Menjadi seorang bupati di tanah kelahirannya sendiri sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Nikson Nababan. Tetapi soal kepemimpinan, ia sejak muda sudah memiliki talenta itu. Barangkali talenta kepemimpinan itulah yang kemudian membawanya ke pucuk kekuasaan di Kabupaten Tapanuli Utara (Taput), Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Nikson melewati masa-masa kecilnya di Siborongborong, sebuah kecamatan di dekat Tarutung, ibukota Taput. Ayah dan ibunya yang mengabdi sebagai guru turut membentuk karakter keteladanan serta kepemimpinan Nikson. Namun bukan berarti dia tak paham soal bagaimana getirnya kehidupan di Tanah Batak, yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Kala itu, Kabupaten Tobasa, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Humbang Hasundutan masih berada dalam wilayah Kabupaten Taput, yang diliputi serba kekurangan.
Saking prihatinnya, cap "Tapanuli Peta Kemiskinan" pernah disandang wilayah Taput secara keseluruhan pada 1980-an, setelah koran sore Harian Umum Sinar Harapan menerbitkan laporan tentang wajah Tapanuli yang belum berubah sejak era kolonial hingga orde baru.
Laporan itu pulalah yang menginspirasi terciptanya lagu berjudul "Tapanuli Peta Kemiskinan" yang dibawakan apik oleh Jack Marpaung. (Selengkapnya: Syair Jack Marpaung yang Mengubah Tapanuli).
Nikson merupakan salah seorang putera daerah yang pernah mengalami era "Peta Kemiskinan" itu. Tetapi juga sekaligus dijadikannya sebagai motivasi untuk mengubah kehidupan yang lebih baik. Usai menuntaskan pendidikan SMA di Siborongborong, Nikson kemudian menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) Yogyakarta. Selama kuliah di Yogya, kehidupan yang serba kekurangan tidak menjadi soal besar bagi Nikson. Toh, dia sudah terbiasa mengalami hal serupa semasa di kampung halaman.
Petualangan Nikson pun berlanjut di Jakarta, kota yang menjadi impian seluruh perantau dari penjuru negeri. Rupanya, perjuangan di Ibu Kota tak semulus yang dibayangkan. Ketimbang menganggur, Nikson bahkan rela bekerja sebagai sales barang-barang elektronik, keluar-masuk ke sudut-sudut perkampungan di Jakarta.
Kerja keras dan optimisme Nikson akhirnya berbuah manis. Dia akhirnya diterima bekerja sebagai wartawan di Harian Media Indonesia. Di sinilah naluri politik Nikson mulai diasah karena seringnya menjalin komunikasi dengan sejumlah elit politik nasional. Nikson sebetulnya sangat menikmati bekerja di Media Indonesia, tetapi segalanya berubah menyusul krisis moneter 1998. Dia termasuk dalam gelombang pengurangan karyawan.
Terlanjur mencintai dunia jurnalistik, Nikson kemudian bergabung dengan majalah Bona Ni Pinasa, sebuah media massa dengan segmentasi budaya dan kehidupan sosial masyarakat Batak. Di majalah Bona Ni Pinasa, Nikson menempati posisi sebagai Pemimpin Redaksi, sebuah jabatan yang membuka jalan baginya untuk lebih dekat dengan tokoh-tokoh Batak di Jakarta, termasuk para politisi yang banyak berkecimpung di berbagai partai politik.
Dalam waktu singkat, Nikson akhirnya berubah menjadi sosok yang diperhitungkan sebagai tokoh muda Batak di Jakarta. Sedikit keberuntungan, Nikson memiliki abang kandung Sukur Nababan yang ikut menempanya menjadi seorang politisi. Saat ini, Sukur adalah anggota DPR dari PDIP dengan daerah pemilihan Bekasi dan Depok, Jawa Barat.
Membangun Kampung Halaman