BAYANGKAN, Belanda menjajah selama 350 tahun, tetapi kok agama Katolik/Protestan masih minoritas di Indonesia? Padahal, Belanda merupakan negara yang penduduknya mayoritas beragama Katolik dan Protestan.Â
Apakah Belanda tidak ingin agama yang mayoritas dianut penduduknya juga ikut disebarkan ke wilayah jajahannya, sebagaimana terjadi di negara jajahan lain? Itulah pertanyaan yang selama ini kerap menjadi diskursus di beberapa kelompok Nasrani seperti saya.
Oh ya, sebelum membahasnya lebih jauh, saya harus menegaskan bahwa artikel ini bukanlah bentuk kekecewaan terhadap Belanda yang 'gagal' menyebarkan Kristen di Indonesia. Sama sekali tidak. Artikel ini hanyalah bentuk kajian sejarah yang objektif, tanpa bumbu keinginan yang aneh-aneh.Â
Bagi saya, kebebasan beragama, apapun keyakinan Anda, merupakan sesuatu yang wajib dihormati dan dihargai. Seperti kata orang bijak, jika kita tidak bisa satu dalam keimanan, tetapi kita tetap satu dalam kemanusiaan. Ya, menurut saya, puncak dari seluruh agama adalah menghargai kemanusiaan.
Baiklah, mari kita kembali ke topik inti. Beberapa waktu lalu, saya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di awal. Kenapa Belanda tidak begitu peduli terhadap agama? Jawaban yang saya temukan berasal dari seorang berkewarganegaraan Belanda yang bekerja di Jakarta.Â
Awalnya saya bertanya, apa tanggapan 'bule' tersebut terhadap penjajahan Belanda yang selama 350 tahun di Indonesia. Dengan diplomatis, dia menjawab, "Setiap saya bertemu orang Indonesia, pertanyaan itu selalu diajukan. Padahal, Belanda sebenarnya tidak pernah menjajah, hanya menjalankan bisnis dagang VOC."
Saya lantas menimpali, bahwa betul Belanda hanya menjalankan VOC, tetapi dalam prakteknya banyak mengintervensi bahkan menyandera pemimpin di Indonesia. Dia tidak menjawab, hanya tersenyum simpul. Saya tidak tahu apakah senyuman itu tanda setuju atau dia masih menyembunyikan sesuatu.
Saya pun berlanjut ke pertanyaan kedua. Kali ini berkaitan dengan kebijakan euthanasia yang lazim diterapkan pada pasien yang tidak lagi mempunyai harapan hidup di Belanda. Dengan euthanasia, pasien bisa mengakhiri hidupnya dengan cara disuntik mati. Saya bertanya, apakah hal itu tidak bertentangan dengan agama? Dia pun tersenyum kembali. "Belanda tidak terlalu peduli terhadap agama, makanya orang Belanda banyak yang ateis," katanya enteng.
Jika agama tidak diajarkan, lantas apa yang menjadi pedoman etika di sana? "Etika itu logika kok. Contoh, membunuh manusia itu secara etika sudah salah, mencuri pun salah secara etika. Makanya kami tidak mengenal pelajaran agama di sekolah, tetapi pelajaran etika," si bule memaparkan.
Sebetulnya, kenapa sih Belanda kurang peduli terhadap agama? Saya kembali mendesak. Di sinilah saya baru menemukan jawaban sesungguhnya. Dalam sejarah Belanda, seperti dituturkan si bule tadi, pernah mengalami masa-masa kelam akibat adanya perebutan pengaruh agama khususnya Katolik dan Protestan.
"Negara kami itu di pinggir laut, sehingga menjadi pusat ekonomi dan bisnis di Eropa. Akibatnya, pengaruh dari luar Belanda seperti Jerman sering memicu konflik. Upaya penyebaran agama Katolik dan Protestan sering menjadi masalah. Daripada sibuk mengurusi agama yang cenderung ke pertumpahan darah, pemerintah Belanda memutuskan untuk tidak lagi mencampuri agama. Penduduk diberikan keleluasaan, boleh beragama atau ateis," dia menjelaskan sejarah kelam negerinya.
Sebagai gantinya, etika diajarkan di sekolah-sekolah, yang seluruhnya mengandalkan logika akal sehat. Tentang mana perbuatan baik dan mana perbuatan jahat tanpa didasari dalil-dalil agama. Hasilnya, Belanda pun menjadi negara yang sukses melewati perbedaan pandangan terhadap agama hingga sekarang.
Memang, bila merujuk pada sejarah bangsa lain khususnya Irlandia dan Irlandia Utara, pengalaman Belanda yang memisahkan agama dan negara memang cukup masuk akal. Lihat saja, Irlandia yang mayoritas Katolik dan Irlandia Utara yang mayoritas Protestan, sudah sejak lama sering terlibat pertikaian yang tak jarang menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak.
Nah, jawaban pemisahan agama dan negara tersebut, sekaligus menjawab kenapa Belanda tidak terlalu mencampuri urusan agama selama 350 tahun bercokol di Indonesia. Belanda hanya berkepentingan 'mengeruk' kekayaan Indonesia tanpa memaksa adanya perubahan keyakinan beragama.
Setidaknya, hal itu terbukti dari penyebaran Protestan di tanah Batak, yang justru dilakukan oleh IL Nommensen, seorang misionaris Jerman. Padahal, masuknya agama Kristen ke wilayah Batak juga bersamaan dengan berlangsungnya masa penjajahan Belanda.
Terakhir, saya pun bertanya, bagaimana tata cara pemakaman seorang ateis Belanda yang meninggal dunia? "Itu dia masalahnya, hampir 50 persen penduduk kami munafik. Ketika hidup ateis, tetapi saat meninggal dunia, keluarganya memanggil Pastor/Pendeta untuk melakukan prosesi pemakaman," ujar dia yang disambut senyum simpul dari saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H