Karena sudah berton-ton, tak mungkin kan dimakan sendiri. Atau bahkan dijual eceran ke pasar-pasar tradisional. Itu sudah pasti butuh waktu lama sementara jeruk merupakan komiditi yang harus cepat-cepat dijual. "Barang Busuk" kalau istilah orang Medan. Bukan barang mati seperti parang atau mobil.
Dulu, sambung mertua, harga jeruk perkilogram dihargai antara Rp 1.000 hingga Rp 3.000. Harga ini ditentukan pembeli yang langsung datang ke lokasi panen. Pembeli dalam jumlah besar atau yang biasa disebut tengkulak memang rajin mendatangi kebun-kebun jeruk milik warga. Membeli langsung dan mengangkutnya dengan truk kecil maupun truk besar. Dengan kata lain, transaksi jual-beli terjadi di lokasi panen jeruk.
Hasil penjualan jeruk walau dihargai lebih murah oleh tengkulak, sangat membantu para petani di Tanah Karo. Dengan hasil menjual jeruk, perekonomian merangkak naik, bahkan mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke Jakarta. Sementara di Tapanuli, biaya sekolah anak-anak umumnya bersumber dari hasil penjualan kopi.
Sayangnya, potret kejayaan petani jeruk di Tanah Karo perlahan memudar. Tak lagi seperti dulu. Kondisi ini terjadi akibat peristiwa di luar kendali manusia, seiring erupsi Gunung Sinabung beberapa tahun belakangan. Erupsi Sinabung secara langsung mengakibatkan hilangnya sebagian lahan jeruk hingga rusaknya tanaman jeruk akibat awan debu.
Meski harus menantang alam, petani jeruk di Tanah Karo tetap setia dengan mata pencaharian utamanya. Mereka tetap bertani jeruk, ditambah tanaman sayuran lain seperti kol dan bawang. Mereka tak menyerah tetapi berusaha bergandengan tangan dengan alam yang kadang kurang bersahabat. Jeruk tetap menjadi andalan utama, kendati tak sejaya yang dulu.
Mejuah-juah Tanah Karo Simalem.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI