Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Impor Sampah Plastik, Menteri Siti Kapan Eksekusi Perintah Jokowi?

24 Desember 2019   18:14 Diperbarui: 24 Desember 2019   18:25 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maulana menegaskan, pihaknya selama ini sangat patuh terhadap ketentuan impor plastik. Namun karena ulah nakal LHK yang terkesan mencari-cari kesalahan, pengusaha impor plastik kini menderita kerugian besar yang selanjutnya berdampak langsung terhadap kepastian investasi dan penyediaan ribuan lapangan kerja. 

"Jangan karena ada sampah plastik di lautan maka pabrik plastik ikut ditutup. Itu sama sekali tidak masuk akal," tandas dia.

Kalau mau jujur, sambung Maulana, seluruh barang yang diimpor sudah pasti terkontaminasi. Bahkan, mesin baru yang diimpor sudah pasti terkontaminasi. "Jangankan barang impor, air keran di rumah penduduk saja kalau diuji lab pasti ada kontaminasi. Tetapi kan ada batasnya. Nah ini yang dipukul rata semua oleh LHK. Maka saya bisa tegaskan bahwa LHK ini justru menghambat tumbuhnya investasi."

Terpenting lagi, untuk menentukan apakah barang impor mengandung B3 semestinya tidak hanya ditentukan LHK sendiri tetapi juga melibatkan Satgas yang terdiri dari berbagai instansi terkait. Hal ini sangat penting untuk menjaga objektivitas petugas di lapangan.

Faktanya, selama ini malah dimonopoli petugas LHK. "Bayangkan, LHK hanya mengirim 7 orang petugas untuk memeriksa ribuan kontainer untuk menentukan kontainer yang terkena B3 atau tidak. Harusnya kan ada Satgas," kritik Maulana.

Maulana mengakui bahwa masih ada pengusaha nakal yang mengimpor bahan baku plastik yang terkontaminasi B3 di atas ambang normal. Namun sekali lagi, Maulana meminta agar LHK tidak memukul rata seluruh pengusaha.

"Saya setuju pengusaha yang nakal dibina tetapi jangan dibinasakan. Ini LHK tahunya memvonis rata. Karenanya kami meminta agar Presiden segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini. Jangan sampai logo Garuda kalah sama logo akar-pohon" tukasnya.

Selain KLHK, sambung Maulana, pihak Bea Cukai wilayah Batam juga ikut-ikutan menolak rekomendasi Pokja IV. Selain cuek terhadap rekomendasi Pokja IV, aksi 'ngeyel' Bea Cukai itu juga terlihat ketika Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) pada 2 Desember 2019 menerbitkan surat yang intinya meminta agar pihak Bea Cukai mempercepat penanganan bahan baku skrap yang tertahan di Pelabuhan Batu Ampar, Batam.

Pada kenyataannya, surat yang ditandatangani Plt Gubernur Kepri, H. Isdianto tersebut sama sekali tidak dijalankan. "Sekali lagi, kami meminta agar Bapak Presiden sudah waktunya turun tangan," pungkas Maulana.

Sorotan tajam juga datang dari Pakar Hukum Ahmad Redi. Menurut pria pemegang gelar doktor hukum tercepat dari Universitas Indonesia (UI) ini, Kementerian LHK sebaiknya tidak 'ngeyel' tetapi langsung menjalankan rekomendasi Kelompok Kerja IV (Pokja) Kementerian Koordinator Perekonomian.

Ahmad mengatakan, rekomendasi dari Pokja IV merupakan hasil akhir dari sebuah proses panjang. Pokja IV telah melakukan klarifikasi dengan kementerian/lembaga, konfirmasi dengan pelaku usaha, serta analisis terhadap peraturan perundang-undangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun