Cuaca yang cukup terik saat rombongan bis rombongan Jakarta-Bandung memasuki areal parkir sebuah hotel lumayan asri. Turun dari bis, seperti biasa ritual wajib bagi perokok adalah mengambil sebatang rokoknya lalu diselipkan di bibir.Â
Tus...terjadilah sedikit polusi udara. Akibat dikejar jadwal ketat, kami yang berangkat sejak subuh dari Jakarta, tiba-tiba saja diminta panitia segera bergabung dengan sebuah acara perusahaan BUMN, lebih tepatnya hajatan serikat pekerja BUMN. "Ayo Mas, acaranya sudah dimulai," begitu salah satu panitia mengajak rombongan yang berbusana tampil apa adanya. Tidak cling.
Apa boleh buat, walau baru lima kali hisapan, candu nikotin yang terselip di jari pun terpaksa dihentikan. Khawatir ditegur sekuriti di lobby hotel yang rajin memasang wajah senyum. Kan malu ditegur lantaran merokok di tempat umum. Rombongan pun bergerak, menyusuri lobby hotel bernuansa tradisional itu lalu menuruni anak tangga dengan pemandangan sebuah kolam renang di tepi tembok hotel.Â
Usai menuruni tangga, tibalah ke sebuah ruangan berukuran cukup lebar dengan ventilasi terbuka. Semilir angin pun langsung terasa. Selain tempat bersantai, ruangan itu juga berfungsi sebagai restoran.
Alamak, saya takjub sekaligus gembira. Saya gembira karena ternyata oh ternyata, di lobby hotel itu tidak ada larangan menghisap nikotin. Begitu juga dengan ruangan santai plus restoran, boleh-boleh saja menikmati nikotin. Kabar gembira bagi saya, tentu saja. Bagi yang lain mungkin kabar buruk, juga bagi sebagian Kompasianer. Maaf ya. Jangan ditiru.
Acara pun berlangsung normal, diselingi tepuk tangan dan kepalan tangan ke udara khas yel-yel aktivis. Di sela acara, saya memilih keluar sejenak. Melanjutkan ritual yang terputus tadi. Tetapi pandanganku tertuju kepada seseorang yang sedang asyik bermain gawai. Dia duduk di deretan meja paling pinggir di dekat kolam renang. Tak lain, saya meyakini pria itu adalah sosok yang cukup sering saya hubungi lewat sambungan Whatsapp untuk keperluan wawancara isu-isu seputar energi.
Ferdinand Hutahaean. Ya, itu dia. Tak salah lagi, dia menjabat Direktur Eksekutif di lembaga kajian Energy Watch Indonesia (EWI). Pria yang dalam beberapa hari terakhir cukup heboh diperbincangkan di jagad maya. Aksinya yang walkout saat Presiden Jokowi berpidato di Rapimnas Demokrat, menuai polemik. Ferdinand dianggap tidak menghargai tamu khusus Demokrat, orang nomor satu di negeri ini.Â
Namun Ferdinand tetap pada sikapnya. Ia mengaku tidak ada dendam secara pribadi kepada Jokowi. Sehingga aksi keluar ruangan saat Jokowi berpidato semata-mata hanyalah bentuk protes politik kepada Jokowi. Ferdinand hanya ingin merepresentasikan kekecewaannya kepada Jokowi melalui aksi walkout. Tidak lebih.
Padahal, jika mau sedikit saja "mengalah", Ferdinand bakal duduk di jabatan empuk di salah satu perusahaan BUMN. Ia akan ikut mencicipi nikmatnya berkuasa seperti banyak aktivis maupun pihak yang dianggap ikut mengantarkan Jokowi ke singgasana Istana. Kita tahu tanpa harus menyebut nama, sejumlah komisaris perusahaan BUMN saat ini berasal dari kalangan yang sebelumnya berjasa memenangkan Jokowi dalam Pemilu 2014 lalu. Pun begitu, tradisi bagi-bagi kue kekuasaan semacam itu bukan hanya terjadi di era Jokowi belaka. Tetapi di setiap rezim.
Begitulah kesimpulan yang saya petik saat menghampiri Ferdinand, memperkenalkan diri, lalu asyik mengobrol sana-sini khususnya terkait isu politik terkini. Tanpa bermaksud membela sikap walkout-nya, Ferdinand menurut saya adalah seorang aktivis yang siap menunda "kekuasaan".Â
Sebab tidak sulit bagi Ferdinand untuk merebut satu kursi komisaris BUMN bila memperhatikan faktor kedekatannya dengan Jokowi sejak masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Ferdinand yang kemudian tergabung dalam Bara JP, secara total mengkampanyekan Jokowi sebagai capres hingga akhirnya memenangi pertarungan melawan Prabowo.