Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tapak Samar Penginjilan di Habinsaran, Tobasa

6 Oktober 2013   22:16 Diperbarui: 24 April 2019   00:16 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah cukup banyak referensi tulisan yang mengulas sejarah Kekristenan di Tanah Batak. Semua sudah tahu, puncak penginjilan dipelopori sejumlah misionaris Jerman dan menunjuk pada satu nama; Ingwer Ludwig Nommensen. Namun, khusus di Habinsaran dan sekitarnya, tapak penginjilan masih terasa samar-samar.

BAGI orang Batak, Nommensen tidak sekadar tokoh pendiri HKBP. Namanya dikenal sebagai pembaharu yang berhasil meletakkan fondasi sektor pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Pada masanya, Nommensen mendirikan 510 sekolah dengan murid 32.700 orang. 

Ratusan sekolah itu antara lain berdiri di Balige, Tarutung, Siantar, Sidikalang, Samosir, dan Ambarita. Setiap berkunjung desa-desa, Nommensen juga selalu membawa kotak obatnya, berusaha menyembuhkan berbagai penyakit masyarakat setempat. 

Nommensen lahir di Nordstrand, Denmark yang kini masuk wilayah Jerman pada 6 Pebruari 1834. Dia wafat di Sigumpar, Toba Samosir, Sumatera Utara pada 23 Mei 1918. Ingwer Ludwig Nommensen, yang lebih dikenal dengan sapaan Nommensen adalah seorang tokoh pekabar Injil Jerman yang berhasil mendirikan HKBP pada 7 Oktober 1861 di Pearaja, Tarutung, Tapanuli Utara. 

Setelah melakukan berbagai persiapan, Nommensen akhirnya diangkat sebagai Ephorus pertama HKBP pada 1881 hingga meletakkan jabatannya pada 1918. HKBP merupakan gereja terbesar di kalangan Batak, termasuk di antara gereja Protestan di seluruh Indonesia. 

Saat ini, HKBP memiliki jemaat sekira lima juta jiwa, yang tersebar di seluruh dunia. Di luar negeri, beberapa gereja HKBP juga sudah berkembang. Seperti di Singapura, Kuala Lumpur, New York, Colorado, Tokyo, Jerman, dan negara lainnya. Namun, meski memakai nama Batak, HKBP juga terbuka bagi suku bangsa lainnya. 

Nommensen sudah menjadi cerita yang tertanam rapi dalam setiap masyarakat Batak, terutama subetnis Toba. Tanpa dia, orang Batak diyakini tidak akan mampu bersaing di tengah mayoritas suku Indonesia saat ini. Tidak heran apabila nama Nommensen akhirnya diabadikan menjadi nama dan lambang sekolah, dari taman kanak-kanak hingga universitas. 

Saking mulianya, orang Batak bahkan menganugerahkan panggilan Rasul (dalam bahasa Batak disebut Apostel) bagi Nommensen. Padahal, sebutan Rasul dalam ajaran Kristen, hanya diberikan kepada 12 murid Yesus. 

Gelar Rasul yang disematkan kepada Nommensen sangat layak diberikan untuknya. Bukan untuk mengkultuskan Nommensen, tetapi menghormati karyanya yang nyata dalam kehidupan orang Batak. Nommensen memang telah menjadi sejarah bagi orang Batak. 

Jason Simatupang, Pendeta Pertama HKBP Parsoburan 

Mengetahui asal-usul berdirinya HKBP Resort Parsoburan, Distrik IV Toba memang cukup menantang. Sebab, hampir tidak ada catatan tentang jejak penginjilan yang terletak di timur Balige itu. 

Parsoburan, sebuah desa yang kini sedang bergeliat menuju perkotaan merupakan ibukota Kecamatan Habinsaran, berjarak 50 kilometer dari Balige, ibukota Kabupaten Tobasa, setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Utara pada 1999. 

HKBP Parsoburan berdiri tegak di sisi kiri jalan dari arah Balige. Letaknya tidak jauh dari kantor camat, di belakangnya terdapat pekuburan umum. Untuk mengetahui kapan tepatnya gereja ini berdiri cukup memperhatikan empat angka yang tertera di bagian horizontal salib, di pucuk menara gereja. 

Di sana tertulis 1936, yang tak lain adalah tahun diresmikannya HKBP Parsoburan. Kecuali tahun berdiri, tidak ada lagi petunjuk yang bisa ditelusuri tentang latarbelakang gereja yang kini berusia hampir seratus tahun itu. 

Akan tetapi, dari berbagai literatur yang berhasil ditelusuri, masih ada fakta sejarah lain yang teramat sayang untuk dilewatkan. Yakni, siapakah pendeta pertama yang melayani HKBP Parsoburan? “Pendeta Jason Simatupang,” tulis Pirmian Tua Dalam Sihombing, dalam sebuah bukunya yang mengulas tentang perjalanan Pendeta Albert Sihombing-Lumbantoruan dan istrinya Orem boru Hutabarat. 

Pendeta Albert merupakan ayah kandung Pirmian, zendeling pribumi ketiga yang ditempatkan Nommensen di kawasan Toba Habinsaran, berkedudukan di Sitorang dan Parsambilan. Pendeta Albert cukup lama melayani jemaat di Toba Habinsaran. 

Pendeta Albert dapat dikatakan bertugas mengawal Tuan Weissenbruch, zendeling muda yang berkedudukan sebagai pendeta resort di jemaat-induk Sitorang. Pada mulanya jemaat Parsambilan dengan kedudukan induk resort di godung Losung Batu adalah tempat kedudukan seorang zendeling Jerman, sama seperti jemaat tetangganya, Sitorang. 

Pada dasawarsa 1890-an, untuk pertama kali Ephorus Nommensen sudah menempatkan seorang zendeling ke Parsambilan, yakni George Yung, yang lebih tersohor dikenal warganya dengan sapaan Tuan Jung. 

Zendeling inilah yang menerima tanah hibah yang cukup luas dari raja-raja kawasan Parsambilan, yakni Raja Punsaha Langit dan kedua adiknya Raja Puniahi dan Raja Patugaram bermarga Sitorus. Ketiganya adalah keturunan langsung dari Raja Sigodangtua, cucu Raja Matasopiak, melalui putranya Raja Manjunjung. 

Lewat sebuah peraturan reorganisasi zending atas prakarsa petinggi RMG di Barmen, Jerman pada 1910, beberapa jemaat pelayanan zendeling dalam jarak yang dianggap terlalu berdekatan, cukup digabungkan menjadi satu. Sejalan dengan kebijakan itu pula, sistem distrik diperkenalkan dan diberlakukan. Sejak tahun 1911, Distrik Toba dibentuk, dan dipimpin oleh Praeses Meerwaldt. 

Tempat kedudukan zendeling di kawasan Toba Habinsaran yang digabungkan itu, ditetapkan di Sitorang yang amat dekat dengan godung Losungbatu. Karena itu, untuk pertama kali pada tahun 1911, jemaat Losungbatu bukan lagi berstatus resort, dalam pengertian yang dipimpin seorang zendeling. 

Meskipun demikian, jemaat Losungbatu masih tetap membawahi atau mengkoordinasi banyak huria pagaran (jemaat cabang) lainnya, di luar yang masuk ke jemaat-induk Sitorang. Yang ditetapkan akan memimpin jemaat-induk Losungbatu sejak reorganisasi itu adalah seorang "hulp-zendeling" alias pembantu-zendeling atau pendeta-pribumi. 

Pendeta pribumi pertama menduduki pos yang ditinggalkan oleh zendeling Yung itu adalah Josua Hutabarat, alumnus angkatan ke-III, tahun 1889-1891. Sehubungan dengan kepedihan hati keluarga pendeta itu karena pembakaran rumah dinasnya pada tahun 1916, tugas pelayanannya kemudian digantikan Pendeta Benoni Simanjuntak, dari tahbisan angkatan ke VII, 1915-1917. 

Pendeta Benoni inilah yang kemudian digantikan pendeta Albert, yang lebih junior tiga angkatan, di godung Losungbatu mulai bulan Januari 1926. 

Selanjutnya, karena tiadanya pembagian garis wilayah yang resmi antara zendeling Weissenbruch di Sitorang dan Pendeta Albert di Parsambilan, praktis kedua pendeta tersebut sama-sama melakukan pelayanan dalam jurisdiksi yang tidak terikat. Berarti, jemaat yang dilayani kedua pendeta ini secara bersamaan adalah semua jemaat-cabang di kawasan Sitorang, Parsambilan, Parsoburan. sampai ke Borbor. 

Kala itu, semua jemaat di Parsoburan sampai ke Borbor masih menyatu dalam satu jemaat-induk besar Losungbatu, dengan kordinator seorang hulp-zendeling saja. 

Menurut notasi pelayanan Pendeta Albert, di antara jemaat-jemaat cabang yang pernah turut dilayani olehnya dalam resort maha-luas itu, adalah Sitorang, Silaen, Lumban Lintong, Batugaja, Natolutali, Sibide, Losungbatu, Pintubatu, Simanobak, Parsoburan, Lumban Pinasa, Lintong, Lumban Balik, Batu Manumpak, Dolok Nauli, Lobu Dapdap, Lumban Rau, Natumingka, Tor Ganjang, Lobu Hole, Pangururan, Pintubatu, Siringkiron, Hite Tano, Tangga, Borbor, dan beberapa lainnya. 

Barulah pada awal tahun 1930, Parsoburan mulai memiliki pendeta sendiri, yakni Pendeta Jason Simatupang. Ia adalah tahbisan pada angkatan ke-XII, akhir tahun 1929. 

Sayangnya, belum ada catatan sejarah tentang kisah pelayanan Pendeta Jason Simatupang di kawasan Parsoburan. Bagaimana dan apa saja yang dialami Pendeta Jason Simatupang saat menyebarkan injil di Parsoburan? Juga belum ada yang tahu apakah Pendeta Jason Simatupang mempunyai keturunan yang masih bisa dilacak saat ini. 

Ragam Sejarah HKBP di Parsoburan 

Masuknya Pendeta Jason Simatupang ke HKBP Parsoburan sejatinya bukanlah awal penginjilan di tanah yang dihuni mayoritas marga Pardosi ini. Sebab, ada pula literatur yang menyebutkan HKBP Lumban Pinasa sudah berdiri sejak 1906. 

Bahkan, lonceng atau giring-giring yang digunakan HKBP Parsoburan saat ini sebelumnya digunakan HKBP Lumban Pinasa. Di Lumban Rau, HKBP yang selanjutnya diberi nama Resort Letare juga sudah berumur seratus tahun pada 2008 lalu. Itu artinya, gereja ini didirikan pada 1908. Selisih dua tahun dari Lumban Pinasa. 

Ada pula cerita yang juga menyebutkan sudah hadirnya HKBP di Tornagodang, sejak 1900-an. Terkait hal ini, Profesor Uli Kozok, seorang peneliti Jerman yang banyak menguraikan sejarah HKBP mengatakan, “untuk mengetahui itu harus ke Perpustakaan Wuppertal, Jerman,” tulis Uli Kozok saat diminta untuk meneliti seluk-beluk penginjilan di tanah Parsoburan. 

Khusus di Parsoburan, barangkali salah satu cara yang bisa dijadikan sebagai titik terang ihwal penyebaran injil adalah dengan mencari tahu siapa saja sintua yang ditahbiskan kala itu. 

Konon, sintua pertama yang ditahbiskan di Parsoburan adalah Sintua Japet Pardosi. Ia lahir kira-kira tahun 1880. Tahun kelahiran Sintua Japet ini merupakan prediksi dengan asumsi ia menikah pada umur 19-20 tahun. Prediksi serupa juga dilekatkan pada anak pertama Sintua Japet yang bernama Levi Pardosi yang juga menyandang predikat Sintua. Dengan demikian, Sintua Levi dilahirkan kira-kira tahun 1900-an. 

Penafsiran tahun kelahiran Sintua Japet dan Sintua Levi juga dikaitkan dengan tahun kelahiran anak pertama Sintua Levi atau cucu Sintua Japet, pada 1919, yang bernama Alusan Pardosi, yang pada hidupnya juga menyandang gelar Sintua. 

Kala itu, tahun kelahiran seseorang sudah cukup banyak yang tercatat, atau paling tidak sudah lebih mudah diraba. Dengan demikian, Sintua Japet sangat mungkin ditahbiskan sekitar tahun 1900-1910, saat ia berumur 20 sampai 30 tahun. 

Analisis sejarah tersebut selaras dengan penempatan zendeling George Yung oleh Ephorus HKBP Nommensen pada 1890-an di Parsambilan. Jika dikaitkan dengan wilayah penyebaran zending setelah George Yung, pendeta yang menahbiskan sintua angkatan pertama di Parsoburan adalah Pendeta Josua Hutabarat. Sementara penahbisan sintua gelombang kedua dilakukan oleh Pendeta Benoni Simanjuntak. 

Lalu, bagaimana dengan rekam jejak penyebaran injil di kawasan lain Habinsaran? Untuk mengetahuinya, dibutuhkan penelitian yang lebih mendalam dan menyeluruh. Alangkah baiknya apabila HKBP mulai mengumpulkan secuil demi secuil butiran sejarah yang masih bertebaran itu. 

Selain HKBP, gereja lain di Habinsaran tentu saja sangat penting untuk membuat buku sejarah penginjilannya. “JAS MERAH, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah,” pesan Soekarno dalam pidato terakhirnya sebagai Presiden, 17 Agustus 1966.

Note: Tata letak artikel ini diperbaiki kembali pada April 2019, juga mengganti foto sampul menjadi yang terbaru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun