Namboru yang sedang kukunjungi sore ini malah menyeduh teh manis hangat. Padahal dia tahu betul saya pecandu kafein, secangkir kopi yang rasanya sungguh nikmat. Menghirup aroma kopi yang memikat dengan menyeruputnya sedikit demi sedikit. Pokoknya mirip Bang Denny Siregar, yang setiap kali bercerita lewat tulisannya tak lupa menyelipkan kenikmatan secangkir kopi. Namun karena khawatir kena omelan Namboru, teh manis hangat itu pun terpaksa mengalir juga ke kerongkongan. Ah, seruput.
Entah kenapa pula minuman bukan kopi itu malah membuat percakapan antara saya dan Namboru sore itu sedikit memanas. Tak lain karena tayangan berita di televisi yang sedang menyiarkan pengumuman pasangan cagub-cawagub di Sumut. Sah, PDIP Usung Djarot-Sihar di Pilgub Sumut, begitu judul beritanya. Namboru langsung tersenyum, "Djarot-Sihar pasti menang ya," katanya tanpa melirik teh manis buatannya yang kini tinggal separuh.
"Itu ibarat menaburkan garam ke laut, Namboru," timpalku singkat.
"Coba kau jelaskan, maksudmu apa. Jadi kau kira Djarot-Sihar bakal kalah, gitu?" intonasi suara khas Medan mulai muncul. "Begini, Namboru," saya menjawab rileks, jaga-jaga jangan sampai sisa teh manis di gelas bakal berpindah ke muka.
Djarot hampir seratus persen akan menang di wilayah Tapanuli. Bukan semata karena faktor Ahok, tetapi sejak Pilgub Sumut mulai digelar pada 2008 lalu, PDIP memang selalu unggul di Tapanuli. Oh ya, Tapanuli itu mencakup wilayah mayoritas beretnis Batak, seperti Kabupaten Tapanuli Utara, Humbahas, Tobasa, Samosir, hingga ke Tapanuli Tengah.
Begitu juga dengan wilayah Tanah Karo seperti Kabanjahe dan Berastagi. Mega bahkan sudah diberi boru Ginting oleh masyarakat Karo, seperti Jokowi yang dihadiahi marga Siregar oleh Mandailing. Jangan ragukan juga ke-PDIP-an anak-anak Siantar dan Simalungun. Mayoritas mereka adalah loyalis PDIP. Terbukti kan, saat Pilpres 2014, Jokowi-JK menang telak di sana. Bahkan di Samosir, pemilih Jokowi-JK adalah tertinggi senasional mengalahkan Solo, kampung Jokowi sendiri.
Lalu, kalau Tapanuli dan sekitarnya sudah di tangan, kenapa pula menghadirkan Sihar Sitorus yang juga anak Tapanuli? Bukankah itu sama saja menggarami air laut? Sihar yang putera konglomerat almarhum DL Sitorus, sudah pasti mampu merebut hati warga Tapanuli. Terbukti, saat Sihar menjadi caleg dari Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), partai yang didirikan ayahnya, dia meraup suara lebih dari cukup untuk mengamankan satu kursi di Senayan. Tetapi sayang, PPRN tak lolos parliamentary threshold secara nasional. Mimpi anggota DPR pun terpaksa dikubur Sihar dalam-dalam.
"Tapi nanti ada yang ribut soal politik identitas. Gimana dong?"
Ah, itu sih isu yang sengaja dihembuskan saja. Buktinya, saat Pilgub 2008, PDIP mengusung pasangan Tritamtomo-Benny Pasaribu, menang juga di Tapanuli. Padahal, Tritamtomo itu bersuku Jawa dan Benny itu beragama Kristen (sebelumnya ditulis Muslim, mohon maaf atas kekeliruan ini). Nggak ngaruh, tetap saja dicoblos. Di 2013, PDIP mengubah strategi dengan menjagokan Effendi Simbolon-Jumiran Abdi, gabungan Tapanuli dan Muslim. Hasilnya, pasangan ini kembali menang di wilayah yang sebelumnya memang selalu juara. Bagi warga Tapanuli dan sekitarnya, siapapun jagoan PDIP, tidak peduli latar belakangnya, sudah terjamin pasti menang.
"Jadi seharusnya gimana strateginya?" Namboru mulai paham, sepertinya bakal menawarkan secangkir kopi kalau sudah begini ceritanya.
Ibu Mega dan PDIP mestinya mencari sosok yang betul-betul punya elektabilitas tinggi di luar Tapanuli. Misalnya, sosok yang layak jual di Tebing Tinggi, Tanjung Morawa, Medan, hingga Binjai. Mau dia putera daerah atau tidak, terserah Ibu Mega. Yang penting syaratnya itu, punya kans besar meraup suara di Medan dan sekitarnya. Sebab, populasi penduduk kan besar juga di sana, bahkan lebih besar ketimbang Tapanuli.
"Jadi, menurutmu Djarot tak laku di Medan?" cecar Namboru lagi.
Ya kurang-lebih seperti itu. Seperti diskusi kita kemarin, Djarot itu masih dalam bayang-bayang Ahok. Masalahnya, kasus Ahok yang "terpeleset lidah" masih sangat mungkin diungkit-ungkit kembali. Terlalu berisiko. Lebih baik ditahan dulu, diganti sama yang lain.
"Tapi kan Ibu Mega sudah resmi mengumumkan Djarot-Sihar. Mau gimana lagi?" Kali ini Namboru sepertinya sudah sangat paham.
Ya begitulah. Sepertinya Ibu Mega sedang menggarami air laut. Kuseruput kembali sisa teh manisku. Rasanya memang betul-betul manis seperti gula. Tak asin seperti air laut.
Catatan: Namboru adalah adik/kakak perempuan dari ayah atau yang semarga dengan ayah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H