Barangkali Anda sudah banyak tahu soal sejarah penemuan maupun kekayaan alam yang dikandung tambang Freeport. Tapi bila Anda terlewat, Simon Sembiring pada Bab 5 (Freeport; Benang yang Kusut) kembali menyajikannya. Karena memang kusut, saya kembali menuliskan judul bab milik Simon sebagai judul artikel ini.
Adalah Jean Jacques Dozy yang pertama kali menemukan harta karun di pedalaman Papua itu secara tidak sengaja. Tepatnya pada tahun 1936, Dozy bersama dua rekannya AH Colijn dan Frits Wissel, sepakat mendaki Puncak Cartensz. Tujuan pendakian itu semata-mata hanya karena tak ingin Jepang melakukan pendakian terlebih dahulu. Jika itu terjadi, Dai Nippon kemungkinan besar akan memperluas jajahannya ke wilayah Papua yang saat itu sudah dikuasai pemerintah kolonial Belanda.
Singkat cerita, dalam proses pendakian Puncak Cartensz yang akhirnya sukses itu, Dozy melihat pegunungan tanpa pepohonan (tundra), yang kemudian dinamakan: Grasberg. Tak jauh dari gunung rumput itu, Dozy juga terpukau dengan gunung batuan hitam kokoh berbentuk aneh, menonjol di kaki pegunungan setinggi kira-kira 3.500 meter. Batuan hitam itu kemudian dinamakan: Erstberg, yang berarti Gunung Bijih. Penemuan Dozy Cs inilah yang selanjutnya menjadi babak pembuka eksplorasi Freeport dimulai.
Freeport Sulphur Company, sebuah perusahaan kecil yang tak dikenal di Amerika, memulai ekspedisi ke bijih nikelnya di Kuba. Kala itu, di bawah kendali Fidel Castro, Kuba menasionalisasi perusahaan milik Freeport.
Ekspedisi ke Erstberg di bawah komando Wilson, pria berumur 50 tahun itu, ternyata mencengangkan. Â Wilson memastikan Erstberg mengandung cadangan bahan tambang 33 juta ton bijih besi dengan kandungan tembaga sebesar 2,5%. Lalu di mana cadangan emasnya? Ternyata di kemudian hari, Wilson sama sekali tidak menyangka kalau cadangan tambang di dekat Erstberg yakni Grasberg, justru mengandung cadangan tambang yang lebih besar dan berharga yakni emas.
Baca Juga: Kegalauan Simon Sembiring dalam Kemelut Divestasi Freeport (4)
Freeport Sulphur Company yang kehilangan lahan tambang di Kuba langsung bergerak cepat. Sebuah perusahaan bernama Freeport Indonesia Incorporated didirikan berdasarkan hukum Delaware, negara bagian AS. Perusahaan inilah yang kemudian menandatangani Kontrak Karya (KK) dengan Pemerintah Indonesia pada 7 April 1967, tak lama setelah lahirnya UU Penanaman Modal Asing No 1 Tahun 1967, yang ditandatangani Presiden Soeharto.
Sesuai perjanjian yang tertulis jelas di Pasal 16 KK 1967, masa berlaku KK yang dikantongi Freeport Indonesia Incorporated adalah 30 tahun setelah berproduksi. Sementara Freeport mulai berproduksi pada 1972 atau 5 tahun setelah KK ditandatangani. Dengan demikian, masa berlaku KK tersebut habis pada 2002, dan 2 tahun sebelum masa berlaku habis, Freeport dapat mengajukan perpanjangan 2 kali 10 tahun atas persetujuan pemerintah. Faktanya, seperti kita ketahui, Freeport kembali memperoleh perpanjangan KK pada 1991 dengan masa perpanjangan KK selama 30 tahun pula, atau berakhir pada tahun 2021.
Namun kekusutan sebenarnya bukan terletak di situ. Dan, itulah "licinnya" Freeport, meminjam istilah Simon. Perubahan masa berlaku KK dan proses lahirnya PTFI hanyalah kamuflase yang dirancang untuk mengutak-atik isi KK yang telah disepakati pada 1967. Tujuan Freeport yang sebenarnya adalah mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan berlindung di balik besarnya investasi yang telah digelontorkan.
Mungkin Anda penasaran berapa sih cadangan tambang Freeport saat ini? Simon, menguraikannya berdasarkan catatan PT Inalum (Persero), tambang Grasberg masih mengandung cadangan emas terbukti sebesar 1.187 ton dengan nilai 50,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 722 triliun. Adapun cadangan tembaga terbuktinya, diperkirakan sebanyak 19,4 ton dengan nilai 129,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.851 triliun.
Tambang Grasberg juga mengandung cadangan emas belum terbukti (potensi) sebesar 1.333 ton dengan nilai sebesar 56,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 810,8 triliun. Sementara potensi cadangan tembaganya adalah sebesar 15 juta ton dengan nilai 100 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.430 triliun.
Cadangan tambang gemuk itulah yang menjadi salah satu alasan kenapa perebutan Freeport melalui divestasi saham 51% amat perlu dilakukan. Sayangnya, Simon menilai divestasi tersebut justru melahirkan kekusutan yang baru. Ada yang aneh di balik divestasi Freeport itu. Apa itu?
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H