Selalu saja ada pengetahuan yang baru yang sebelumnya tentu tidak kita tahu. Bahkan untuk hal yang mungkin terjadi di sekeliling kita tanpa kita sadari.
LGBTQI Makhluk Apa Pula Ini?
Kalau LGBT pastilah Anda sudah mengetahui dan paham apa maksudnya. Tapi, LGBTQI adalah yang aku baru tahu setelah membaca publikasi laporan penelitian beberapa lembaga yang dimuat di Koran TEMPO sejak kemarin.
Untuk pemahaman, aku cuplikkan definisi yang termuat pada www.vanderbilt.edu untuk masing-masing istilah tersebut.
LESBIAN: Biasanya mengacu pada wanita yang memiliki orientasi romantis dan/atau seksual terhadap wanita. Beberapa orang non-biner juga mengidentifikasi dengan istilah ini.
GAY: Digunakan dalam beberapa pengaturan budaya untuk mewakili pria yang tertarik pada pria dalam arti romantis, erotis dan/atau emosional. Tidak semua pria yang terlibat dalam perilaku seksual sesama jenis mengidentifikasi diri sebagai gay, dan oleh karena itu label ini harus digunakan dengan hati-hati.
BISEXUAL atau BI: Seseorang yang mengalami ketertarikan seksual, romantis, fisik, dan/atau spiritual ke lebih dari satu jenis kelamin, tidak harus pada waktu yang sama, dengan cara yang sama, atau pada tingkat yang sama.
TRANSGENDER:Â Seseorang yang rasa identitas pribadi atau jenis kelaminnya tidak sesuai dengan jenis kelamin yang diberikan kepada mereka saat lahir, atau tidak sesuai dengan stereotip gender. Orientasi seksual bervariasi dan tidak tergantung pada identitas gender.
QUEER: kata multi-faceted yang digunakan dengan cara yang berbeda dan berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda.Â
1) Ketertarikan pada orang-orang dari banyak jenis kelamin. 2) Tidak sesuai dengan norma budaya seputar gender dan/atau seksualitas. 3) Sebuah istilah umum yang mengacu pada semua orang non-heteroseksual.Â
Baca juga: Aku Bukan Dewa!INTERSEX: Istilah umum yang menggambarkan orang yang lahir dengan salah satu dari 30 variasi karakteristik seks yang berbeda termasuk kromosom, gonad, hormon seks, atau alat kelamin.
Dari semua istilah tersebut, Queer itu yang aku belum begitu paham. Mungkin ada pembaca Kompasiana yang bisa bantu menjelaskan?
Transpuan di NKRI Banyak Juga, Lho ...
Transpuan adalah kategori transgender yang lebih spesifik pada karakteristik pada sosok perempuan. Kita mengenal banci, bencong, waria, wadam, dan banyak istilah lainnya. Bahkan, beberapa daerah punya "istilah lokal" untuk menamakan golongan ini.
Waktu SD aku punya dua orang teman, SMP ada satu, dan SMA lebih banyak. Ketika bekerja di berbagai perusahaan, hampir selalu ada "makhluk istimewa" seperti ini.Â
Biasanya mereka karena "keanehannya" sering jadi bahan hiburan dan lelucon (di antaranya dengan menyebutkan mereka sebagai "manusia setengah dewa, dengan setengahnya lagi adalah dewi" ...).
Walau sebaliknya, sering pula menimbulkan rasa iba. Apalagi ketika mereka curhat yang seringkali mengesankan tidak punya kuasa selain menerima kondisi dengan apa adanya dan terpaksa.
Estimasi jumlah mereka saat ini sekira 32.991 jiwa yang tersebar di Sumatera 8.466 jiwa, Jawa 13.627 jiwa, Kalimantan 2.675 jiwa, Sulawesi 5.389 jiwa, Bali Nusra 1.849 jiwa, dan Papua Maluku 985 jiwa. Banyak, 'kan?
Kaum "Setengah Manusia"
Selain "setengah dewa", hampir bisa dikatakan bahwa mereka juga "setengah manusia".Â
Karena apa? Tak lain tak bukan, keberadaan mereka tidak diakui secara demografi dan politik.
Lihat saja pada data publikasi resmi yang kita bisa akses dengan mudah tentang data kependudukan, tidak satu pun yang menyebutkan berapa jumlah transpuan (belum lagi LGBTQI, 'kan?). Selalunya: laki-laki dan perempuan, atau pria dan wanita.
Yang kemudian lebih mengenaskan adalah fakta bahwa hanya 14,37% saja yang punya Kartu Tanda Penduduk alias KTP, suatu bukti pengesahan keberadaan mereka sebagai warga negara yang diakui dan berhak mendapat pengakuan dan perlakuan yang semestinya sebagaimana warga negara lain yang adalah "manusia seutuhnya".
Berbagai hal menjadi penyebabnya. Tidak punya dokumen pengantar yang dibutuhkan dalam pengurusan KTP (Kartu Keluarga utamanya, tersebab mereka terusir dari keluarga yang tidak menerima keadaannya dan terpaksa melarikan diri), selebihnya karena kurangnya pemahaman aparatur akan pengakuan eksistensi golongan ini.
Ketiadaan KTP = Ketiadaan Akses Banyak Hal
Tidak memiliki KTP berarti kehilangan akses pada banyak hal di negeri ini.Â
Tidak bisa mendaftar BPJS (padahal akses jaminan kesehatan adalah kebutuhan utama setiap manusia), perbankan (tidak punya kartu ATM hampir sama sakitnya dengan tidak punya uang, mungkin?), bahkan hak politik. Dalam artian tidak bisa berpartisipasi dalam pemilihan umum.
Lucunya (tepatnya: ironisnya) -- dengan talenta yang dimiliki banyak kaum transpuan ini, misalnya merias, menyanyi, menari, dan 'nge-MC -- seringkali mereka dimanfaatkan untuk mengumpulkan massa dalam kegiatan kampanye. Keistimewaan yang dimiliki masih menjadi daya tarik bagi banyak orang, utamanya sebagai bagian dari hiburan manakala kegiatan pertemuan dengan konstituen sedang berlangsung.
Istilahnya, mereka hanya sekadar ikut meramaikan tanpa ikut pada puncak keramaian itu sendiri, yakni hari pencoblosan. Apalagi menikmati hasil jerih payahnya, karena mayoritas calon yang mereka dukung segera saja lupa pada mereka termasuk janji dalam memperjuangkan akses untuk memperoleh KTP dimaksud, salah satu dokumen yang paling penting di NKRI ini.
Bagaimana Solusinya?
Hanya satu kata: terobosan! Jika tidak, semuanya hanya sekadar impian. Dan kuncinya adalah pada pejabat kependudukan. Tentu perlu dibarengi dengan niat, keinginan, dan kemauan dalam melayani setiap orang dalam memperoleh haknya.
Jika Kartu Keluarga yang menjadi syarat utama, kenapa tidak dipikirkan dokumen pengganti? Dengan rekomendasi pindah domisili, misalnya.Â
Untuk menyebut beberapa, saat ini ada Suara Kita, Fajar Sikka, Komunitas Transpuan, dan kelompok-kelompok lain yang peduli pada nasib transpuan yang tersebar di kota-kota besar seluruh Indonesia. Bisa saja mereka yang ditentukan sebagai pihak yang disahkan untuk menerbitkan rekomendasi tersebut.
Tentang jenis kelamin yang harus dicantumkan pada data kependudukan -- karena 'nggak ada jenis kelamin transpuan sebagai pilihan -- diserahkan saja pada masing-masing berdasarkan pengakuan mereka untuk memilih apakah dicantumkan sebagai "perempuan" atau tetap sebagai "laki-laki".
Jika tidak demikian, tanpa terobosan yang berani dan berbeda, tetap saja masih ada manusia yang lahir dan besar di negeri ini yang seakan tidak diakui keberadaannya sebagai warga negara.Â
Padahal kita baru saja merayakan 77 tahun kemerdekaan, namun faktanya masih menyisakan kaum transpuan yang belum merasakan kemerdekaannya sebagai manusia utuh sepenuhnya dengan hak dan akses yang sepatutnya jadi perhatian pemangku kepentingan di NKRI yang sangat kita cintai ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H