Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghitung Omzet "Jumbo" Jasa Parkir Motor di Dekat Stasiun

21 Maret 2018   02:58 Diperbarui: 21 Maret 2018   03:26 9977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parkir Motor KAI di St. Depok Lama (Dokumentasi Pribadi)

Karena sayang-sayang duit, saya pernah terpaksa menggunakan ojek online dari Stasiun Depok menuju rumah. Bukan karena bensin motor habis tetapi karena motornya memang sudah tidak bisa diutak-atik lagi. 

Suara kencang sembari menggedor-gedor rolling door ternyata tak selamanya manjur membangunkan "abang-abang" penjaga parkir. Walau sebetulnya waktu jarum jam masih menunjukkan pukul 21.05 WIB. Belum terlalu larut apalagi untuk ukuran anak muda.

Tapi apa boleh buat, suara kencang sembari meminta tolong itu ternyata tidak digubris. Usaha pun sia-sia lalu menyerah. Seorang teman senasib juga begitu. Kami berdua terpaksa pasrah, membiarkan nasib sial malam itu berlaku sesukanya. Seorang tukang ojek pangkalan membisik, "Nggak bakalan dibuka kalau sudah lewat jamnya," katanya menyudahi usaha kami.

Sejak saat itu, jika ingin menggunakan jasa transportasi KRL Jabodetabek, saya selalu menitipkan motor di parkir milik KAI, yang persis berada di sisi kiri dan kanan Stasiun Depok. Toh, saya justru lebih leluasa pulang lebih larut, tak lagi terhimpit dalam kerasnya kehidupan di dalam gerbong kereta di saat "jam-jam sewa". Saya terbebas dari aksi saling dorong penumpang walau tetap harus berdiri sepanjang perjalanan. Namun setidaknya, suasananya sudah lebih  kondusif.

Oh ya, walau secara resmi bernama Stasiun Depok, masyarakat Depok selalu menyebutnya Stasiun Depok Lama yang disingkat Stadela. Ini agar lebih mudah membedakan stasiun tetangganya yang bernama Stasiun Depok Baru, yang entah kenapa jarang disingkat semisal Stadebar. Singkatan Stadela jelas lebih populer ketimbang Stadebar.

Sebenarnya, memarkir motor di parkiran milik KAI ketimbang di parkiran milik warga di kiri-kanan sepanjang jalan menuju Stadela, tergolong lebih mahal. KAI mematok Rp 8.000 untuk waktu maksimal 24 jam sementara parkir warga dibanderol variasi antara Rp 5.000-6.000 hingga pukul 21 WIB atau 21.30 WIB. 

Harga progresif itulah yang menjadi pertimbangan para komuter sehingga menitipkan motornya di jasa parkir milik warga. Kan lumayan selisih harga Rp 2.000, toh jam pulang kantor selalu tepat waktu. Kecil kemungkinan tiba di Stadela lewat dari pukul 21 WIB. Sedangkan bila dititip di parkir KAI, tarif akan bergerak menjadi Rp 8.000 jika telah melewati batas dari 4 jam hingga 24 jam.

Tetapi mungkin karena pengaruh sayang-sayang duit tadi, saya lantas iseng mengobrol dengan salah satu penjaga parkir milik KAI. Pertanyaannya standar saja, yakni berapa motor daya tampung parkiran itu? Lalu dalam sehari, rata-rata berapa buah motor yang dititipkan di sana? 

Menurut penuturan tukang parkir itu, total motor yang mampu menjejali lahan parkir KAI bisa mencapai 800 buah motor. Itu biasanya terjadi pada hari kerja, Senin hingga Jumat. Sementara Sabtu dan Minggu dan hari libur lainnya hanya terisi maksimal 500 motor saja.

Saya lalu bertanya, berapa pendapatan parkir ini dalam sebulan? "Wah yang pasti besar sekali," katanya. Memang bila dihitung secara rata-rata saja misalnya 500 motor per hari dikalikan Rp 8.000 per motor, adalah sebesar Rp 4 juta. Itu dengan asumsi seluruh motor yang diparkir di sana belum melewati batas maksimal 24 jam. 

Jika dikalikan dalam sebulan atau 30 hari, maka total pendapatan parkir KAI adalah Rp 120 juta. Bombastis, bukan?

Tak jauh berbeda, omzet parkir milik warga juga terbilang fantastis. Saya menghitung, setiap lapak parkir milik warga mampu memuat 200 hingga 300 motor. Bila dikalikan Rp 5.000, maka total pendapatannya sehari berada di angka Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Atau dalam sebulan menyentuh angka Rp 30 juta hingga Rp 35 juta.

Maka tak heran, parkir motor milik warga itu seluruhnya masih berbentuk rumah biasa. Rumah yang sebelumnya disewakan itu akhirnya disulap menjadi lahan parkir. Sebab jika rumah itu disewakan sebagai rumah hunian, paling berada di angka Rp 25 juta per tahun. Dengan kata lain, tarif itu sama dengan pendapatan satu bulan jika diubah menjadi lahan parkir.

Apalagi, keberadaan parkir milik warga itu harus diakui sangat dibutuhkan para penumpang KRL yang tinggal di sekitar wilayah Depok dan bekerja di Jakarta. Tanpa itu, motor milik penumpang KRL tidak akan mungkin tertampung bila harus dititipkan di tempat parkir milik KAI. Sehingga terjadilah simbiosis mutualisme antara roker alias rombongan kereta dengan warga penyedia lahan parkir.

Namun begitu, gemuknya omzet parkir di Stadela tentu jauh berbeda dengan stasiun lain khususnya yang mulai mendekati wilayah pusat Jakarta seperti Tanjung Barat, Lenteng Agung, hingga Pasar Minggu. Omzet gemuk jasa parkir akan mulai menggeliat sejak memasuki stasiun Depok Baru hingga Bogor.

"KRL 115 tujuan Jakarta Kota, selesai turun-naik penumpang. Terima semboyan lima, indikasi berjalan," begitu aba-aba lewat pengeras suara yang akhirnya mengakhiri perbincangan singkat saya dengan "abang-abang" tukang parkir.

Sampai sekarang pun saya masih penasaran, di mana ruangan pemandu kereta itu berada. Kalau tahu, saya ingin bertanya apa sih latar belakang penggunaan istilah "semboyan lima" itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun