Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghitung Omzet "Jumbo" Jasa Parkir Motor di Dekat Stasiun

21 Maret 2018   02:58 Diperbarui: 21 Maret 2018   03:26 9977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak jauh berbeda, omzet parkir milik warga juga terbilang fantastis. Saya menghitung, setiap lapak parkir milik warga mampu memuat 200 hingga 300 motor. Bila dikalikan Rp 5.000, maka total pendapatannya sehari berada di angka Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Atau dalam sebulan menyentuh angka Rp 30 juta hingga Rp 35 juta.

Maka tak heran, parkir motor milik warga itu seluruhnya masih berbentuk rumah biasa. Rumah yang sebelumnya disewakan itu akhirnya disulap menjadi lahan parkir. Sebab jika rumah itu disewakan sebagai rumah hunian, paling berada di angka Rp 25 juta per tahun. Dengan kata lain, tarif itu sama dengan pendapatan satu bulan jika diubah menjadi lahan parkir.

Apalagi, keberadaan parkir milik warga itu harus diakui sangat dibutuhkan para penumpang KRL yang tinggal di sekitar wilayah Depok dan bekerja di Jakarta. Tanpa itu, motor milik penumpang KRL tidak akan mungkin tertampung bila harus dititipkan di tempat parkir milik KAI. Sehingga terjadilah simbiosis mutualisme antara roker alias rombongan kereta dengan warga penyedia lahan parkir.

Namun begitu, gemuknya omzet parkir di Stadela tentu jauh berbeda dengan stasiun lain khususnya yang mulai mendekati wilayah pusat Jakarta seperti Tanjung Barat, Lenteng Agung, hingga Pasar Minggu. Omzet gemuk jasa parkir akan mulai menggeliat sejak memasuki stasiun Depok Baru hingga Bogor.

"KRL 115 tujuan Jakarta Kota, selesai turun-naik penumpang. Terima semboyan lima, indikasi berjalan," begitu aba-aba lewat pengeras suara yang akhirnya mengakhiri perbincangan singkat saya dengan "abang-abang" tukang parkir.

Sampai sekarang pun saya masih penasaran, di mana ruangan pemandu kereta itu berada. Kalau tahu, saya ingin bertanya apa sih latar belakang penggunaan istilah "semboyan lima" itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun