Eka Kurniawan melesat terbang masyur tidak terlepas dari INSIST yang ikut memberinya sayap. INSIST (Indonesian Society for Social Transformation) yang saat itu masih bermarkas besar di daerah Blimbingsari Yogyakarta menghadirkan komunitas yang memberi ruang dan menyediakan ‘pupuk organik’ bagi penulis-penulis muda untuk tumbuh berkembang subur. Termasuk di antaranya adalah Puthut EA dan Astrid Reza.
Eka menyadari keberadaan sebuah komunitas, pergaulan, dan ‘kami’ adalah penting. Dalam blognya Eka Kurniawan menukaskan, “Saya katakan begitu, karena manifesto itu tak pernah dituliskan. Juga karena manifesto itu bisa ditambah-kurangkan sesuka hati kami sendiri. Tapi kurang-lebih manifesto itu berbunyi: 1) Kami ingin menjadi penulis, jika tak ada yang menerbitkan, kami akan menerbitkannya sendiri. Kami belajar bagaimana memproduksi buku, bagaimana menjualnya. Bahkan belajar melayoutdan mendesain sampul. 2) Kalau media besar tak menerima karya kami, kami akan membuat media sendiri. Ya, meskipun kecil. Puthut membuat On/Off, sebelumnya jika ada yang iseng mau mencari, ia satu-satunya orang di belakang “jurnal” Ajaib. Ugo dan beberapa temannya menerbitkan Konblok. 3) Kalau komunitas kesusastraan tak ada yang menerima kami, kami akan buat komunitas sendiri.
Kami membuatnya. Beberapa berumur pendek, beberapa berumur pendek sekali. Yang penting kami membuatnya untuk mendukung diri kami sendiri. Saya selalu percaya komunitas seharusnya dibangun untuk mendukung anggotanya, dan bukan sebaliknya. Seperti negara ada untuk rakyat, dan bukan sebaliknya. 4) Jika para kritikus tak ada yang peduli kepada karya kami, atau menghina-dina, kami akan menjadi kritikus untuk karya teman-teman sendiri.”
Eka Kurniawan kelahiran Tasikmalaya adalah generasi emas penerus penulis Indonesia. Bersama rombongannya mereka berkembang sesudah Romo Mangunwijaya wafat. Sang Burung Manyar termasuk sosok unik dan nyeleneh dalam peta sastra Indonesia. Ada karyanya yang tidak diapresiasi di negerinya sendiri bukan karena tidak bermutu, namun hanya karena berseberangan rezim orde baru yang sedang berkuasa saat itu. Ironisnya karya yang sama mendapat penghargaan dari negeri jiran.
Eka Kurniawan dan Romo Mangunwijaya memiliki banyak kemiripan. Keduanya sama-sama pengagum Pramoedya Ananta Toer. Mereka mengikuti prestasi orang yang dikagumi memiliki novel yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Sama-sama pernah mendapatkan penghargaan dari dalam negeri dan luar negeri, keduanya menyukai filsafat. Keduanya adalah desainer. Eka desainer sampul buku, bahkan mendesain beberapa sampul bukunya sendiri. Romo Mangun mendesain rumah dan bangunan artistik.
Sama-sama punya cerita berhubungan dengan komputer. Eka yang lahir dan tumbuh di era komputer malah merindukan mesin ketik manual tak tik tuk. Sedangkan Romo Mangun bagian generasi mesin ketik manual pernah gagap teknologi di awal-awal menggunakan komputer. Seperti diceritakan di buku Menjadi Manusiawi: The Daily Wisdom of Mangunwijaya, seorang stafnya bingung tatkala menjumpai Romo Mangun sedang menggunakan kaca pembesar agar bisa membaca artikel di monitor.
Romo Mangun termasuk percaya diri dan jarang bertanya meskipun belum terlalu mahir mengoperasikan komputer, dan ternyata dia belum tahu jika ada program untuk memperbesar huruf-huruf di monitor komputer. Kesamaan lainnya, keduanya hadir di media massa nasional, Eka Kurniawan sudah memproklamirkan karya di media massa nasional pada umur muda belia, sedangkan Romo Mangunwijaya di umur relatif tidak muda lagi.
Menulis esai bermutu secara reguler di koran-koran besar tidak meredam kegelisahan Romo Mangun. Merambah dunia fiksi, Romo Mangun mulai menulis novel. Alasannya, “Setelah saya berpikir, jangan-jangan yang membaca esai saya hanya kelompok inteletual, dan hanya kaum lelaki. Kan ndak lucu. Bagaimanapun, setiap penulis ingin pembaca yang luas. Saya merasa harus juga meraih ibu-ibu, dan sebagainya. Lalu saya mencoba ke arah novel, karena rasanya lebih komunikatif. Kemudian, ternyata, novel saya memang dibaca para ibu. Sampai Bu Astrid, Bu Sadli.. weee.. ikut baca. Wah, di luar dugaan sayalah. Ya, maturnuwun, syukurlah.”
Tentang proses kreatifnya menulis novel, dalam sebuah wawancara, Romo Mangun bercerita, “Pertama, memilih dan menentukan tema dan message. Kemudian membangun plotting. Ketegangan, dan yang semacamnya. Yang juga membutuhkan banyak waktu ialah riset. Saya riset ke museum, membaca buku-buku kuno, atau langsung ke setting cerita. Menulis novel, tetapi belum pernah mengunjungi lokasinya, kan malu juga. Ketika saya menulis Ikan-Ikan Hiu, misalnya, saya mengunjungi Pulau Banda. Ketika itu saya putar-putar Maluku, ke Ambon, Saparua, Halmahera, Ternate.”
“Saya juga tidak mau hanya bercerita. Harus ada katakanlah, filsafatnya, dan sebagainya. Apalagi, filsafat memang salah satu kegemaran saya. Kemudian, harus ada kekhasannya. Dalam Burung-Burung Manyar, misalnya, karena saya orang Jawa, saya berpaling ke wayang. Harus ada unsur wayang, katakanlah, sebagai kerangka filsafatnya.