“Yoo, pastilah Mo, namanya tipeks kan basah, kalau dikopi jadi rusak, jadinya seperti jenang.” Goda Bintoro. "Apa lagi mesin fotokopinya pasti jadi rusak juga Mo, karena pasti nempel di kaca semua Mo, jadinya kan kayak gambar kolam comberan?"
“Laa, kok kamu tahu, Bin?” Romo bertanya agak terkejut.
“Laa wong sebelum ditunjukin ke Romo, Lek Ngatimen sudah nunjukin ke saya kok, Mo.’’
“Oh… begitu to? Jangan-jangan Ngatimen, juga nunjukin sama orang lain juga ya, Bin? Wah malu saya.”
Ternyata Romo Mangun juga punya rasa malu, gumam Bintoro dalam hati. Tapi Bintoro menganggap kejujuran seorang Romo yang sangat bijaksana.
“Berarti Romo jujur dan apa adanya mengatakan itu.”
“Lha iyo to.. Iki kok,” Jawab Romo seraya tangannya menepuk-nepuk dada dan terkekeh, “Hehe..”
“Mo.. La gimana, jaman sekarang itu seribu lawan satu je, masalah kejujuran, la wong sekarang banyak pejabat atau bisa dibilang tokoh aja masih tak mau jujur, apa lagi mengakui kekeliruannya. Seolah-olah menganggap Tuhan tak tahu polah tingkahnya, jadi para pejabat merasa tak diperhatikan masalah kesalahan yang ia buat."
"Yo memang begitu to. La wong sorga sana, Bin, itu sudah dipenuhi para pejabat yang punya duit jee, la piye? Kamu mau pilih mana? Surga apa neraka?"
“Wah Romo, saya belum mau pilih-pilih ah, Mo. Itu kata siapa Mo?”
“Yo saya! Apa kata Embahmu? Hehe..,” kekeh Romo.