Tak jauh berbeda, omzet parkir milik warga juga terbilang fantastis. Saya menghitung, setiap lapak parkir milik warga mampu memuat 200 hingga 300 motor. Bila dikalikan Rp 5.000, maka total pendapatannya sehari berada di angka Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Atau dalam sebulan menyentuh angka Rp 30 juta hingga Rp 35 juta.
Maka tak heran, parkir motor milik warga itu seluruhnya masih berbentuk rumah biasa. Rumah yang sebelumnya disewakan itu akhirnya disulap menjadi lahan parkir. Sebab jika rumah itu disewakan sebagai rumah hunian, paling berada di angka Rp 25 juta per tahun. Dengan kata lain, tarif itu sama dengan pendapatan satu bulan jika diubah menjadi lahan parkir.
Apalagi, keberadaan parkir milik warga itu harus diakui sangat dibutuhkan para penumpang KRL yang tinggal di sekitar wilayah Depok dan bekerja di Jakarta. Tanpa itu, motor milik penumpang KRL tidak akan mungkin tertampung bila harus dititipkan di tempat parkir milik KAI. Sehingga terjadilah simbiosis mutualisme antara roker alias rombongan kereta dengan warga penyedia lahan parkir.
Namun begitu, gemuknya omzet parkir di Stadela tentu jauh berbeda dengan stasiun lain khususnya yang mulai mendekati wilayah pusat Jakarta seperti Tanjung Barat, Lenteng Agung, hingga Pasar Minggu. Omzet gemuk jasa parkir akan mulai menggeliat sejak memasuki stasiun Depok Baru hingga Bogor.
"KRL 115 tujuan Jakarta Kota, selesai turun-naik penumpang. Terima semboyan lima, indikasi berjalan," begitu aba-aba lewat pengeras suara yang akhirnya mengakhiri perbincangan singkat saya dengan "abang-abang" tukang parkir.
Sampai sekarang pun saya masih penasaran, di mana ruangan pemandu kereta itu berada. Kalau tahu, saya ingin bertanya apa sih latar belakang penggunaan istilah "semboyan lima" itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H