Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tak Loyal, Luhut "Buldoser" Susi

24 Oktober 2019   21:35 Diperbarui: 24 Oktober 2019   21:39 2913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan selama 5 tahun penuh. Dari 2014 hingga 2019. Sepak terjangnya mengundang decak kagum.

'Tenggelamkan', merupakan kata yang identik dengan Susi, menyusul keberaniannya menindak tegas kapal-kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia. Mafia-mafia laut dibuatnya terbirit-birit, kehilangan mata pencaharian ilegal yang selama ini seolah mendarah daging.

Namun sehebat-hebatnya Susi, akhirnya tak berarti jika tak sejalan dengan atasan. Siapa lagi kalau bukan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut "Buldoser" Panjaitan. Sebagai Menko yang membawahi Susi, keduanya memang kerap terlibat cekcok. Dari urusan cantrang, garam, hingga yang terakhir soal reklamasi Teluk Benoa, Bali. Susi melawan Luhut. Dilawan bawahan, Luhut pasti bertindak: buldoser!

Pencoretan Susi dari jajaran Kabinet Indonesia Maju secara halus direstui Presiden Jokowi. Lihat saja pesan Jokowi saat memperkenalkan para menterinya. Bahwa menteri dilarang memiliki visi dan misi, yang ada adalah visi-misi Presiden dan Wakil Presiden.

Hal ini jelas menggambarkan bahwa tugas menteri adalah bekerja. Bukan bekerja dan berpikir, seperti yang dilakukan Susi.

Pemikiran Susi, yang kemudian bertentangan dengan Luhut, mungkin saja betul adanya. Apa yang di benak Susi boleh saja betul dan bermanfaat. Hanya saja, Susi sekali lagi direkrut bukan untuk berpikir tetapi cukup bekerja.

Di sisi lain, Luhut secara pribadi mungkin saja sejalan dengan pemikiran Susi. Akan tetapi, mungkin juga bertentangan dengan visi Presiden. Lalu, mana yang harus dijalankan?

Jawabannya, visi Presiden, bukan visi Luhut apalagi visi Susi. Di sinilah loyalitas dibutuhkan, ketika bawahan wajib mengikuti arahan atasan. Apapun arahan atasan. 

Konsep satu komando inilah yang mungkin tidak sesuai dengan Susi yang berlatarbelakang pengusaha dan warga sipil. Berbeda dengan Luhut yang telah terdoktrin sejak aktif di militer agar setia mengikuti perintah atasan. Tanpa protes sama sekali.

Sikap Susi yang kerap melawan arus itulah menjadi penyebab terdepak dari kabinet. Mantra sakti 'tenggelamkan' milik Susi rupanya tak mempan dengan mantra sakti 'buldoser' milik Luhut.

Apalagi, peran Luhut dalam Pilpres 2019 yang berjuang memenangkan Jokowi tentu tak sebanding dengan peran Susi. Sehingga sangat wajar apabila Jokowi lebih mendengarkan Luhut ketimbang Susi. Semua tahu, Luhut merupakan salah satu motor penggerak yang berjuang mengantarkan Jokowi ke Istana kedua kalinya.

Pentingnya loyalitas, bahkan ditegaskan kembali oleh Jokowi. Bahwa menteri-menteri di bawah Menko wajib mematahi perintah. "Jangan ada menteri yang diundang rapat oleh Menko, malah mengirim pejabat eselon". Pernyataan Jokowi tersebut sangat mungkin menyindir Susi yang dulu enggan menghadiri rapat-rapat di Kantor Kemenko Kemaritiman.

Jadi kalau banyak pihak yang merindukan Susi di kabinet Jokowi, jawabannya kini sudah tersedia. Bahwa Susi memang hebat kinerjanya, tetapi sayang ia tak loyal. Sementara loyalitas merupakan harga mati di pemerintahan kedua Jokowi. Tanpa loyalitas dan soliditas, kabinet Jokowi memang akan sulit berlari kencang.

Pun begitu, kita wajib juga mengapresiasi kinerja Susi selama menjabat. Susi, bagaimanapun, telah membuktikan dirinya sanggup mengemban amanah dari Presiden selama lima tahun lamanya. Semoga beliau tetap bersedia memberikan kontribusinya bagi kemajuan bangsa dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun