Di peta sastra Indonesia, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya dikenal luas sebagai novelis mumpuni, tetapi tidak dikenal sebagai penyair. Salah satu puisinya yang terlacak adalah puisi yang berada satu kanvas dengan lukisan yang dibuatnya. Pada lukisan itu di hamparan tampak seorang manusia bernama Thalib berdiri, sendirian, ada siluet bayangan tubuhnya di pantai. Di hadapan si Thalib, ada goresan pena Mangunwijaya:
Hening ingin di bising badai
Nahkoda
Kan menyerah
Terundung tanya damba damai
Rahmat di balik gelisah
Menyentuh
Si Thalib
Setia satu-satunya syukur
Puisi “kata-kata” yang ditulis Mangunwijaya memang sedikit. Namun, apabila kita menyimak filosofi Mangunwijaya ketika mengarsiteki sebuah bangunan, dan cara dia memandang sebuah bangunan, serta defenisi puisi, sesungguhnya Mangunwijaya adalah penyair besar dengan puluhan karya puisi yang bahkan mendapat penghargaan internasional, salah salah satunya di kawasan Kali Code Yogyakarta yang meraih penghargaan Aga Khan. Karya arsitekturnya di Kali Code adalah puisi.
Puisi tidak di sisi lawan prosa, tetapi di sisi oposisi terhadap yang wadaq teknis kalkulatif melulu. Wastu pada ketiga-tiganya, teknik, prosa, puisi. Tetapi bila arsitektur wastu ingin berpredikat manusiawi berkualitatif tinggi, ia tak pernah akan melupakan puisi. Puisi yang telah menjadi wastu.
Mangunwijaya menggoreskan anggitan kalimat enerjik ini di halaman belakang buku Wastu Citra, buku arsitektur yang ditulisnya dengan bahasa ringan sarat rasa sastra. Buku tebal berukuran A3 yang diterbitkan Gramedia Jakarta ini menjadi buku wajib bagi mahasiwa jurusan arsitektur semester awal. Namun jujur, sebenarnya buku ini wajib dibaca oleh semua manusia lintas disiplin ilmu. Meskipun diniatkan membahas arsitektur, muatan buku ini kental sejarah dan ada taburan bumbu filsafat, kita diajak jalan-jalan ke pelosok dunia, termasuk menjenguk masa silam. Membaca buku ini otak kita menjadi kenyang. Buku ini puitis.
Guna dan citra
Bagi Mangunwijaya, arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. Bukan dalam kemewahan bahan atau tinggi teknologinya letak harganya. Bahan-bahan yang sederhana justru lebih mampu mencerminkan refleksi keindahan puisinya, karena lebih bersih dari godaan maupun kepongahan.
Perihal guna dan citra, dia secara lugas dan jernih memaparkan dalam bukunya yang lain Pasal-Pasal Penghantar FisikaBangunan, diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Gramedia Jakarta, cetakan pertama tahun 1980.
Dalam buku ini Mangunwijaya mengekspor pemikirannya secara lugas dan memukau:
“Bangunan, biar benda mati, namun tidak berarti tak “berjiwa”. Rumah yang kita bangun ialah rumah manusia. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang sebenarnya selalu dinafasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu dan cita-citanya. Rumah selalu adalah citra sang manusia pembangunnya. Seperti pakaian kita juga. Dari pakaian, oranglain dapat mengambil kesimpulan banyak tentang watak sikap si pembuatnya, tentang cita-citanya yang mulia atau kekosongannya. Tidak berbeda dengan dari pakaian, rumah mem-BAHASAkan diri kita. Ada rumah latah, ada rumah yang manis, rumah yang keramat, ya bahkan ada rumah yang gila. Tentulah itu datang dari dia yang membuatnya.
Maka dalam membangun rumah atau bangunan lain, ada dua lingkungan masalah yang perlu kita perhatikan: lingkungan masalah guna dan lingkungan masalah citra. Perkataan guna menunjuk pada pemanfaatan yang diperoleh. Guna dalam arti kata aslinya tidak hanya berarti bermanfaat untung materiil belaka, tetapi lebih dari itu: punya daya yang menyebabkan kita bisa hidup lebih meningkat.
Citra sebetulnya hanya menunjuk suatu gambaran (image), suatu kesan penghayatan yang merangkap arti bagi seseorang. Citra gedung istana yang megah besar tentulah melambangkan kemegahan juga. Citra tidak jauh sekali dari guna, tetapi lebih bertingkat sprituil, lebih menyangkut derajat dan martabat manusia. Citra menunjuk pada tingkat kebudayaan sedangkan guna lebih menuding pada segi peradaban. Citra, cahaya pantulan jiwa dan cita-cita kita. Ia adalah lambang yang “membahasakan” segala yang manusiawi, indah, dan agung dari dia yang membangunnya; kesederhanaan dan kewajarannya yang memperteguh hati setiap manusia. Rumah memang kita gunakan, namun lebih dari itu, rumah adalah cermin dan bahasa kemanusiaan kita yang bermartabat.”
Sepertinya ini menjadi kredo arsitekturnya Mangunwijaya karena pemikiran ini disampaikan lagi pada buku Wastu Citra.
*
Kredo ini memastikan bahwa ketika Mangunwijaya merancang sebuah bangunan maka sudah sejak oret-oret pertama dia meresapi selayaknya menulis puisi. Juga ketika memandangi sebuah bangunan karya arsitek lain, Mangunwijaya selayaknya menikmati sebuah puisi, menambah keniscayaan ini.
Tatkala memandangi candi Borubudur, inilah yang menyerbak di benak Mangunwijaya, “Simbolisasi ihktiar hidup itu sangat bagus dan agung diekspresikan dalam candi Borubudur, yang bercitra gunung dengan puncak yang memucuk; dari basis yang luas dan serba penuh bentuk ke arah puncak yang semakin menyempit meruncing, semakin polos dan hening. Sehingga akhirnya seluruh massa materi itu tiba di puncak tertinggi stupa sentral dan memucuk menghilang ke keheningan langit hampa, ke dalam hampa yang dalam kepercayaan India, pada hakikatnya suatu kepenuhan. Kepenuhan sejati yang tidak teraba, tidak terlihat, hening, di mana maya sudah diatasi, dan cakra wahyu, yang menghabisi segala yang ada dalam perputaran ulangnya, dapat dilepas abadi.”
Simak juga “pembacaannya” terhadap Gedung Perpustakaan Beineke untuk naskah-naskah dan buku-buku kuno, Universitas Yale, New Haven USA, Mangunwijaya menarasikan, “Kubus dengan dinding-dinding pelat dobel dari pualam tipis, sehingga pada waktu siang sinar-sinar matahari masih menembus dan menerangi ruang perpustakaan dengan cahaya buram, dan pada malam hari seluruh gedung bercahaya bagaikan api unggun geometrik.”
Sedangkan ketika meresapi bangunan gereja Ziarah Ronchamps di Perancis Timur. Mangunwijaya menyebut karya Le Corbusier arsitek besar abad pertengahan itu, “Sebagai tercitra dalam bentuk-bentuk arsitektural yang arkhaik (asli alami) sangat polos sederhana, bahkan kasar, namun penuh “puisi”.
*
Di dalam buku Wastu Citra Mangunwijaya mensitir kata-kata Paul Claudel, pujangga Perancis:
“Le tumulte au fond de notre ame de pourra pas se defendre long-temps contre le silence ni l’eau contre le reflet.’’
(Keributan dalam lubuk jiwa kita tidak dapat bertahan lama terhadap keheningan, seperti air terhadap bayang-bayang pantulan.)
Mangunwijaya sepakat, seorang arsitek yang baik tidak boleh ribut dan kacau dalam jiwanya. Ia harus mau meditasi, menghening agar refleksi ilham yang benar dapat tercermin bening. Ternyata bangunan punya citra sendiri-sendiri, dan mewartakan mental dan jiwa seperti apa yang dimiliki oleh pembuatnya.
Ini sebangun dengan suasana kelahiran sebuah puisi, larik-larik metafora yang bening berkecambah dari keheningan batin di dalam kesadaran batinn yang jujur. Puisi dan arsitektur yang benar niscaya hadir dari pemikiran hening.
Dia pun merumuskan, manusia tidak hanya berbahasa dengan cakap lidah, tetapi dengan lambaian tangan juga, angguk kepala, kerling mata, lari menyambut, sayang mendekap, jengkel membelakangi, dengki meninju, dan sebagainya dan seterusnya. Tanpa ucapan mulut sepatah pun, peri ulah serta gerak kita sudah berbahasa, sudah membahasakan diri. Tetapi itu sering dilakukan dalam arti negatif juga, artinya: justru untuk berdusta atau menyembunyikan sesuatu di dalam sanubari. Namun, bila selanjutnya di sini kita berbicara tentang ungkapan atau bahasa, yang kita maksud yang positif saja. bahasa dalam kata ulah selaku penampakan batin yang di dalam ke luar.
Tubuh manusialah yang menghubungkan yang serba dalam batin dengan alam semesta yang di luar diri kita, khususnya yang berciri materi.
Untuk menegaskan, Mangunwijaya meminjam kata-kata filsuf Perancis, A. Merleau-Ponty, yang sangat mendalam renungan-renungannya tentang arti sejati tubuh manusia:
“Tubuh adalah kendaraan kehadiran kita di dunia. Untuk mahkluh yang hidup, memiliki tubuh berarti bergumul di dalam suatu lingkungan tertentu, berhadapan dengan hal-hal tertentu dan melibatkan diri dengannya tanpa henti… Tubuh dalam arti mulia adalah ruang yang mengungkapkan diri.”
Namun menurut Marleau-Ponty, “Tubuh kita tidak hanya satu ruang ekspresif di antara yang lain-lain. Tubuh seyogyanya jangan dibandingkan dengan benda fisik, tetapi ia lebih-lebih karya seni… seperti ini juga: percakapan tidak hanya ditandai oleh kata-katanya, tetapi juga oleh aksennya, warna nadanya, gerak ulah dan sikap badan.. demikian juga puisi. Yang dimaksud: puisi yang berwarta dan bermakna. Puisi pada hakikatnya adalah suatu bentuk ada-diri (de l’existence)” kita
Hadiah Nobel Kesusasteraan tahun 2016 untuk pertama kali diberikan kepada penulis lirik lagu. Penyanyi dan penulis lagu asal Amerika Serikat, Bob Dylan, sang legenda musik berusia 75 tahun itu menerima penghargaan tersebut untuk "menciptakan ekspresi puitis dalam tradisi lagu-lagu di Amerika". Penyanyi balada dan seniman ini merupakan penulis lirik lagu pertama yang memperoleh penghargaan yang bergengsi ini.
Barangkali, suatu ketika, ada panitia yang memberikan penghargaan sastra untuk puisi-puisi “bangunan” nan puitis karya Mangunwijaya.
“Seni arsitektur adalah seni menyumbangkan suasana. Arsitektur tidak boleh bertindak menjadi agresor, dimana bangunan tumbuh, maka flora dan fauna harus menyingkir. Karena itu kita yang diberi tugas membangun perumahan atau gedung-gedung harus menyumbang mentalitas baru yang mengendap dalam karya bangunan yang benar. Benar di sini berarti: bukan sebagai musuh alam, melawan flora-fauna, dan kesimbangan alamiah di keliling kita, melainkan selalu pengangkatan alam menjadi anggota organis pembudayaan planet bumi,” ujar Yusuf Bilyarta Mangunwijaya.
Sebagaimana “puisi yang benar” pun tidak boleh menjadi agresor, tidak digunakan untuk memusuhi dan mencari musuh. Apabila ada puisi untuk memperolok-olok oranglain, itu bukanlah puisi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H