Mencintai budaya lokal sudah lama menjadi keinginanku. Menjadikannya sebagai seragam anak-anak sekolah merupakan keinginan lama yang sudah menggebu.Â
Terbetik ketika menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu desa Kabupaten Tapanuli Utara di Provinsi Sumatera Utara lebih dua puluhan tahun lalu. Dan menyisakan pertanyaan yang tetap bergelayut di dalam kalbu.
Menarik memang jika benar suatu hari bisa menjalankan aturan ini sebagai salah satu cara menanamkan cinta pada budaya. Sesuatu yang semakin tergerus akibat serbuan budaya asing sebagai dampak negatif modernisasi.Â
"Sekadar" menunjukkan identitas budaya, jangan sampai melahirkan fanatisme sempit kedaerahan, apalagi jika berlebihan.
Ulos, Warisan Tenunan Batak yang Makin Ditinggalkan dalam Hidup Keseharian
Pengrajin ulos adalah profesi yang tidak menggembirakan yang suatu hari pasti akan ditinggalkan oleh masyarakat jika tidak ada perbaikan.Â
Dalam suatu diskusi memperingati Hari Ulos Nasional tahun lalu, salah seorang Bupati menyampaikan jeritan pengrajin ulos: " ... masalah yang sudah bertahun-tahun adalah para perajin kami hidupnya datar dari tahun ke tahun. Mereka hidup pra-sejahtera sehingga kami khawatir perajin akan meninggalkan profesi tersebut dan beralih ke sektor pertanian".
Salah satu penyebabnya adalah penggunaan ulos sebagai hasil kerajinan dan mata pencaharian mereka makin ditinggalkan penggunaannya. Sekarang ini sangat jarang menjumpai orang memakai ulos selain lagi menghadiri upacara adat. Keterbatasan penggunaan ini menjadi salah satu faktor minimnya kebutuhan akan ulos yang juga berdampak bagi kesejahteraan pengrajin ulos.
Penggunaan ulos sebagai bagian dari seragam anak-anak sekolah tentu suatu peluang dalam meningkatkan kebutuhan sehingga memutar roda produksi usaha tenunan ulos nantinya. Menurut data terkini pada dapo.kemdikbud.go.id, ada 91.995 peserta didik di Kabupaten Tapanuli Utara.Â
Bayangkan jika mereka membutuhkan selembar ulos saja pun untuk seragam sekolah, maka lompatan kebutuhan produksi akan terjadi berlipat-lipat. Belum lagi jika dihitung kebutuhan untuk Kabupaten/Kotamadya sekitarnya yang menjadikan ulos sebagai bagian dari tradisi.
Sebelum Siswa Sekolah, Dimulai Lebih Dulu oleh Para Pemimpin
Selain dipakai anak-anak sekolah, mimpiku lainnya adalah kalau ulos dipakai juga oleh para pemimpin. Betapa besar dampaknya, termasuk dalam pertumbuhan perekonomian yang selalu menjadi tantangan bagi setiap pemimpin, yakni menyejahterakan masyarakat yang dipimpinnya.
Bayangkan jika Bupati, Wakil Bupati dan semua stafnya mengganti seragam safarinya yang "polos" sekarang dengan berbahan ulos yang indah dan mulai disukai orang-orang walau dalam jumlah terbatas. Daripada menggunakan jas yang mahal dan tidak bermuatan "kearifan lokal", alangkah banyak manfaatnya jika semua berame-rame menggunakan pakaian yang berbahan dasar ulos, warisan leluhur yang sarat makna filsafat budaya.
Termasuk di dalamnya adalah para pemimpin gereja yang banyak berkantor pusat di Tapanuli Utara dan sekitarnya. Mungkin karena mewarisi tradisi misionaris Eropa yang menjadikan jas sebagai bagian dari hidup kesehariannya, sepertinya sangat sulit bagi mereka yang adalah orang-orang lokal yang dilahirkan di Tapanuli Utara untuk menggantikannya dengan pakaian berbahan ulos yang dulu dipakai oleh orangtuanya dalam membesarkan mereka.
Dulu aku punya kerinduan untuk menyampaikan hal tersebut, namun tampaknya butuh waktu lebih lama lagi untuk membuat mereka - para pemimpin yang seharusnya lebih dekat secara emosional dengan budaya lokal - untuk beralih kepada pelestarian dan membesarkan warisan leluhur ini. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H