Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerpen: Guru Hiom

26 September 2015   19:59 Diperbarui: 26 September 2015   20:10 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hiom bertahan hidup walau harus menyatu dengan alam. Makan, minum, dan lainnya layaknya Tarzan. Bedanya, ia punya bahasa manusia, sementara Tarzan tidak. Tarzan akrab dengan binatang, Hiom tidak.  Bila ia beruntung, sesekali warga desa tempat tinggalnya dulu datang menjenguknya, membawa satu karung beras dan beberapa pakaian bekas, ditambah setumpuk tembakau kering. Malamnya, pantulan sinar bulan dari dua gunung yang mengapit gubuknya mampu menuntun tangannya merangkai tembakau kering pemberian warga desa dengan daun jagung kering yang tumbuh liar di sekitar gubuknya hingga menjadi rokok. Kepulan asap rokok itu bahkan ampuh mengusir nyamuk hingga ia dapat tidur pulas hingga matahari besok pagi bersinar kembali.

* * * *
Ia tidak menikah entah karena apa, padahal ia seorang lelaki normal. Setidaknya, itulah pengakuan teman-teman sebayanya yang kini sudah menimang cucu. Apa mungkin ia pernah dikecewakan oleh seorang perempuan hingga ia memutuskan tidak menikah untuk selamanya? Komentar itu kerap muncul bila mengamati Hiom melintas di hadapan mereka, tanpa basa-basi.

Hiom kembali ke Habinsaran, setelah sanak keluarganya menjemput dia dari desa Pandumaan.
“Tak baik abang tinggal di sini, gimana nanti kata orang? Aku punya teman yang  mau dijadikan istri oleh abang, orangnya cantik, guru, sudah punya rumah lagi.”

 “Aku hanya mau kembali ke Habinsaran bila kamu sanggup memberikan sebuah rumah buat saya. Saya tidak ingin menikah. Titik.”
Tawaran Hiom, mau tak mau dipenuhi adik perempuannya. Sebuah rumah kecil dibangun untuknya, dilengkapi dengan perabotan rumah seadanya. Rumah itu berada persis di belakang sebuah gereja. Di tempat inilah Hiom menjalani rutinitasnya setelah 15 tahun hidup dalam kesendirian. Ia menanam singkong, pisang, dan sayur di areal rumah barunya, sementara beras dan ikan asin setiap minggu selalu diantarkan oleh keponakannya, tak lupa juga beberapa bungkus rokok.

* * * *

“Very good, you are very good”
“Thank you, Sir......”
“No Sir, just call me Guru Hiom”

Anak-anak sekolah minggu semakin riang karena kehadirannya. Sebab, selain pintar membujuk anak-anak agar tidak berlarian ketika acara kebaktian, Hiom juga mengajarkan mereka berbahasa Inggris, utamanya conversation. Menjadi guru sekolah minggu, setidaknya mampu mengurangi kerinduannya mengajar, anak-anak mampu memberikan semangat baru baginya.

Ia akan bertambah senang bila anak-anak didikannya mau mendatangi rumahnya di sore hari, sekadar bertanya rumus present perfect continuous tense, padahal ia sebenarnya yakin anak-anak itu belum saatnya untuk dapat mengerti pelajaran seberat itu. Walau sudah tua, ia ingin melayani Tuhan, membagikan pengetahuannya tanpa berharap imbalan jasa dalam bentuk apapun. Hiom tidak merasa jenuh mengajar walau kadang-kadang ia sudah lupa siapa saja nama anak-anak sekolah minggu yang rajin bertanya, dan siapa saja yang sama sekali tidak pernah bertanya.

Sepuluh hari setelah ulang tahunnya yang ke 70, Hiom meninggal dunia di sebuah rumah sakit mini, yang terletak di ibukota kecamatan. Iringan tangis keluarga, sahabat serta anak-anak sekolah minggu mengantarkan jasadnya ke kuburan umum, di samping gereja tempat ia mengajar. Karena tidak menikah sepanjang hayatnya, Hiom tak mendapat tempat di pemakaman keluarga. Ia terpisah sekitar 5 meter dari makam ayah-ibunya.

Begitulah, Hiom tetap sendiri menjalani kehidupannya di alam baka, sebab adat mengharuskan seperti itu, garis keturunannya sudah punah. Namun, kehidupannya tetap abadi, setidaknya bagi anak-anak  sekolah minggu. Namanya tetap diingat anak-anak sekolah minggu ketika pelajaran bahasa Inggris telah tiba. “How are you Mr. Hiom?,” kata mereka serentak bila melintas di depan rumah peninggalan Hiom yang kini tak lagi ditempati. * * * * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun