Ini akibat ulah nakal band asal Siantar, Punxgoaran. Mereka menyanyikan lagu cukup enak didengar dengan lirik yang lucu pula. Pakai campur-campur bahasa Indonesia dan Batak. Ada kata namboru (bibi) dan martarombo (bertanya soal silsilah marga dan keturunan) yang diselipkan di lirik lagunya. Tetapi lagu berjudul "Sayur Kol" itu mendadak heboh lantaran ada penggalan liriknya yang cukup mengusik bagi mereka penyayang hewan peliharaan.
"Makan daging anjing dengan sayur kol", itulah yang menjadi soal. Portal berita historia.id lantas menurunkan laporan berjudul "Mengapa Orang Batak Suka Makan Daging Anjing?" Sebuah judul yang mengundang rasa penasaran para pembaca.
Dalam laporan yang mengutip keterangan dari laman facebook milik Garda Satwa Indonesia, itu disebutkan bahwa tak banyak yang tahu soal proses pengolahan daging anjing. Investigasi membuktikan, anjing-anjing mengalami penyiksaan sebelum dihidangkan.
Beberapa metode anarkis itu seperti dicekik pakai tongkat, dipukul, digebuk dalam karung, diberi racun, hingga langsung dibakar atau dikuliti.
Garda Satwa Indonesia menilai, jika penyiksaan dianggap lucu, sudah hancurlah moral bangsa ini. Jiwanya sudah sakit. Garda Satwa Indonesia juga gencar menyerukan kampanye berhenti makan anjing. Alasannya, anjing adalah hewan peliharaan bukan hewan ternak.
Lalu kenapa orang Batak suka makan daging anjing?
Jawaban persisnya saya tidak tahu meski saya asli berdarah Batak. Namun yang jelas tradisi itu sudah turun-temurun. Selain rasanya enak, daging anjing juga dipercayai sebagai obat khususnya bagi penderita penyakit typus. Selebihnya saya tidak tahu lagi.
Maka saya sangat kaget saat membaca laporan Historia yang menyebutkan bahwa asal mula tradisi makan daging B1 (biang-anjing) berawal dari Habinsaran, desa terpencil di selatan Balige. Tak salah lagi, Habinsaran yang dimaksud adalah kampung halaman saya, sebuah desa dataran tinggi yang terpencil (masa itu).
Begini kutipan laporan Historia:
Pada 3 Maret 1940, van de Velde mendampingi residen ke dataran tinggi Habinsaran, sebelah selatan Kota Balige. Tujuan van de Velde dan rombongannya saat itu hendak meninjau huta-huta (perkampungan) terpencil. Perjalanan dinas ini memberikan van de Velde pengalaman kuliner dan kultural yang berkesan.
"Pada suatu kesempatan, kami dijamu dengan segelas tuak enak, semacam anggur terbuat dari nira pohon enau; minuman ini digemari orang-orang Batak dan seminggu sekali bisa dibeli di pasar besar, di Porsea. Apalagi kalau ditemani sepotong daging anjing, maka mereka lebih menikmati tuak itu," kenang van de Velde dalam korespondensinya yang dibukukan, Surat-surat dari Sumatra 1928-1949.
Tetapi rasanya laporan itu keliru. Letak kekeliruannya adalah soal produksi minuman khas Batak bernama 'tuak' yang terbuat dari buah pohon enau. Setahu saya, tuak telah diproduksi secara mandiri oleh masyarakat Habinsaran sejak lama. Sehingga tidak perlu harus membelinya lagi ke Porsea, wilayah yang cukup jauh dari Habinsaran.
Apalagi, memproduksi tuak itu bukan urusan sulit dari sisi teknik penyajiannya, belum lagi jumlah pohon enau yang dipastikan lebih dari cukup. Kekeliruan kedua, disebutkan seminggu sekali bisa membeli di pasar Porsea.
Faktanya, masyarakat di sana (juga wilayah Batak lainnya) punya tradisi minum tuak dari sore hingga malam hari, selama tujuh hari penuh. Tanpa libur barang sehari pun.
Menurut saya, kekeliruan tersebut membuktikan bahwa tradisi orang Batak makan daging anjing bukan bermula dari Habinsaran. =
Sebab bila tuak dan daging anjing adalah satu paket, maka yang lebih mungkin muasal tradisi makan daging anjing adalah Porsea, yang disebut sebagai sentra pembelian tuak.
Namun begitu, kalau memang dirasa perlu, boleh juga dilakukan penelitian ulang soal kenapa orang Batak gemar memakan daging anjing.
Kemudian, tanpa bermaksud membela diri, aksi sadis saat mengeksekusi anjing seperti dicekik pakai tongkat, dipukul, digebuk dalam karung, diberi racun, hingga langsung dibakar atau dikuliti, juga tak sepenuhnya betul. Memang harus diakui, masih ada yang melakukan metode seperti itu.
Tetapi tak semuanya. Masih banyak kok tukang jagal anjing yang langsung menyembelih layaknya hewan ternak lain seperti sapi dan kerbau. Tak percaya? Silakan datang ke Parsoburan, ibukota Kecamatan Habinsaran, desa yang disebut dalam laporan orang Belanda itu. Di sana, ada tukang jagal bergelar "Kalenteng" yang ahli mengeksekusi anjing dengan cara langsung disembelih. Dalam tempo tiga menit, beres...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H