Mohon tunggu...
Anggitsari Parendra
Anggitsari Parendra Mohon Tunggu... -

Ketika sesuatu tak terungkapkan oleh lisan, menulis adalah pilihan yang menyenangkan :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teatime

6 Mei 2012   04:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:39 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Fyuuuhhh...

Tam bergeming dalam hati, rasanya benar-benar lega saat bulan April habis dan berganti dengan bulan Mei. Meski sebenarnya tidak menjamin juga bulan Mei semuanya akan baik-baik saja, kalau tiba-tiba datang kejutan-kejutan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya seperti yang telah terjadi di bulan April lalu... Huwaaaa... Rasanya benar-benar ingin masuk ke dalam botol (seperti om jin di sinetron jin dan jun) terus botolnya dibuang ke WC terus disiram air banyak-banyak, dan hilanglah dirinya dari muka bumi ini... BLAMMMM!!!

Namun sayangnya di awal Mei ternyata masih tersisa efek dari "kejutan-kejutan" di bulan April lalu. Entah, Tam juga tidak begitu paham, bagaimana bisa semua beban pikiran yang ada di otak akhirnya bisa menjalar ke fisiknya. Berat badan Tam turun cukup banyak, selain itu dia sering mual-mual dan akhirnya muntah, padahal fisiknya baik-baik saja, dalam keadaan sehat & tidak sedang sakit. Seperti ketika membalas comment di facebook  dari tantenya (yang menurut Tam comment tantenya sungguh konyol), ya, tiba-tiba saja dia langsung mual dan akhirnya muntah. Huft, buruk sekali!

Takut terjadi apa-apa dengan dirinya, akhirnyaTam menceritakan apa yang terjadi dengan kesehatannya akhir-akhir ini kepada sahabatnya, Nach. Meski sebenarnya Nach juga sedang ada beban pikiran, namun Tam  tetap saja meminta Nach untuk memantaunya dan memastikan dia baik-baik saja. Mau bagaimana lagi, karena hanya dengan Nach saja Tam  bisa bercerita.  Tam  adalah tipe orang yang introvert, lebih suka memendam dan menyelesaikan sendiri masalah yang dialaminya. Menceritakan masalah pada orang lain hanya akan menambah beban pikirannya saja karena mereka lebih sering menggurui, berbeda jika bercerita dengan Nach yang lebih sering menjadi pendengar yang baik dan kalaupun memberikan solusi tidak terkesan seperti menggurui. Kali ini Tam  benar-benar takut jika masalahnya dipendam sendiri akan berdampak buruk pada dirinya. Dan ia pun memutuskan untuk berbagi dengan sahabatnya.

Akhirnya Tam menulis pesan kepada Nach, bercerita tentang keadaan fisiknya. Dan Nach pun menanggapi pesan dari Tam.

"Wah..sepertinya itu akibat dari stress Tam. Kita perlu refreshing dan saling bercakap-cakap.. itu akan sedikit meringankan." kata Nach.

"Pengen teatime bersamamu, berdua saja, duduk di teras depan kamarmu sambil menghirup udara sore, sepertinya menyenangkan." jawab Tam.

Selanjutnya mereka merencanakan waktu untuk bertemu.

*****

Sore itu dua sahabat ini bertemu untuk melaksanakan teatime yang telah mereka rencanakan sebelumnya. Bukan dengan secangkir teh, namun segelas sirup markisa hangat. Sebenarnya juga sudah kemalaman untuk teatime, tapi tak apalah, siapa juga yang akan memprotes, dua orang sahabat itu tetap menikmati teatime yang serba tidak tepat itu dengan antusias. Selepas sholat maghrib mereka akhirnya melaksanakan teatime, meski bukan di tempat yang semula direncanakan, namun justru di tempat yang lebih menakjubkan. Dan sempurna sekali karena malam itu cuaca sangat cerah. Dua orang sahabat itu merebahkan tubuhnya masing-masing. Percakapan inti belum dimulai. Mereka berdua hanya sibuk mendeteksi satu-persatu bintang yang bertaburan di langit. Mencoba menebak-nebak apa namanya.

Hening. Mereka saling bertatapan, kemudian saling melempar senyum. Bingung, harus memulai pembicaraan dari mana. Akhirnya Nach terlebih dahulu yang menumpahkan uneg-uneg yang sedang membebani pikirannya. Sebenarnya masalah yang dihadapi dua orang sahabat ini intinya sama, meski konteksnya berbeda. Ketika waktu, keadaan, dan banyak orang menuntut untuk melakukan sesuatu, namun diri sendiri sangat jauh dari kata siap, maka yang ada hanyalah rasa ingin kabur! Setelah mendengar uneg-uneg dari Nach, Tam pun dengan sok bijak mencoba menanggapi.

"Ayo nach, sadar dong. Sekarang tuh udah nggak jamannya buat ngabur! Hadepin semuanya! Hajar!"

Nach nyengir, "Halah, kamu tuh, nyuruh orang ngadepin masalahnya, tapi kamu sendiri aja nyatanya juga pengen ngabur!"

Tam juga hanya nyengir, kemudian gantian dia yang menumpahkan segala beban pikiran yang bersarang di otaknya.

Tam menghela napas panjang, "Apa yang harus aku lakukan Nach untuk menghadapi masalah yang satu ini?"

"Entahlah, kalau aku sendiri satu-satunya pilihan untuk menghadapi masalahku sekarang ini yang aku lakukan adalah berusaha menjalani dulu." Nach menjawab pertanyaan Tam dengan tanpa menatapnya, pandangannya masih tertuju ke langit luas yang masih gemerlap oleh bintang-bintang.

"Iya memang, aku juga gak bisa ngapa-ngapain selain menjalani. Tapi itu kalau menikmati. Nah kalau nggak? Menjalani sesuatu yang aku sendiri nggak menikmatinya benar-benar membuatku tertekan. Ah, mungkin itu yang membuatku sering merasa mual akhir-akhir ini!"

"Iya, kamu tuh kebanyakan pikiran itu. Sudahlah Tam, jalani saja. Kita tuh kadang cuma dihantui sama pikiran kita sendiri, padahal kenyataannya seperti apa nanti kita juga belum tau kan. Apa yang kita takutkan itu belum tentu terjadi. Nyatanya sampai sekarang apa yang kamu takutkan juga nggak terjadi kan? Semuanya baik-baik saja kan? Tuhan itu tergantung bagaimana prasangka kita!" ujar Nach dengan bijak (benar-benar bijak bukan sok bijak).

"Sejauh ini aku juga jalani semuanya. Nyatanya mau nggak mau, semuanya tetep dihadepin juga. Ya ampun Nach, kalau kamu tau ya, April kemarin tuh rasanya bener-bener kayak naik jetcoaster, mengerikan, menegangkan, menakutkan, dan sayangnya aku gak bisa turun, jadi nggak ada pilihan lain selain menikmatinya." Tam menjelaskan pada Nach dengan ekspresi wajah yang meyakinkan bahwa ia benar-benar sedang tertekan.

Nach hanya tersenyum dan sedikit geli mendengarkan perkataan Tam.

Malam semakin gelap dan itu membuat bintang-bintang di langit menjadi terlihat lebih bersinar terang. Suasana hening kembali. Tam dan Nach betul-betul terbuai dengan indahnya langit malam. Sesekali mereka menyeruput sirup markisa yang sudah tidak hangat lagi. Tam menjulurkan tangannya ke atas, mencoba meraih bintang-bintang itu namun tak juga teraih. Dari penglihatannya ia hanya nampak membelai-belai bintang itu.

Tiba-tiba Tam menangkap gerakan di langit yang begitu cepat berwarna kuning terang kemerah-merahan dan nampak berekor. "Hey bintang jatuh!" seketika itu juga Tam langsung duduk, memejamkan kedua matanya dan menengadahkan tangannya di depan dada.

"Mana? Mana Tam bintang jatuhnya?" tanya Nach sambil matanya menyisir langit mencari-cari bintang jatuh itu.

Tam membuka sebelah matanya, melirik ke arah Nach, "Sssttt... jangan berisik, aku mau berdoa duluuu!" Tam kembali memejamkan matanya dan terlihat lebih khusyuk dari sebelumnya. Ia nampak begitu serius melakukan sebuah percakapan dengan Tuhan. Percakapan yang langsung disambar oleh bintang jatuh itu untuk disampaikan kepada Tuhan.

"Yaaaah, beruntungnya... Ya Allah, kenapa aku tidak melihatnya?" gumam Nach sambil melirik ke arah Tam yang masih khusyuk berdoa.

Tam membuka mata. Senyumnya mengembang begitu lebar. Ia kembali merebahkan tubuhnya disamping Nach. Keadaan kembali hening. Mata Nach masih menyisir langit luas, masih berharap bisa menemukan bintang jatuh seperti Tam. Tam membuka percakapan kembali.

"Nach... aku takut kalau suatu hari nanti aku membuat keputusan hanya karena..." kata-kata Tam terhenti.

"karena apa Tam?" tanya Nach penuh dengan rasa penasaran.

"Hanya karena kata demi..." jawab Tam lirih.

"Aduh, jangan deh Tam, jangan ada kata demi, ikuti kata hatimu Tam." Nach mencoba mengarahkan Tam agar tidak membuat keputusan konyol.

Tam melemparkan senyum kepada sahabatnya. Dalam hati ia berbisik, ya smoga tidak pernah terlintas membuat keputusan konyol itu, keputusan yang hanya berlandaskan kata demi. Jangan sampai itu terjadi. Dalam hati ia juga mengutuki orang-orang yang telah membuatnya begitu takut, muak, dan bisa dibilang sedikit trauma untuk melangkah lagi dalam hal itu. Orang-orang yang telah membuat hatinya nyaris mati. Ibarat buah pepaya, sebagian besar telah membusuk dan harus dibuang, dan hanya tersisa sedikit sekali bagian yang bisa dimakan. Namun tanpa Tam sadari, justru apa yang telah terjadi di masa lalunya telah menjadikan sebagian hati kecilnya yang tersisa itu menjadi semakin kuat, tangguh, dan semakin siap menghadapi segala cobaan yang akan terjadi di hari esok.

"Ayo Tam, hadepin! Hajar!" Ujar Nach dengan nada bicara menggoda.

"Ya iyalah dihadepin! Masa mau ngabur, cemen banget!" jawab Tam sok-sokan dengan melipat kedua tangannya di dada bak jagoan.

Mereka berdua bertatapan. Dan akhirnya tawa kedua sahabat itu meledak begitu saja. Pembicaraan menjadi tak terarah namun semakin hangat saja. Tak terasa 1,5 jam sudah mereka berdua merebahkan tubuh menatap langit. Sirup markisa milik Nach telah habis, sedangkan milik Tam tinggal seperempat gelas saja. Tanpa mereka sadari bintang-bintang yang bersinar terang itu sudah tiada. Hanya awan kelabu yang menghiasi malam itu. Rembulan yang begitu indah pun juga ikut tertutup oleh awan mendung menggantung.

*****

Drrrt...drrrt...drrrt... Handphone Tam bergetar.

1 message received, dari Nach rupanya.

"Hallo...hallo... Nach sudah sampai rumah nih!"

Tam membalas pesan Nach. "Hah, pulang kampung juga toh akhirnya? hemmm...aku taksir liburan ini pasti kamu akan makan banyak-banyak! Secara masakan ibumu kan enak-enak!"

"hahaha...tebakanmu tepat sekali Tam :D"

"Hemm..sudah kuduga! Eh nach, sekarang aku udah bisa merasakan lapar (lagi), sekarang aku juga udah nggak mual-mual lagi! Artinya... teatime kemarin manjuuuuuur! hahahaha...bahagia!" Ujar Tam penuh dengan rasa bahagia.

"Whahaha...iyakah? Syukurlah. Yuk ngendon di atap lagi. Mumpung ada supermoon!" ajak Nach

"Yuk..yuk..yuk...asli deh ketagihan!!! kapan sih supermoon-nya?" tanya Tam penasaran.

"Besok minggu Tam..." jawab Nach singkat.

*****


"Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dengan masa depan kita. Semua adalah rahasia Tuhan, dan apa yang akan Tuhan tentukan kepada kita tergantung bagaimana prasangka kita kepadaNYA. Jalani saja semuanya, tak perlu takut menghadapi segala cobaan dariNYA, semua telah diperhitungkan sesuai dengan kemampuan kita. Percayalah apapun yang terjadi, kau akan baik-baik saja. Dan apa yang terjadi di masa lalumu sebenarnya adalah pelajaran berharga yang sekarang menjadikanmu begitu hebat dan tangguh menghadapi cobaan yang kau alami saat ini ataupun esok hari."

~Anggitsari Parendra~

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun