Mohon tunggu...
Parhorasan Situmorang
Parhorasan Situmorang Mohon Tunggu... Penulis - Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Proses Kreatif Dua Penulis Hebat, Romo Mangunwijaya & Eka Kurniawan

29 November 2016   08:39 Diperbarui: 30 November 2016   01:22 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Romo Mangunwijaya (Foto: Dokumen pribadi)

Saya juga ingin karya saya dibaca orang di luar Indonesia. Dan dalam membaca itu, saya ingin mereka mendapat masukan baru tetang sebuah dunia di luar dunia mereka. Kalau saya mengambil kerangka filsafat Sartre, misalnya, atau Nietzsche, kan tidak baru lagi buat mereka. Wayang juga, saya harus memilih episode yang mempunyai bobot universal, tetapi dengan konteks lokal. Akhirnya saya ketemu episode Baladewa, masih saudara dengan Kresna. Nama-nama yang saya gunakan juga nama wayang, meski agak terselubung.”

Ketika ditanya mengapa bahasa novelnya terasa rumit dan sulit dicerna, dia menjawab dengan gaya seniman, “Realitas itu kompleks, tidak sederhana, tidak satu dimensi, canggih, rumit, dan banyak segi. Kalimat mestinya begitu juga.” Dia melanjutkan dengan kritik putih, “Kalau Anda membaca karya sastra saya yang kompleks, memang Anda harus punya waktu, punya energi, dan punya niat untuk membaca karya sastra. Kalau tidak, ya jangan membaca buku saya. Kalau bodoh, ya, sori, ini bukan untuk Anda. Jangan menyalahkan kalimat yang kompleks. Baca buku dongeng saja.”

Romo Mangun menganut filosofi kendi, ketika seseorang ingin menjadi kendi yang bisa mengisi cangkir-cangkir, maka kendi perlu diisi terlebih dahulu. Ketika seseorang ingin menulis maka dia harus mengisi diri terlebih dahulu dengan banyak membaca. Bagi Romo Mangun mengkonsumsi karya-karya masterpiece penulis besar dalam dan luar negeri merupakan proses mengisi ‘kendi’. Sejumlah penulis besar menjadi “gurunya’’.

“Penulis favorit saya Pramoedya Ananta Toer. Tapi guru saya yang pertama sebetulnya Multatuli. Max Havelaar. Kalau pengarang asing, yang pertama saya cari karya-karya pemenang Nobel. Sebutlah misalnya Asturias dari Amerika Latin. Yang klasik.. Dostoyevsky, itu jelas. Dari yang modern, saya sedang mempelajari Peter Handke, dari Jerman. Wah, sulit sekali. Ya, saya membaca dalam bahasa aslinya. Itu ada satu kalimat yang panjangnya sehalaman penuh. Wah wah wah, saya sudah ndak tahu lagi, ini namanya gaya apa. Juga sangat njlimet. Konon genre yang baru memang begitu.”

Mengarungi luasnya samudera imajinasi, pada satu titik Romo Mangun harus cerdas bijak berstrategi. Sebagai pastor, Romo Mangun ada mengalami beban ketika menuliskan adegan-adegan romantis di dalam novelnya. “Ya ada. Misalnya ketika menulis Romo Rahadi, saya kantidak berani menggunakan nama Y. B. Mangunwijaya. Saya pakai nama samaran, Wastuwijaya. Baru pada cetakan kedua saya pakai nama Mangunwijaya. Sebenarnya tokoh utama dalam novel ini bukan saya sendiri. Memang banyak yang mengatakan ini otobiografi. Ndak, ini bukan semacam otobiografi.”

Itulah pengakuan Romo Mangun. Sedangkan pengakuannya perihal waktu yang diperlukan untuk menuntaskan sebuah novel, Romo Mangun menuturkan penuh rendah hati, “Umumnya lama. Sebab, terus terang saja, saya kan amatir. Saya pemula. Burung-Burung Manyar, misalnya, saya tulis dalam waktu tujuh tahun. Romo Rahadi kira-kira empat tahun. Roro Mendut relatif lebih cepat, karena masalahya sudah jelas. Lusi Lindri sekitar dua-tiga tahun Ikan-Ikan Hiu kira-kira empat tahun.

Mungkin juga karena saya tidak menulis setiap hari. Tapi, boleh jadi, karena saya kritis sekali terhadap diri saya sendiri. Kalau saya belum puas, saya tidak akan melanjutkan penulisan. Lebih baik menunggu satu atau dua tahun daripada buru-buru menjual barang yang belum matang.”

Romo Mangun sungguh rendah hati, mengaku cuma amatir, mengaku sebagai pemula, novel-novelnya menunjukkan hakekat kualitas masterpiece Romo Mangun. Burung-Burung Manyar novel perdananya, misalnya, mendapat penghargaan The South East Asia Write Award of the Queen Sirikit.S ementaranovel-novelnya yang lain telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing.

Romo Mangun berproses kreatif menulis di antara kesibukan sebagai arsitek, rohaniawan, pembicara, dan aktivis kemanusiaan. Keinginannya untuk selalu menjadi kendi yang berisi, menuntutnya bijak mengelola waktu, agar bisa banyak membaca, supaya bisa banyak menulis.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun