Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Potret Kejayaan Petani Jeruk di Tanah Karo

2 November 2019   14:46 Diperbarui: 4 November 2019   11:47 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga Parman Tarigan Panen Jeruk di Tanah Karo (Koleksi Pribadi)

Karena sudah berton-ton, tak mungkin kan dimakan sendiri. Atau bahkan dijual eceran ke pasar-pasar tradisional. Itu sudah pasti butuh waktu lama sementara jeruk merupakan komiditi yang harus cepat-cepat dijual. "Barang Busuk" kalau istilah orang Medan. Bukan barang mati seperti parang atau mobil.

Dulu, sambung mertua, harga jeruk perkilogram dihargai antara Rp 1.000 hingga Rp 3.000. Harga ini ditentukan pembeli yang langsung datang ke lokasi panen. Pembeli dalam jumlah besar atau yang biasa disebut tengkulak memang rajin mendatangi kebun-kebun jeruk milik warga. Membeli langsung dan mengangkutnya dengan truk kecil maupun truk besar. Dengan kata lain, transaksi jual-beli terjadi di lokasi panen jeruk.

(Koleksi Pribadi)
(Koleksi Pribadi)
Namun tak semua jeruk diangkut tengkulak. Hanya jeruk-jeruk "super" saja. Yakni jeruk yang berukuran besar dan berkulit mengkilap. Adapun jeruk yang tak layak ekspor akan diangkut sendiri oleh pemilik jeruk. Dijual eceran ke pedagang-pedagang pasar di sekitar Medan. Sebagian lagi dibagi-bagi ke tetangga dan kerabat.

Hasil penjualan jeruk walau dihargai lebih murah oleh tengkulak, sangat membantu para petani di Tanah Karo. Dengan hasil menjual jeruk, perekonomian merangkak naik, bahkan mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke Jakarta. Sementara di Tapanuli, biaya sekolah anak-anak umumnya bersumber dari hasil penjualan kopi.

Sayangnya, potret kejayaan petani jeruk di Tanah Karo perlahan memudar. Tak lagi seperti dulu. Kondisi ini terjadi akibat peristiwa di luar kendali manusia, seiring erupsi Gunung Sinabung beberapa tahun belakangan. Erupsi Sinabung secara langsung mengakibatkan hilangnya sebagian lahan jeruk hingga rusaknya tanaman jeruk akibat awan debu.

Meski harus menantang alam, petani jeruk di Tanah Karo tetap setia dengan mata pencaharian utamanya. Mereka tetap bertani jeruk, ditambah tanaman sayuran lain seperti kol dan bawang. Mereka tak menyerah tetapi berusaha bergandengan tangan dengan alam yang kadang kurang bersahabat. Jeruk tetap menjadi andalan utama, kendati tak sejaya yang dulu.

Mejuah-juah Tanah Karo Simalem.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun