"Tidak ada visi-misi menteri, yang ada visi-menteri Presiden." Itulah ungkapan yang belakangan populer apabila kinerja salah satu menteri Jokowi terkesan berseberangan dengan kebijakan Istana.
Ada kesan, menteri yang dituding mbalelo tersebut pada dasarnya bukan sedang mbalelo. Tetapi memang sedang menjalankan perintah Istana.
Bahwa kebijakan yang bagi sebagian pihak kontroversial atau dianggap mengingkari janjinya saat baru dilantik sebagai menteri, adalah atas restu Presiden. Jadi bukan menterinya yang punya visi-misi sendiri, tetapi hanyalah menjalankan skenario yang diamanatkan Presiden.
Lalu betulkah demikan? Apakah perintah Jokowi yang mewanti-wanti agar tidak ada lagi visi-misi menteri sudah dipatuhi dengan baik? Atau jangan-jangan, masih ada menteri yang memang secara nyata 'melawan' perintah Jokowi.
Hal inilah yang perlu ditelisik lebih mendalam untuk mengetahui apakah betul perintah Jokowi sudah dijalankan dengan baik, walau salah satu risikonya adalah mendapat cibiran dari publik akibat pernyataan yang tak konsisten.
Menteri Agama Fahrur Razi adalah salah satu contohnya. Ketika belakangan ia justru 'mengerem' mendadak setelah di awal menjabat memilih tancap gas.
Ternyata masih ada menteri lain yang tak kalah menarik dibahas, yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya. Isu ini pun tak kalah menarik karena menyangkut lingkungan hidup sekaligus dampaknya terhadap perekonomian nasional.
Ada perputaran uang yang tak sedikit di sana, selain menciptakan ribuan lapangan pekerjaan. Tetapi sayangnya, isu lingkungan seringkali dengan mudah mengalahkan isu ekonomi. Alhasil, publik terkesan gamang menentukan sikap: memilih lingkungan asri atau devisa. Keduanya sangat penting, walau harus memilih satu di antaranya.
Mari kita mulai.
Kisah Menteri Siti 'melawan' perintah Jokowi ini bermula ketika Kementerian LHK sejak sembilan bulan lalu menahan ribuan kontainer berisi bahan baku plastik impor di beberapa pelabuhan seperti di Tanjung Priok dan Batam.
Alasannya, bahan baku plastik tersebut mengandung B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Akibatnya, pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Ekspor Impor Plastik Industri Indonesia (Aexipindo) terpaksa membayar biaya demurrage (batas waktu pemakaian peti kemas) hingga ratusan miliar rupiah.
Tertahannya bahan baku plastik industri selanjutnya direspon Satuan Tugas Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi, khususnya Pokja IV bidang Penanganan dan Penyelesaian Kasus, yang diketuai oleh Yasonna Laoly yang juga menjabat Menkumham.
Pokja IV kemudian menerbitkan surat rekomendasi tertanggal 9 Juli 2019 dan 19 Agustus 2019. Dalam surat yang ditandatangani Yasonna Laoly tersebut, terdapat beberapa poin penting menyangkut investasi dan karyawan pabrik plastik yang tak lagi memperoleh pasokan bahan baku.
Antara lain, Indonesia diperkirakan kehilangan potensi ekspor sebesar 441,3 juta USD, merumahkan karyawan pabrik plastik sedikitnya 20 ribu orang, semakin membengkaknya biaya demurrage, serta hilangnya multiplier effect dari industri itu sendiri seperti di bidang jasa dan perdagangan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pokja IV kemudian menerbitkan 3 rekomendasi yang ditujukan kepada Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan Menteri LHK, serta Aexipindo.
Pertama, Menteri Perdagangan diminta segera menyelesaikan revisi Permendag No 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limban Non B3 dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Menteri tersebut dengan target selesai dalam 2 minggu.
Kedua, Menteri Perindustrian dan Menteri LHK segera menyepakati tingkat kekotoran yang diperbolehkan, mulai dari 5% dan menyusun road map untuk diturunkan secara bertahap sampai 0%.
Ketiga, Aexipindo wajib menaati segala ketentuan hasil revisi Permendag No 31 Tahun 2016. Faktanya, rekomendasi yang diterbitkan Pokja IV ini diabaikan Kementerian LHK.
Ironisnya lagi, Kementerian LHK juga mengabaikan hasil Rapat Terbatas (Ratas) yang digelar Presiden Jokowi pada 28 Agustus 2019. Dalam Ratas tersebut, Presiden memerintahkan bahwa persentase batas impuritas skrap plastik dan kertas adalah sebesar 2% atau di bawah 2%.
Dengan kata lain, impor bahan baku plastik yang tertahan di pelabuhan pada dasarnya telah mendapat jaminan hukum dari Presiden karena batas impuritasnya adalah kurang dari 2%.
Rentetan pembangkangan Kementerian LHK ini kemudian membuat Aexipindo merasa tidak didukung oleh pemerintah sendiri. Kepastian hukum dan kenyamanan investasi justru dihambat dari dalam negeri.
"Pokja IV sudah tanda tangan, Pokja itu kop suratnya berlogo Garuda (Kemenko Perekonomian) yang diketuai Pak Yasonna Laoly. Tapi bisa dilawan sama kop surat akar-pohon (Kementerian LHK). Ini Presidennya tahu tidak?" tegas Ketua Umum Aexipindo Akhmad Ma'ruf Maulana dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Maulana menegaskan, pihaknya selama ini sangat patuh terhadap ketentuan impor plastik. Namun karena ulah nakal LHK yang terkesan mencari-cari kesalahan, pengusaha impor plastik kini menderita kerugian besar yang selanjutnya berdampak langsung terhadap kepastian investasi dan penyediaan ribuan lapangan kerja.Â
"Jangan karena ada sampah plastik di lautan maka pabrik plastik ikut ditutup. Itu sama sekali tidak masuk akal," tandas dia.
Kalau mau jujur, sambung Maulana, seluruh barang yang diimpor sudah pasti terkontaminasi. Bahkan, mesin baru yang diimpor sudah pasti terkontaminasi. "Jangankan barang impor, air keran di rumah penduduk saja kalau diuji lab pasti ada kontaminasi. Tetapi kan ada batasnya. Nah ini yang dipukul rata semua oleh LHK. Maka saya bisa tegaskan bahwa LHK ini justru menghambat tumbuhnya investasi."
Terpenting lagi, untuk menentukan apakah barang impor mengandung B3 semestinya tidak hanya ditentukan LHK sendiri tetapi juga melibatkan Satgas yang terdiri dari berbagai instansi terkait. Hal ini sangat penting untuk menjaga objektivitas petugas di lapangan.
Faktanya, selama ini malah dimonopoli petugas LHK. "Bayangkan, LHK hanya mengirim 7 orang petugas untuk memeriksa ribuan kontainer untuk menentukan kontainer yang terkena B3 atau tidak. Harusnya kan ada Satgas," kritik Maulana.
Maulana mengakui bahwa masih ada pengusaha nakal yang mengimpor bahan baku plastik yang terkontaminasi B3 di atas ambang normal. Namun sekali lagi, Maulana meminta agar LHK tidak memukul rata seluruh pengusaha.
"Saya setuju pengusaha yang nakal dibina tetapi jangan dibinasakan. Ini LHK tahunya memvonis rata. Karenanya kami meminta agar Presiden segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini. Jangan sampai logo Garuda kalah sama logo akar-pohon" tukasnya.
Selain KLHK, sambung Maulana, pihak Bea Cukai wilayah Batam juga ikut-ikutan menolak rekomendasi Pokja IV. Selain cuek terhadap rekomendasi Pokja IV, aksi 'ngeyel' Bea Cukai itu juga terlihat ketika Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) pada 2 Desember 2019 menerbitkan surat yang intinya meminta agar pihak Bea Cukai mempercepat penanganan bahan baku skrap yang tertahan di Pelabuhan Batu Ampar, Batam.
Pada kenyataannya, surat yang ditandatangani Plt Gubernur Kepri, H. Isdianto tersebut sama sekali tidak dijalankan. "Sekali lagi, kami meminta agar Bapak Presiden sudah waktunya turun tangan," pungkas Maulana.
Sorotan tajam juga datang dari Pakar Hukum Ahmad Redi. Menurut pria pemegang gelar doktor hukum tercepat dari Universitas Indonesia (UI) ini, Kementerian LHK sebaiknya tidak 'ngeyel' tetapi langsung menjalankan rekomendasi Kelompok Kerja IV (Pokja) Kementerian Koordinator Perekonomian.
Ahmad mengatakan, rekomendasi dari Pokja IV merupakan hasil akhir dari sebuah proses panjang. Pokja IV telah melakukan klarifikasi dengan kementerian/lembaga, konfirmasi dengan pelaku usaha, serta analisis terhadap peraturan perundang-undangan.
"Artinya, rekomendasi yang dikeluarkan Pokja IV semestinya dilaksanakan oleh KLHK, karena ketika dibahas di KLHK tentu tim KLHK pun dilibatkan," ujar Ahmad saat dimintai komentarnya, Jumat (20/12/2019).
Kepatuhan KLHK terhadap rekomendasi Pokja IV, sambung Ahmad, merupakan sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar agar iklim investasi di Tanah Air tetap terjaga. "Bila tidak dilaksanakan maka akan terjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan pemerintahan negara," tukas Ahmad.
Menyaksikan hal ini, Presiden Jokowi tampaknya masih harus menertibkan jajaran kabinetnya. Hal ini menyusul masih terjadinya pembangkangan kementerian teknis terhadap kementerian koordinator.
Padahal saat memperkenalkan para menterinya Oktober lalu, Jokowi telah menegaskan bahwa tidak ada visi-misi menteri selain visi-misi Presiden. Ditambah, kementerian teknis wajib tunduk terhadap rekomendasi kementerian koordinator. Namun faktanya, perintah tegas Jokowi tersebut masih terbukti diabaikan.
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H