Mohon tunggu...
Parhorasan Situmorang
Parhorasan Situmorang Mohon Tunggu... Penulis - Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melawan Lupa: Sekali Lagi, Ini Murid Romo Mangun yang Masih Dilupakan

28 Februari 2017   15:45 Diperbarui: 1 Maret 2017   02:00 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ado Bintoro murid Romo Mangun yang bisa menginspirasi (Foto: dok. pribadi)

“Murid Romo Mangunwijaya yang lulus memahami konsep pendidikan hanya satu orang. Dia adalah Sri Wahyaningsih.”

Sri Wahyaningsih bersama suaminya menggagas Sanggar Anak Alam di Nitiprayan, Ngestiharjo, Kabupaten Bantul. Pupuk konsep pendidikan ala Romo Mangun disebarkan di sana. Menumbuh dan menyuburkembangkan anak secara manusiawi dan tidak kekanak-kanakan atau sok dewasa. Romo Mangun merupakan guru sekaligus sahabat bagi Sri Wahyaningsih bahkan sejak belum menikah. Romo Mangun acapkali berkunjung ke rumah mereka ketika Sanggar Anak Alam masih berlokasi di Banjarnegara Jawa Tengah. Mereka berkolaborasi merumuskan ide kreatif dan inspiratif pendidikan anak-anak.

Niscaya menghidupkan kembali gagasan Romo Mangun merupakan upaya yang bagus dan niat yang mulia. Bagaimanapun bangsa Indonesia yang besar ini memerlukan sosok guru bangsa untuk diteladani. Romo Mangun merupakan salah seorang dari guru bangsa itu. Beragam kegiatan mampu menjadi saluran mereaktualisasikan nilai-nilai Mangunwijaya. Melalui diskusi ringan terbatas di rumahnya Wisma Kuwera 14 Yogyakarta, mengajak anak-anak muda menulis buku, mengadakan lomba, dan sampai menyelenggarakan forum di hotel berbintang. Semuanya bagus, mulia, dan berdampak positif. Namun tetaplah kurang lengkap dan kurang pas apabila memperbincangkan Romo Mangun sebatas menghadirkan narasumber yang bergelar akademis. Banyak alasan yang mengkonfirmasi ini.

Pertama, memperbincangkan Mangunwijaya memerlukan juru bicara masa lalu. Juru bicara masa lalu yang efektif tentulah yang mengalami langsung pertemuan dengan sosok sehari-hari Mangunwijaya. Bukan yang sekedar pembaca tulisan Mangunwijaya. Serta memiliki kemampuan menjelaskan secara bening masa lalu itu.

Ado Bintoro salah seorang murid Romo Mangun merupakan sosok referesentatif untuk mendaratkan lagi secara lengkap optimal sosok Mangunwijaya. Ado Bintoro, sang murid memiliki daya rekam ular kobra, tajam dan akurat. Ingatannya sangat bercahaya merekam ucapan dan sikap sang guru. Ini didukung kemampuan verbalnya mengalirkan kisah duapuluh tahun lalu dengan bening jernih. Siapapun niscaya merasa enak, empuk mendengarkannya, dan materi yang disampaikannya bermutu. Dia mumpuni menjadi juru bicara masa lalu, kita seolah diajak mengalami sendiri langsung peristiwa bertatap wajah dengan Romo Mangun. Lebih bulat purnama mengoptimalkan inspirasi.

Tidak berlebihan jika menggambarkan otak Ado Bintoro seperti kamera berdaya rekam tinggi yang mampu memotret secara detail meski dia hanya lulusan formal kelas enam sekolah dasar. Barangkali status lulusan kelas enam sekolah dasar inilah yang membuat para penyelenggara diskusi atau forum terjebak apriori: terkesan meremehkan. Padahal Ado Bintoro bisa diajak mengeksplorasi nilai-nilai Mangunwijaya bahkan melebihi para pakar bergelar profesor doktor sekalipun.

Coba simak apa komentarnya setelah membaca buku Saya Ingin Membalas Utang Kepada Rakyat. Dia mengatakan, “Ketika membaca judul di sampulnya saja, seharusnya orang sudah memahami apa maknanya.” Kemudian dia mengeluarkan kesimpulan mengejutkan, “Bahwa sebenarnya yang dimaksud rakyat oleh Romo Mangun adalah rakyat kecil.” Itu kesimpulan seorang lulusan kelas enam sekolah dasar, sang murid Romo Mangun. Ado Bintoro bukan cuma membaca buku tulisan Romo Mangun, tetapi dia berkesempatan ‘membaca’ Mangunwijaya. Dia selama dua tahun menemani sang guru berbagi ‘curhat’ dan pengalaman berinteraksi dengan banyak orang dan cerita tentang pertemuan sang guru dengan tokoh sekelas presiden.

Atau renungkan dalam-dalam simpul pendapatnya, bahwa, “Murid Romo Mangunwijaya yang lulus memahami konsep pendidikan hanya satu orang. Dia adalah Sri Wahyaningsih.” Kata-kata yang mengawali tulisan ini memang diucapkan Ado Bintoro. Ucapan ini tentu dari sebuah proses perenungan mendalam.

Kedua, inti misi besar Romo Mangun, sebagaimana pernah diujarkannya adalah bagaimana mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk menemukan jatidirinya. Dengan mengajak sang murid ini serupa ikut mengejewantahkan misi besar tersebut: menemukan jatidirinya.

Ado Bintoro adalah murid yang menyerap banyak inspirasi dan pesan moral secara langsung dari sang guru. Dia sudah membagikan sebagian inspirasi dan pesan moral itu melalui buku yang ditulisnya Menggambar Romo Mangun dari Samping Kanan. Di dalam buku yang dua tahun lalu diluncurkan di Gedung Kompas Yogyakarta ini, Ado Bintoro melukiskan sosok sang guru dengan sangat pas: lampu 900 watt. Lampu yang mencahayai dirinya dari kegelapan yang memindahkan dirinya dari ketidakterangan menjadi terang benderang. Romo Mangun cahaya yang ‘melampui’ dan membawanya ‘melampaui’ keterbatasan fisik.

Ketiga, karena untuk menangkap secara benar nilai-nilai Mangunwijaya idealnya mengenal dan mengenali kepribadian Mangunwijaya. Apalagi jika membawa misi menghidupkan kembali gagasan Mangunwijaya, seharusnya berempati dengan pribadi Mangunwijaya sendiri, mengedepankan anak-anak muda, peduli rakyat miskin, tidak berada di menara gading teori, dan mengidolakan sosok seperti Adam Malik yang bukan lulusan perguruan tinggi. Artinya tidak berkutat seputar mengundang pakar karena dilabeli gelar akademis semata.

Lalu pertanyaannya adalah: apakah tidak betul mengundang pakar bergelar profesor doktor? Jawabannya adalah: Bukan tidak betul, melainkan kurang lengkap apabila kita memperbincangkan Mangunwijaya. Mangunwijaya sosok bersahaja dan telah mengalami hal-hal ‘strategis hati nurani’ dalam banyak peristiwa yang membentuk pribadinya menjadi sosok sangat peduli kepada rakyat kecil.

Ketika dia di masa awal mendirikan SD Kanisius Eksperimental Mangunan dia mengajak seorang warga Kali Code bernama Ari menjadi guru. Romo Mangun mengetahui bahwa Ari bukanlah lulusan universitas, namun Romo Mangun memahami kapasitas dan kemampuan Ari mengajar sesuai konsep pendidikan  Mangunwijaya. Ari diberikan tugas mulia sesuai kapasitasnya dan itu karena Romo Mangun memahami kemampuan Ari bukan dari deretan gelar akademis. Itu juga yang dimaknai dari penjabaran Romo Mangun tentang konsep pendidikannya. Dia menjelaskan yang menjadi rolemodel adalah Adam Malik yang cuma tamat sekolah dasar tetapi mampu menjadi diplomat ulung, menguasai banyak bahasa asing, menjadi Wakil Presiden ketiga Republik Indonesia, dan pernah menjadi Ketua Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Artinya jelas ada rujukan untuk mengajak Ado Bintoro menjadi narasumber, pun dengan mengajaknya, secara bersamaan kita sudah menanggalkan mindset berpikir label gelar akademis yang notabene berseberangan dengan pola pikir Romo Mangun. Apabila mengundang narasumber hanya berdasar label gelar akademis justru memenara gadingkan Mangunwijaya dan beserta nilai-nilainya.

Apalagi Ado Bintoro memiliki kapasitas sangat mumpuni sebagai ‘gudang harta karun nilai-nilai Mangunwijaya’ yang tidak dipunyai oleh narasumber yang lain.

Ado Bintoro menjadi spesifik dan signifikan karena selama dua tahun bersama Romo Mangun di Wisma Kuwera 14 (rumah Romo Mangun), teman mangobrol ketika santai dan merasa ‘kesunyian’, teman berbincang ketika berdua membersihkan kolam, teman makan dengan lauk bersahaja, teman bercanda, dan teman untuk bertutur lemah lembut dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami. Ado Bintoro juga sudah mengalami masa pengendapan. Seperti penuturannya, “Saya dulu itu mungkin karena masih bodoh, cuma mendengarkan ucapan Romo Mangun. Belum terlalu memahami apa maksud Romo Mangun. Namun sekarang sesudah berjarak waktu dan merenung, dan ditambah semakin banyak membaca tulisan Romo Mangun, saya mengalami pemahaman dan tercerahkan mengenai maksud tujuan Romo Mangun.”

*

Membandingkan pengalaman berbincang-bincang dengan Ado Bintoro dan pengalaman mendengarkan para narasumber bergelar akademis berbicara di forum-forum mengkonfirmasi bahwa materi yang diceritakan Ado Bintoro sangat berbobot, tidak kalah dengan para narasumber bergelar akademis. Ado Bintoro sangat layak menghadirkan sisi mengejutkan Romo Mangun, namun sampai kini sang murid tidak pernah diundang ke forum yang justru memperbincangkan sosok dan misi mulia sang guru.

Jadi apabila memang berniat optimal menghidupkan nilai-nilai Mangunwijaya, sudahlah niscaya mengundang dan tidak lagi (masih) melupakan Ado Bintoro. Tanpa mengundang Ado Bintoro tetaplah kurang lengkap, seperti makanan kurang garam karena ada sisi-sisi inspiratif dari Mangunwijaya yang tidak diketahui dan dipahami oleh narasumber lain yang bergelar akademis itu. Justru mengundang Ado Bintoro, forum yang diselenggarakan menjadi lebih garam menggarami dunia. Alasan lainnya yang mulia adalah ikut membantu Ado Bintoro membagikan “harta karun’’ yang tersimpan di memorinya. Sekali lagi, silahkan mengundang sang murid: Ado Bintoro. Terimakasih. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun