Ada seorang ibu selalu menyediakan stok cokelat enak manis di laci lemari. Ketika ibu-ibu tetangga memilih menggunakan suara dikeraskan dan mungkin cubitan pukulan ketika memarahi anak mereka yang berbuat kesalahan, dia akan memberikan cokelat enak itu kepada anaknya jika melakukan kesalahan. Bagi tetangga sikap itu terkesan memanjakan si anak, aneh, tetapi si ibu sudah menyediakan jawaban:
“Ini cara terbaik saya berkomunikasi dengan anak-anak saya. Baik ketika anak-anak saya perlu diapresiasi karena prestasi yang diraih. Atau ketika anak-anak saya perlu ditegur karena telah berbuat kesalahan. Ya, barangkali ada potensi membuat mereka menjadi manja. Namun saya percaya, ketika kita memberikan karena hati bukan niat iming-iming dan disertai dialog lembut nan syahdu, maka cokelat itu adalah penguat pesan yang dalam merasuk ke batin si anak. Setiap anak memiliki hati lebih luas dari lapangan sepakbola. Bicaralah dengan anak-anak menggunakan bahasa hati. Saya tidak ingin mewariskan rekaman kekerasan di rongga pikiran anak saya. Seorang anak itu akan tumbuh menjadi dewasa. Rekaman amarah dan kekerasan yang dirasakan ketika masih kecil akan mereka bawa terus sampai dewasa. Saya ingin anak-anak saya mengingat ibunya yang asyik-asyik saja. Bagi saya anak bukan tong sampah emosi. Kita harus bisa membedakan mana sebenarnya marah yang menjadi fasilitas untuk mengingatkan dan mengkoreksi perbuatan salah anak, dan mana sebenarnya sekedar pelampiasan emosi orangtua. Memberikan cokelat enak manis membantu saya lepas dari kemungkinan menjadikan anak-anak saya sebagai tong sampah emosi saya.” ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H