Simon Sembiring pada Bab 7 (Saham PTFI; Siapa Untung, Siapa Buntung?) kembali membeberkan fakta baru yang selama ini tersimpan rapi. Simon ibarat membuka 'kotak pandora' yang sudah terlama lama terkunci rapat. "Apa itu PI Rio Tinto? Apa hubungannya dengan pemerintah Indonesia sehingga harus membelinya? Mengapa tiba-tiba muncul Rio Tinto? Kemudian, apa landasan hukumnya sehingga harus membeli saham Rio Tinto demi memenuhi saham 51% itu?
Begitulah sederet pertanyaan yang menimbulkan kegalauan bagi Simon. Simon merasa jengkel lantaran yang berkontrak dengan pemerintah Indonesia adalah FCX, pemegang saham asing di Freeport. Sehingga kalaupun Rio Tinto mempunyai saham di Freeport, hal itu bukanlah urusan pemerintah Indonesia, melainkan urusan FCX. Keputusan membeli saham Rio Tinto itu pun membuat Simon kemudian bertanya. Apakah Indonesia diuntungkan atau justru buntung?
Harus diakui memang, nama Rio Tinto belum cukup familiar dalam setiap pembahasan isu Freeport. Ironisnya, Rio Tinto telah memiliki saham sebesar 40% di Freeport sejak 1996 dan akan berakhir pada 2021. Saat itu, Freeport membutuhkan mitra usaha dalam upaya mengekspansi tambang Grasberg. Namun sayangnya, informasi ini cukup tertutup lantaran kurangnya akses media massa untuk mengetahui lebih jauh tentang Rio Tinto yang bermarkas di London tersebut.
Kegalauan Simon Sembiring (6): Divestasi Freeport, Licin dan Penuh Liku
Simon sendiri tak pernah mengetahui keberadaan Rio Tinto di Freeport, bahkan dengan jabatan karir tertinggi sebagai PNS yakni sebagai Dirjen Minerba. Itu menandakan informasi soal Rio Tinto di tubuh Freeport memang sangat tertutup. Barulah pada 2017 nama Rio Tinto mencuat ke publik, saat divestasi Freeport ramai dibahas. Bukan main!
Untuk mengurai misteri itu, Simon lalu mengajak pembaca untuk kembali ke masa Presiden Soeharto. Pada 19 April 1996, Menteri Pertambangan dan Energi (sekarang ESDM) IB Sudjana ternyata pernah mengirimkan surat persetujuan terhadap kesepakatan "joint venture" antara Freeport dan Rio Tinto. Nah, surat persetujuan itulah yang dijadikan sebagai landasan "hukum" bahwa Rio Tinto juga merupakan bagian dari Freeport.
Sayangnya, surat Menteri Soeharto itu punya kejanggalan dari sisi administrasi. Surat IB Sudjana kepada bos besar Freeport James Moffet bertuliskan: No.1826/05/M.SJ/1996. Dalam tata administrasi di Kementerian MPE (ESDM), kode "SJ" berarti Sekretariat Jenderal. Lalu apa yang janggal?
Sangat janggal karena bila mengacu pada KK 1991, Pasal 28 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap pemberitahuan, permintaan, peniadaan, izin, persetujuan, dan pengumuman-pengumuman lain yang diperlukan atau diizinkan, harus dilakukan secara tertulis dan diajukan kepada Ditjen Pertambangan Umum (sekarang Ditjen Minerba).
Dengan mengacu pada kekacauan administrasi ini, PI Rio Tinto di Freeport secara prinsip tidak memiliki dasar hukum yang kuat (legal standing). Itu berarti, pembelian saham Rio Tinto oleh PT Inalum (Persero) secara hukum juga menjadi tidak sah. Lalu apakah Menteri Sudjana sengaja melakukan kesalahan itu atau memang ada faktor lain? Sulit menjawabnya karena yang bersangkutan kini telah tiada.
Namun Simon mencoba berbaik sangka kepada Menteri Sudjana. Ia menduga surat persetujuan diterbitkan karena informasi yang diperoleh Sudjana memang tidak utuh. Antara lain informasi tentang potensi untuk konversi saham bagi siapapun yang kelak membeli saham Rio Tinto setelah masa kontrak berakhir pada 2021.
Akibat informasi yang kurang utuh tersebut, Simon kemudian menyayangkan penerus IB Sudjana yang juga kurang teliti. Seharusnya, dengan adanya pelanggaran KK 1991, Pasal 28 ayat 2, Menteri ESDM khususnya, serta Menteri Keuangan maupun Menteri BUMN tidak serta merta menyetujui pembelian saham Rio Tinto. Begitu pula Inalum (sebagai pemegang saham Freeport) juga luput dari kejanggalan tersebut.
Namun apa daya, Head of Agreement (HoA) dan Sales and Purchase Agreement (SPA) antara Inalum dan FCX sudah terlanjur ditandatangani, dan pada 21 Desember 2018, Inalum telah melunasi pembayaran 3,85 miliar dolar AS untuk 51% saham Freeport. Bukan itu saja, pemerintah akhirnya bersedia memperpanjang masa kontrak Freeport hingga 2041, meski tak ada keharusan perpanjangan kontrak sebagaimana tertuang dalam KK 1991.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H