“Sore begini, mbok kamu cerita-cerita Bin. Saya tak mendengarkan saja, siapa tahu bisa menghibur saya, supaya kamu terbiasa jadi orang tukang dongeng, he he…” Tawa khas Romo. Ado Bintoro muridnya yang ‘jenius’ pun ikut terkekeh. Bintoro duduk di kursi rodanya bersebelahan dengan kursi Romo Mangun. Mereka berdua berada di teras berlantai kayu di samping kolam yang ada di halaman depan rumah Romo Mangun.
“Baik Romo," ujar Bintoro. Bintoro melihat Romo Mangun sepertinya kecapaian karena barusan membersihkan kolam “ikan miskin”. Romo Mangun memang biasa turun tangan sendiri membersihkan kolam ikannya. Beliau masih belepotan air lumpur kolam. “Saya coba, tapi jangan tertawakan bila kurang berkenan Mo.”
“Ho… ya.. tidaklah.” Romo mengkonfirmasi seraya memperbaiki duduknya menjadi lebih rileks. Tubuhnya diposisikan agak rebahan. Kepalanya menyandar di kursi. Bersiap didongengi.
“Tapi saya paling cerita tentang pengalaman saya selama ini.”
“Yah….bolehlah.”
“Begini Mo, waktu saya pulang kampung, sangat banyak yang berubah. Sarana jalan maupun rumah-rumah yang dulunya gedek atau papan, sudah berganti batu bata. Hebatkan? Begitu juga gaya hidup orang-orang di desa itu, juga berobah di mana dulu yang sangat sederhana, karena betul-betul tak punya. Tapi sekarang pun walaupun tak punya, tapi memaksakan harus punya. Yang dulunya kalau cari rumput pakai keranjang dan jalan kaki, sekarang pakai bagor dan sepeda motor. Bisa dibilang maju dan moderen. Begitu juga para wanitanya, juga tak ketinggalan jaman. Dulu kalau masak pakai kayu, sekarang maunya pakai kompor gas atau kompor minyak.”
Romo Mangun sesekali terdengar menimpali. Bintoro terus melanjutkan mendongeng. Pandangannya tetap lurus memperhatikan pagar. Bintoro memang memiliki kemampuan “mengingat” peristiwa masa lalu yang mumpuni. Mendengarnya bercerita seperti mendengar radio tanpa buffering. Itulah mengapa dia disebut “jenius”. Bintoro secara de jure cuma lulusan kelas 6 sekolah dasar. Tetapi de facto-nya bisa disebut setara sarjana.
“Padahal dulu orang-orang di sekitar saya, setiap pagi jam 4 atau 5 pagi, sudah pergi ke pasar jual kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari. Kayu yang agak bagus dijual, kalau yang jelek dibakar sendiri.” Bintoro terus menyampaikan dongengnya dengan runtut. “Pada siang hari saya sedang santai-santai di bawah pohon jambu. Saya didekati seorang pemuda desa tempat saya tinggal. Namanya Trimo. ‘Sedang apa Mas?’ tanya Trimo. ‘Eh… ini sedang ngisis, angin-angin, dari mana sampean? Mau ke mana, Mo?’ Saya ganti bertanya.Lalu Trimo menjawab, ‘Mau cari rumput, Mas Bin.’ Saya pun tanya lagi, ‘Wong panas-panas begini kok mau ke sawah lagi to?’
'Lhaa gimana kalau tidak sekarang, nanti sebentar lagi nyangkul. Malam nanti latianreog, wah sibuk je Mas.’ Memang di desa itu, menurut saya, Trimo ini pemuda yang rajin ulet dan ramah santun, tak banyak berkeluh kesah. Kalau berpakaian pun, selalu parlente dan rapi. Kadang membuat pemuda lain cemburu, karena gayanya yang selalu jadi perhatian gadis-gadis desa setempat, apa lagi penampilannya tidak terlalu jelek dan selalu berpenampilan rapi, dan pintar ngomong bergaya orang berpendidikan. Sebenarnya ia hanya tamatan SD. Tapi ia rajin datang ke tempat-tempat pertemuan, seperti bila ada pertemuan di kampungnya, bila ada rapat RT atau rapat RW, dan sebagainya.
Kalau ada pertemuan di balai desa, ia selalu dapat undangan yang mewakili pemuda di desanya, karena kepala desanya selalu mempercayainya, karena dianggap cakap di segala urusan yang dibebankan kepadanya. Jadilah si Trimo menjadi perhatian para petinggi desa, karena Trimo kerjanya selalu cepat dan beres, tepat waktu hampir tak pernah salah. Sewaktu ketika ia main reog atau kuda lumping, ia berdandan dengan apik dan luwes, di antara pemuda yang lain dia sangat apik.
Cara menarinya pun dengan gaya yang lain pula, apa lagi tukang kendangnya saja memperhatikan dengan seksama, dan sangat menikmati gayanya yang bisa dibilang sangat aduhai. Ke mana gerakan Trimo, mata si tukang kendang hanya tertuju kepadanya. Karena saking asiknya tarian atau jogetnya, ditambah gamelan atau bende. Semakin seru. Jadilah Trimo lupa diri alias kesurupan. Neng-nong…. neng-gong, neng-gong.. gong.. ia mulai mendekati meja tempat sesaji yang sudah dipersiapkan bagi yang sudah lupa diri, kesurupan. Ia diberi seuntai padi, tak mau. Ia diberi daun pepaya tak mau juga.
Lalu dicoba diberi beling atau kaca yang sudah dipecah-pecah, menolak juga. Lalu ia masuk ke dalam tempat berdandan atau ruang rias, sebelum main di halaman luar, atau di pelataran. Tiba-tiba ia keluar lagi, sambil geleng-geleng, kepala dihentak-hentakan ke kanan ke kiri, matanya bundar, tanda melotot, hanya lidahnya dijulur-julurkan. Tangan kiri memegangi sampur atau selendang dikibas-kibaskannya, di tangan kanan memegangi sebuah piring berisikan nasi dan sambel goreng ati ayam. ‘Wah-wah wah,’ celetuk penonton.
Semua penonton geli dan serentak tertawa terbahak-bahak. Lalu sambil menari-nari lenggak lenggok, tiba-tiba Trimo duduk bersila di pojok pelataran, masih dengan piring di tangannya. Sambil dipandanginya, siap-siap disantap. Lalu dengan santainya ia makan nasinya, tanpa wajah dibuat-buat seperti betul-betul lupa diri, ia tak merasa kalau sedang diperhatikan banyak orang yang sedang menonton kesenian itu.”
Bintoro menghentikan sejenak cerita sambil menuang air putih ke cangkir. Bintoro tanpa sengaja menoleh ke sebelah di mana Romo duduk. Eh… malah Romo tertidur. Bintoro membatin, jadi saya nyerocos cerita, malah ditinggal tidur. Wah wah wah capek-capek disuruh cerita. Disuruh mendongeng, malah ditinggal gambleh, kelakuan tenan! Mo Mo…
Namun berhubung Bintoro pun lelah dan umpama dilanjutkan, ya percuma, Bintoro ikut-ikut merebahkan diri, sambil membatin, ‘Hmm.. Romo Mangun seseorang yang namanya punya wibawa atau punya pengaruh pada masyarakat di sekitarnya, bahkan untuk negeri Indonesia ini. Senang sore-sore, saya bisa duduk menemani orang berwibawa dan berpengaruh di Indonesia. Saya sangat merasa tersanjung karena diminta Romo mendongeng. Karena apa? Karena menurut saya Romo adalah sangat luarbiasa di mata saya.’
Tiba-tiba Romo terbangun, “We…laa. Sampai di mana ceritamu, Bin?”
“Ya.. sudah panjang, Mo.”
“Sampai dower, ya? He he…” Romo terkekeh.
“Lha, Romo sampai di mana mimpinya?” Tanya Bintoro.
"Yoo, tak sempat mimpi to! La saya sangat ngantuk je… habis tadi malam ngerjain gambar semua salah terus. la sampai ngenteki tipeks 3 botol jee… Gambar tak anggap selesai, lalu saya nyuruh Ngatimen fotokopi.” Ngatimen adalah karyawan di rumah Romo Mangun. “Malah jadinya warnanya hitam semua, sembrono kok.” Romo tampak kesal.
“Laa, kok Romo main tipeks banyak-banyak?”
“La ya itu, saya ndak mikir kalau jadinya mau seperti itu.” Romo menjawab lirih.
“Yoo, pastilah Mo, namanya tipeks kan basah, kalau dikopi jadi rusak, jadinya seperti jenang.” Goda Bintoro. "Apa lagi mesin fotokopinya pasti jadi rusak juga Mo, karena pasti nempel di kaca semua Mo, jadinya kan kayak gambar kolam comberan?"
“Laa, kok kamu tahu, Bin?” Romo bertanya agak terkejut.
“Laa wong sebelum ditunjukin ke Romo, Lek Ngatimen sudah nunjukin ke saya kok, Mo.’’
“Oh… begitu to? Jangan-jangan Ngatimen, juga nunjukin sama orang lain juga ya, Bin? Wah malu saya.”
Ternyata Romo Mangun juga punya rasa malu, gumam Bintoro dalam hati. Tapi Bintoro menganggap kejujuran seorang Romo yang sangat bijaksana.
“Berarti Romo jujur dan apa adanya mengatakan itu.”
“Lha iyo to.. Iki kok,” Jawab Romo seraya tangannya menepuk-nepuk dada dan terkekeh, “Hehe..”
“Mo.. La gimana, jaman sekarang itu seribu lawan satu je, masalah kejujuran, la wong sekarang banyak pejabat atau bisa dibilang tokoh aja masih tak mau jujur, apa lagi mengakui kekeliruannya. Seolah-olah menganggap Tuhan tak tahu polah tingkahnya, jadi para pejabat merasa tak diperhatikan masalah kesalahan yang ia buat."
"Yo memang begitu to. La wong sorga sana, Bin, itu sudah dipenuhi para pejabat yang punya duit jee, la piye? Kamu mau pilih mana? Surga apa neraka?"
“Wah Romo, saya belum mau pilih-pilih ah, Mo. Itu kata siapa Mo?”
“Yo saya! Apa kata Embahmu? Hehe..,” kekeh Romo.
“Tapi Mo,’’ Bintoro sedikit ngeyel. “Kata kakek saya, surga dan neraka itu katanya sudah bisa dirasakan sekarang.”
“Loh iya po?” Romo bertanya, penasaran. ***
Disarikan sesudah mendengarkan langsung "didongengi" oleh Mas Ado Bintoro murid jenius Romo Mangun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H