Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerpen: Guru Hiom

26 September 2015   19:59 Diperbarui: 26 September 2015   20:10 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Namun, apalah arti sebuah nama karena mawar akan tetap
harum, sekalipun disebut dengan kata apa pun. 

Begitulah Shakespeare menjelaskan betapa sederhananya arti sebuah nama. Berulangkali ia mengajarkan ungkapan itu meski mereka tetap tak mengerti maksud filosofi itu. Namanya Hiom. Gagah perkasa, berkulit hitam, penampilannya rapi. Seorang  guru bahasa Inggris yang sangat disegani. Murid-muridnya bahkan serentak memberikan gelar padanya, Si Darting alias darah tinggi. Namun, laki-laki itu tak pernah ambil pusing tentang pemberian gelar itu. Ia sadar bahwa gelar itu pasti sangat berarti bagi murid-muridnya, paling tidak bila ia kebetulan berpapasan di jalanan kampung dengan rombongan muridnya, anggukan kepala dan salam hormat pasti diterimanya. Diseganilah dia. Akan tetapi, sang guru itu sangat terganggu ketika slang tentang dirinya mulai meluas di antara anak didiknya. Sulit sekali ia temukan apa makna di balik slang yang dialamatkan padanya. Sampai-sampai harus menghukum beberapa murid agar memberitahu apa maknanya bagi mereka. Hasilnya nihil sebab tak seorang pun yang mau membocorkan rahasia itu. Hingga suatu waktu usahanya berhasil juga setelah Johan, salah seorang muridnya membuka rahasia itu. Johan pun dicap pengkhianat di seantero sekolah menengah itu.

Setiap Senin dan Kamis, ketika hari masih gelap, guru laki-laki itu sudah berjalan menelusuri jalan tikus yang menghubungkan desanya ke ibukota kecamatan. Ia juga mengajar Matematika di sana, walaupun bukan bidang dia sebenarnya. Di sekolah ini, namanya tidak begitu tenar, berbeda dengan di desa. Murid-murid di kecamatan sudah mulai kekota-kotaan, cuek pada guru, dan lebih memilih pacaran dibanding diskusi kelompok bila malam hari telah tiba, dan tidak menyukai retorika. Itulah yang membuat Hiom tak betah mengajar, merasa tidak dihargai, hingga ia memutuskan berhenti mengajar di sekolah itu. Saya ini guru bukan pejabat, keluhnya.

Sudah sepuluh tahun ia mengajar di SLTP Negeri 1 Habinsaran, tempat ia mengajar bahasa Inggris, yang dianggap sebagian besar muridnya sebuah pelajaran yang mustahil, susah dicerna. Namun, ada juga murid yang senang pada mata pelajaran itu. Kamu memang punya kecerdasan linguistik yang luar biasa, begitu ia biasanya memuji muridnya bila mampu mengerjakan soal-soal yang diujikan.

* * * *
Beda pendapat di antara elit politik tingkat pusat memecah loyalitas kalangan militer. Kolonel Daupa, diam-diam memulai gerakan bawah tanah, ingin mendirikan negara baru karena sikap pemerintah yang melulu membangun ibukota negara, sibuk dengan persoalan politik golongan, sementara rakyat jelata hanya dijadikan sapi perahan. Langkah awal, ia menyiapkan pasukan dari militer yang loyal padanya ditambah sipil yang menaruh simpatik pada ide pembentukan sebuah negara sendiri. Di kalangan militer, kolonel ini memang dikenal sangat tegas, berani, dan siap tempur kapan saja. Tak sulit baginya untuk mengumpulkan pasukan militer yang rela bertempur demi sebuah keadilan, walau banyak juga yang tetap setia sebagai alat negara. Keadaan serupa juga terjadi ketika mengumpulkan pasukan sipil. K

ebetulan, Kolonel Daupa dan Hiom berasal dari daerah yang sama. Mereka lahir dan besar di Lumban Ruhap, hingga setamat SLTA kedua sahabat itu memilih jalan masing-masing. Daupa meniti karir di militer. Ajakan untuk memberontak langsung ditanggapi serius oleh Hiom, sebab ia juga merasakan hal yang sama dengan temannya itu. Profesinya sebagai guru dengan rela ia tinggalkan meski harus mengorbankan puluhan muridnya yang tak lagi mendengar kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris. Hiom kini memikul senjata, siap dengan segala risiko demi sebuah ideologi primordialnya.

Pemberontakan pecah. Serangan demi serangan menghantam pasukan pemerintah pusat. Serangan balik dari tentara pusat juga kerap menghabiskan nyawa pasukan Sang Kolonel. Tawaran berdamai dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi tak pernah digubris pasukan itu. Bertempur, menang, dan menjadi negara baru adalah motto yang selalu didengung-dengungkan sang kolonel untuk membakar semangat pasukan pemberontak itu. Berlindung di hutan, naik turun gunung, makan, dan tidur tidak teratur adalah hal biasa bagi mereka.

Hingga pada subuh tepatnya hari Minggu, Sang Kolonel tewas diterjang peluru tentara pusat saat ia baru saja selesai membasuh tubuhnya di sebuah sungai kecil yang berada tepat di belakang markas besar mereka, di hutan Batu Mardinding. Usailah sudah pemberontakan sebab tak seorang pun yang mampu menggantikan posisi Sang Kolonel. Situasi berangsur aman, hingga semua pasukan pemberontak diterima kembali ke pangkuan ibu pertiwi, dengan pil pahit yang harus ditelan akibat perbuatan makar mereka.

* * * *
Tempat tinggalnya kini di sebuah desa terpencil bernama Pandumaan, desa sebelah barat tempat ia mengajar dulu. Desa itu telah ditinggalkan penduduknya karena terlalu jauh dari ibukota Kecamatan. Untuk sampai di sana, perlu waktu dua hari dua malam, melintasi dua gunung yang dipenuhi bebatuan dan semak belukar. Konon, desa itu pernah dijadikan lahan ganja sebelum diratakan oleh tim buser kepolisian sektor.
“Maaf, ini keputusan dari pusat, saya hanya pelaksana saja.”
“Tapi saya tulus Pak Kepala, apa tidak ada kebijaksanaan?”

Kepala sekolah tempat ia mengajar dulu menolak permohonannya untuk kembali mengajar setelah pemberontakan itu. Kepala sekolah itu khawatir jabatannya dicopot alih-alih menerima Hiom kembali mengajar. Toh, masih banyak guru honorer yang mau digaji pas-pasan dan apa adanya, pikirnya. Sejak saat itulah, ia memutuskan pindah dan menetap di desa Pandumaan, bertarung melawan kesunyian tanpa seorangpun di sampingnya.

Hiom bertahan hidup walau harus menyatu dengan alam. Makan, minum, dan lainnya layaknya Tarzan. Bedanya, ia punya bahasa manusia, sementara Tarzan tidak. Tarzan akrab dengan binatang, Hiom tidak.  Bila ia beruntung, sesekali warga desa tempat tinggalnya dulu datang menjenguknya, membawa satu karung beras dan beberapa pakaian bekas, ditambah setumpuk tembakau kering. Malamnya, pantulan sinar bulan dari dua gunung yang mengapit gubuknya mampu menuntun tangannya merangkai tembakau kering pemberian warga desa dengan daun jagung kering yang tumbuh liar di sekitar gubuknya hingga menjadi rokok. Kepulan asap rokok itu bahkan ampuh mengusir nyamuk hingga ia dapat tidur pulas hingga matahari besok pagi bersinar kembali.

* * * *
Ia tidak menikah entah karena apa, padahal ia seorang lelaki normal. Setidaknya, itulah pengakuan teman-teman sebayanya yang kini sudah menimang cucu. Apa mungkin ia pernah dikecewakan oleh seorang perempuan hingga ia memutuskan tidak menikah untuk selamanya? Komentar itu kerap muncul bila mengamati Hiom melintas di hadapan mereka, tanpa basa-basi.

Hiom kembali ke Habinsaran, setelah sanak keluarganya menjemput dia dari desa Pandumaan.
“Tak baik abang tinggal di sini, gimana nanti kata orang? Aku punya teman yang  mau dijadikan istri oleh abang, orangnya cantik, guru, sudah punya rumah lagi.”

 “Aku hanya mau kembali ke Habinsaran bila kamu sanggup memberikan sebuah rumah buat saya. Saya tidak ingin menikah. Titik.”
Tawaran Hiom, mau tak mau dipenuhi adik perempuannya. Sebuah rumah kecil dibangun untuknya, dilengkapi dengan perabotan rumah seadanya. Rumah itu berada persis di belakang sebuah gereja. Di tempat inilah Hiom menjalani rutinitasnya setelah 15 tahun hidup dalam kesendirian. Ia menanam singkong, pisang, dan sayur di areal rumah barunya, sementara beras dan ikan asin setiap minggu selalu diantarkan oleh keponakannya, tak lupa juga beberapa bungkus rokok.

* * * *

“Very good, you are very good”
“Thank you, Sir......”
“No Sir, just call me Guru Hiom”

Anak-anak sekolah minggu semakin riang karena kehadirannya. Sebab, selain pintar membujuk anak-anak agar tidak berlarian ketika acara kebaktian, Hiom juga mengajarkan mereka berbahasa Inggris, utamanya conversation. Menjadi guru sekolah minggu, setidaknya mampu mengurangi kerinduannya mengajar, anak-anak mampu memberikan semangat baru baginya.

Ia akan bertambah senang bila anak-anak didikannya mau mendatangi rumahnya di sore hari, sekadar bertanya rumus present perfect continuous tense, padahal ia sebenarnya yakin anak-anak itu belum saatnya untuk dapat mengerti pelajaran seberat itu. Walau sudah tua, ia ingin melayani Tuhan, membagikan pengetahuannya tanpa berharap imbalan jasa dalam bentuk apapun. Hiom tidak merasa jenuh mengajar walau kadang-kadang ia sudah lupa siapa saja nama anak-anak sekolah minggu yang rajin bertanya, dan siapa saja yang sama sekali tidak pernah bertanya.

Sepuluh hari setelah ulang tahunnya yang ke 70, Hiom meninggal dunia di sebuah rumah sakit mini, yang terletak di ibukota kecamatan. Iringan tangis keluarga, sahabat serta anak-anak sekolah minggu mengantarkan jasadnya ke kuburan umum, di samping gereja tempat ia mengajar. Karena tidak menikah sepanjang hayatnya, Hiom tak mendapat tempat di pemakaman keluarga. Ia terpisah sekitar 5 meter dari makam ayah-ibunya.

Begitulah, Hiom tetap sendiri menjalani kehidupannya di alam baka, sebab adat mengharuskan seperti itu, garis keturunannya sudah punah. Namun, kehidupannya tetap abadi, setidaknya bagi anak-anak  sekolah minggu. Namanya tetap diingat anak-anak sekolah minggu ketika pelajaran bahasa Inggris telah tiba. “How are you Mr. Hiom?,” kata mereka serentak bila melintas di depan rumah peninggalan Hiom yang kini tak lagi ditempati. * * * * *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun