Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Kampanye Setop Makan Daging Anjing Sulit Berhasil?

4 Desember 2019   17:44 Diperbarui: 4 Desember 2019   18:00 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hewan Anjing Siap Dijual (Kompas.com)

Namun meski saya berhenti, bukan berarti teman-teman sekampung sejagat Tapanuli memilih berhenti juga. Bagi teman-teman, daging anjing masih tetap primadona. Teman-teman kerap bertanya alasan berhenti makan daging anjing, jawaban saya: kasihan. 

Sayangnya, jawaban itu kerap dianggap "lebay", dianggap berlebihan. Tentu tidak bisa protes, sebab saya maklum betul bagaimana karakter orang-orang di sekitar saya. Makan daging anjing sudah terlanjur menjadi tradisi yang turun-temurun dari nenek moyang. Sulit mengubahnya.

Selain, seperti diuraikan di atas, munculnya perdagangan anjing juga tidak bisa dilepaskan dari faktor ekonomi. Bahwa harga anjing memang mahal sehingga memicu masyarakat untuk terus memeliharanya. Hal ini memang seperti lingkaran setan yang satu dengan yang lainnya saling terkait. Rasa yang enak, permintaan tinggi, serta penawaran yang tidak pernah putus. Itulah penyebab utama kenapa kampanye mengajak agar tidak lagi mengkonsumsi daging anjing kerap kandas di tengah jalan.

Belakangan, gerakan setop konsumsi daging anjing mulai memancing reaksi pemerintah. Contohnya di Jawa Tengah. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo seperti dilansir CNN Indonesia, telah mengimbau agar pemerintah daerah di Solo Raya (Salatiga, Semarang, Solo, Sukoharjo, dan Sragen) menerapkan larangan mengonsumsi dan memperdagangkan daging anjing.

Instruksi Ganjar ini muncul karena laporan lembaga Dog Meet Free Indonesia yang menyebutkan bahwa sebanyak 13.700 ekor anjing setiap bulannya dibantai di Solo Raya untuk dikonsumsi dagingnya. Pertanyaannya, apakah dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) larangan konsumsi dan perdagangan anjing akan menghilangkan tradisi yang sudah turun-temurun tersebut? Saya kok tidak yakin.

Kenapa? Itu tadi karena kebiasaan itu sudah mendarah-daging. Mengubah kebiasaan itu hanya dengan menerbitkan Perda, sepertinya tidak akan manjur. Yang ada, pemilik dan penikmat akan main 'kucing-kucingan' semisal Perda-nya berisi sanksi denda atau bahkan penjara. Tidak akan maksimal.

Lalu bagaimana dong caranya? Walau sedikit ekstrem dan sudah pasti tidak akan populer, saya mengusulkan agar lembaga agama dan kaum rohaniawan yang tampil terdepan berkampanye. Misalnya, PGI (Persatuan Gereja Indonesia) menerbitkan surat edaran agar tidak lagi mengkonsumsi daging anjing dan diikuti oleh seluruh pendeta-pendeta. Cara ini saya kira jauh lebih efektif karena perintah itu datang dari "langit". Kita tahu, manusia pada dasarnya selalu tunduk terhadap perintah yang berasal dari "langit".

Bila disimpulkan, kampanye setop makan daging anjing akan sulit berhasil apabila tidak melibatkan lembaga agama dan kaum rohaniawan. Barangkali, lembaga pecinta binatang sudah waktunya melakukan pendekatan terhadap institusi ini. Atau jangan-jangan, sudah pernah melakukan pendekatan tetapi malah ditolak dengan berbagai alasan. Saya tidak tahu.

Kalau itu yang terjadi, Anda pasti sudah bisa menebak ending-nya, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun