menghadirkan sisi mengejutkan Romo Mangun, namun sampai kini sang murid tidak pernah diundang ke forum yang justru memperbincangkan sosok dan misi mulia sang guru.
Jadi apabila memang berniat optimal menghidupkan nilai-nilai Mangunwijaya, sudahlah niscaya mengundang dan tidak lagi (masih) melupakan Ado Bintoro. Tanpa mengundang Ado Bintoro tetaplah kurang lengkap, seperti makanan kurang garam karena ada sisi-sisi inspiratif dari Mangunwijaya yang tidak diketahui dan dipahami oleh narasumber lain yang bergelar akademis itu. Justru mengundang Ado Bintoro, forum yang diselenggarakan menjadi lebih garam menggarami dunia. Alasan lainnya yang mulia adalah ikut membantu Ado Bintoro membagikan “harta karun’’ yang tersimpan di memorinya. Sekali lagi, silahkan mengundang sang murid: Ado Bintoro. Terimakasih. ***