Lihat saja pada data publikasi resmi yang kita bisa akses dengan mudah tentang data kependudukan, tidak satu pun yang menyebutkan berapa jumlah transpuan (belum lagi LGBTQI, 'kan?). Selalunya: laki-laki dan perempuan, atau pria dan wanita.
Yang kemudian lebih mengenaskan adalah fakta bahwa hanya 14,37% saja yang punya Kartu Tanda Penduduk alias KTP, suatu bukti pengesahan keberadaan mereka sebagai warga negara yang diakui dan berhak mendapat pengakuan dan perlakuan yang semestinya sebagaimana warga negara lain yang adalah "manusia seutuhnya".
Berbagai hal menjadi penyebabnya. Tidak punya dokumen pengantar yang dibutuhkan dalam pengurusan KTP (Kartu Keluarga utamanya, tersebab mereka terusir dari keluarga yang tidak menerima keadaannya dan terpaksa melarikan diri), selebihnya karena kurangnya pemahaman aparatur akan pengakuan eksistensi golongan ini.
Ketiadaan KTP = Ketiadaan Akses Banyak Hal
Tidak memiliki KTP berarti kehilangan akses pada banyak hal di negeri ini.Â
Tidak bisa mendaftar BPJS (padahal akses jaminan kesehatan adalah kebutuhan utama setiap manusia), perbankan (tidak punya kartu ATM hampir sama sakitnya dengan tidak punya uang, mungkin?), bahkan hak politik. Dalam artian tidak bisa berpartisipasi dalam pemilihan umum.
Lucunya (tepatnya: ironisnya) -- dengan talenta yang dimiliki banyak kaum transpuan ini, misalnya merias, menyanyi, menari, dan 'nge-MC -- seringkali mereka dimanfaatkan untuk mengumpulkan massa dalam kegiatan kampanye. Keistimewaan yang dimiliki masih menjadi daya tarik bagi banyak orang, utamanya sebagai bagian dari hiburan manakala kegiatan pertemuan dengan konstituen sedang berlangsung.
Istilahnya, mereka hanya sekadar ikut meramaikan tanpa ikut pada puncak keramaian itu sendiri, yakni hari pencoblosan. Apalagi menikmati hasil jerih payahnya, karena mayoritas calon yang mereka dukung segera saja lupa pada mereka termasuk janji dalam memperjuangkan akses untuk memperoleh KTP dimaksud, salah satu dokumen yang paling penting di NKRI ini.
Bagaimana Solusinya?
Hanya satu kata: terobosan! Jika tidak, semuanya hanya sekadar impian. Dan kuncinya adalah pada pejabat kependudukan. Tentu perlu dibarengi dengan niat, keinginan, dan kemauan dalam melayani setiap orang dalam memperoleh haknya.
Jika Kartu Keluarga yang menjadi syarat utama, kenapa tidak dipikirkan dokumen pengganti? Dengan rekomendasi pindah domisili, misalnya.Â