Tetapi rasanya laporan itu keliru. Letak kekeliruannya adalah soal produksi minuman khas Batak bernama 'tuak' yang terbuat dari buah pohon enau. Setahu saya, tuak telah diproduksi secara mandiri oleh masyarakat Habinsaran sejak lama. Sehingga tidak perlu harus membelinya lagi ke Porsea, wilayah yang cukup jauh dari Habinsaran.
Apalagi, memproduksi tuak itu bukan urusan sulit dari sisi teknik penyajiannya, belum lagi jumlah pohon enau yang dipastikan lebih dari cukup. Kekeliruan kedua, disebutkan seminggu sekali bisa membeli di pasar Porsea.
Faktanya, masyarakat di sana (juga wilayah Batak lainnya) punya tradisi minum tuak dari sore hingga malam hari, selama tujuh hari penuh. Tanpa libur barang sehari pun.
Menurut saya, kekeliruan tersebut membuktikan bahwa tradisi orang Batak makan daging anjing bukan bermula dari Habinsaran. =
Sebab bila tuak dan daging anjing adalah satu paket, maka yang lebih mungkin muasal tradisi makan daging anjing adalah Porsea, yang disebut sebagai sentra pembelian tuak.
Namun begitu, kalau memang dirasa perlu, boleh juga dilakukan penelitian ulang soal kenapa orang Batak gemar memakan daging anjing.
Kemudian, tanpa bermaksud membela diri, aksi sadis saat mengeksekusi anjing seperti dicekik pakai tongkat, dipukul, digebuk dalam karung, diberi racun, hingga langsung dibakar atau dikuliti, juga tak sepenuhnya betul. Memang harus diakui, masih ada yang melakukan metode seperti itu.
Tetapi tak semuanya. Masih banyak kok tukang jagal anjing yang langsung menyembelih layaknya hewan ternak lain seperti sapi dan kerbau. Tak percaya? Silakan datang ke Parsoburan, ibukota Kecamatan Habinsaran, desa yang disebut dalam laporan orang Belanda itu. Di sana, ada tukang jagal bergelar "Kalenteng" yang ahli mengeksekusi anjing dengan cara langsung disembelih. Dalam tempo tiga menit, beres...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H