Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memetik Pelajaran dari Pencopotan Refly Harun

6 September 2018   12:30 Diperbarui: 6 September 2018   16:07 3134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Menjadi netral itu tidak mesti selalu di tengah. Yang lebih penting, membenarkan yang dianggap benar dan mengkritik yang dianggap salah. Tentu sebatas pengetahuan yang kita punya."

Itulah "curhat" Refly Harun yang diunggahnya lewat media sosial twitter miliknya @ReflyHZ, sehari sebelum dicopot sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Jasa Marga (Persero) Tbk. Esok harinya, Rabu (5/9/2018), RUPSLB Jasa Marga secara resmi mengumumkan keputusan itu. Refly dicopot.

Semua tahu bagaimana kiprah Refly sejak masuk dalam lingkaran Kabinet Jokowi per Maret 2015 lalu. Ia justru lebih sering tampil sebagai pakar hukum tata negara, mengisi berbagai diskusi dan memberikan pandangannya terhadap perkembangan hukum-politik di dalam negeri. Kesibukan Refly sebagai Komut Jasa Marga hampir tidak terlihat.

Habis bagaimana, Refly kan sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang infrastruktur khususnya mengurusi jalan tol. Ia murni akademisi yang berkutat di bidang hukum. Lagipula, tugas komisaris di sebuah perusahaan hanyalah melakukan pengawasan kinerja direksi. Bukan pengambil kebijakan layaknya jajaran direksi.

Mungkin karena luangnya waktu sebagai Komut itulah yang membuat Refly tak ingin berdiam diri. Sayang juga kalau pengetahuan yang dimilikinya tidak terpakai. Sia-sia belaka walau tetap berhak menikmati gaji dan fasilitas dari Jasa Marga yang menggiurkan itu. Lalu muncullah Refly ke permukaan, mengomentari berbagai masalah hukum dan politik. Di sinilah "kesalahan fatal" dari seorang Refly.

Bukannya "pasang badan" terhadap kebijakan Jokowi, Refly belakangan malah kerap mengkritik pemerintahan Jokowi. Antara lain, pemilihan menteri Jokowi yang tidak lagi melalui "screening" KPK untuk mengetahui apakah kandidat menteri tersebut bersih dari korupsi.

Refly juga mengkritik penerapan presidential threshold (PT) sebesar 20 persen yang digagas PDIP dan gerbong koalisinya. Mematok PT-20 persen akan menutup kesempatan kaum muda untuk bertarung di tingkat Pilpres karena terbentur persyaratan partai yang cukup berat.

Kritikan dari Refly itulah yang mungkin membuat Jokowi merasa gerah. Sudah digaji miliaran rupiah per tahun tetapi malah menyerang pemerintah. Namun, bagi Refly sebagaimana ia ungkapkan dalam akun twitternya, sikap kritis selama menjabat Komut Jasa Marga hanyalah ingin meluruskan bahwa yang benar adalah benar, dan salah adalah salah. Tidak peduli ia sedang berada dalam lingkaran kekuasaan.

Lalu apa pelajaran yang layak dipetik dari pencopotan Refly? Sederhana saja. Untuk menjadi bagian dari pemerintahan, tidak ada sikap lain kecuali tetap membela apapun keputusan penguasa. Terlepas kebijakan pemerintah tersebut tidak sesuai dengan nurani keilmuan yang dimiliki. Itu syarat yang wajib dijalankan, bukan untuk diprotes apalagi dikritik keras.

Bisa dipastikan, Refly sudah pasti memahami soal aturan main itu. Tak perlu jauh-jauh, Refly sebenarnya bisa belajar dari rekan sejawatnya, sesama komisaris di BUMN. Contoh terdekat, Fadjroel Rachman yang juga menjabat Komut di PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Selama menjabat menjadi Komisaris Utama, Fadjroel selalu membela apapun keputusan pemerintah, baik yang menyangkut Adhi Karya maupun isu-isu nasional yang menyedot perhatian publik.

Walau sudah paham soal aturan main itu, Refly nyatanya tetap teguh pada pendiriannya sebagai akademisi yang kebetulan diminta bergabung dengan pihak penguasa. Refly tetap mempercayai bahwa seorang akademisi boleh saja salah, tetapi dilarang untuk berbohong.

Akademisi yang baik akan mengakui kesalahannya jika pendapat maupun pengetahuannya ternyata keliru. Sebaliknya, politisi dilarang berbohong walaupun pendapat dan pengetahuannya sudah terbukti keliru. Di situlah letak perbedaan tajam antara akademisi dan politisi. Itulah pelajaran kedua yang mungkin bisa dipetik dari petualangan Refly.

Menjadi netral itu sungguh tidak mudah, hanya akademisi tulen yang mampu melakoninya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun