Ketua Umum PDIP banyak marah ketika rakernas minggu lalu. Itu kesan yang banyak ditangkap orang sebagaimana dipublikasikan di banyak media. Berulang kali juga beliau mengatakan "out", "pecat", "keluar saja" sebagai ekspresi ketidaksukaan.Â
Pada kader yang melakukan manuver, yang bermain di dua kaki (semua orang memang hidup di dua kaki karena "hanya" punya dua kaki, 'kan?) dan tiga kaki (ini yang tidak biasa ...). Untunglah, beliau masih bisa terbahak-bahak ketika Presiden Jokowi memuji sebagai "cantik dan karismatik".
Tak Sebutkan Capres, Tapi Arahnya Kepada Puan
Rakernas dengan pembacaan hasil di antaranya oleh Ganjar Pranowo tidak menyebutkan siapa capres 2024. Beda dengan rakernas Nasdem di minggu sebelumnya yang merekomendasikan Ganjar Pranowo sebagai salah satu di antara tiga capres yang direkomendasikan.Â
Ini menunjukkan Nasdem lebih berani dalam dua hal: menyebutkan siapa capres (tiga orang pula!) dan ketiganya bukan "orang dalam" (siapa tahu lupa, Ganjar adalah kader PDIP).
Selama rakernas, yang paling banyak dipuji adalah -- siapa lagi kalau bukan sang putri kesayangan -- Puan dengan keberhasilannya menjadi Ketua Sidang Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-144 yang katanya lebih sulit dibandingkan mengurus pemerintahan.Â
Bahkan bu Mega meminta tepuk tangan diulang lebih keras karena sebelumnya dianggap kurang bersemangat manakala beliau mengatakan perempuan juga bisa jadi pemimpin.
Sebaliknya dengan Ganjar -- meskipun tidak disebutkan namanya dengan lugas -- malah mendapat sentilan. Salah satu yang menohok adalah pada saat bu Mega menyampaikan kriteria capresnya berupa "pemimpin yang tidak hanya mengandalkan elektoral semata". Walaupun untuk syarat lainnya yang disebutkan, Ganjar juga sangat memenuhi.
Kenapa Belum Mengumumkan Capres?
Ini pertanyaan menarik. Sebagai parpol pemenang pemilu dengan 22% kursi di parlemen, PDIP sudah punya golden ticket untuk mencalonkan presiden sendirian, tanpa harus berkoalisi (bu Mega marah dengan istilah ini dan lebih memilih "bekerja sama") dengan parpol lain).Â
Kalau sudah punya calon (dan memang kenyataannya sudah ada Puan dan Ganjar, 'kan?) kenapa mesti mengulur waktu untuk mengumumkannya? Bukankah berlaku prinsip "lebih cepat lebih baik"?
Dengan deklarasi capres lebih awal, tentu saja memberi banyak keuntungan bagi PDIP, di antaranya mesin partai segera bekerja dan kader juga lebih punya banyak waktu untuk memperkenalkan capres kepada konstituen dan calon pemilih. Kenapa tidak dilakukan?
"Waktunya masih dua tahun lagi, sabar saja", kata bu Mega, sambil menambahkan alasannya yang belum selesai menghitung atau mempertimbangkan mana calon yang tepat untuk diusung. Di sini menariknya! Bukankah itu berarti dengan Puan pun beliau masih menimbang-nimbang? Alias belum mantap?
Ada Apa dengan Elektabilitas?
Bu Mega lebih percaya pada hal lain daripada "sekadar" elektabilitas capres. Mungkin akan berbeda ceritanya kalau Puan selalu termasuk pemuncak klasemen, tidak seperti sekarang ini yang sayangnya sangat sulit diangkat dari kelompok capres paling bawah posisinya walau sudah melakukan banyak hal (pemasangan baliho raksasa senusantara, di antaranya).
Padahal sebagaimana kita tahu dan berlaku pada umumnya, elektabilitas adalah indikator utama mengukur keterpilihan seseorang. Apalagi jika yang melakukan adalah lembaga survey kompeten, bukan yang abal-abal.Â
Setiap pemilihan suara -- pileg, pilkada, maupun pilpres -- sudah membuktikan hal ini. Mungkin, bu Mega buying time menunggu sampai elektabilitas Puan merangkak naik, kalau belum bisa melejit dengan pesat yang tentu saja butuh kerja keras para petugas partai.
Kader Bisa Pecah?
Bu Mega juga pasti masih mengkalkulasi pilihan capres jika dijatuhkan kepada Puan, walau pilihan ini yang paling diidamkan beliau. Sejauh ini, kader PDIP termasuk yang paling militan di antara parpol lainnya. Selain itu, termasuk yang kritis dalam bersikap. Beberapa tindakan "berani beda" pernah terjadi yang menunjukkan hal ini.
Sebagai politikus sangat berpengalaman, beliau tentu juga punya sense, dalam artian menafsirkan respon yang diterima dari semua pihak. Kalau pengurus partai banyak memberi pernyataan yang mendukung pencapresan Puan dan sebaliknya bersikap negatif terhadap Ganjar, beliau juga pasti tahu. Namun, kenapa masih ragu?
Kuatnya image partai wong cilik yang kuat di akar rumput, bukan sekadar pernyataan basa-basi bagi PDIP. Kemungkinan bu Mega masih perlu memastikan dinamika yang sebenarnya terjadi di akar rumput ini. Ke mana suara mereka sebenarnya? Apakah sesuai dengan pernyataan para pengurus partai yang lebih banyak menyenangkan hati "bu Banteng"?
Ini salah satu critical point. Jika tidak sesuai aspirasi, besar kemungkinan "wong cilik" akan bereaksi berbeda. Misalnya, kelompok ini aspirasinya ke Ganjar (terlihat dari hasil sigi elektabilitas jika dijadikan indikator), namun bu Mega keukeh memilih Puan. Dan ini yang bisa berbahaya jika benar-benar sampai pecah dan terbelah.
Meski sempat kecewa, akhirnya aku bersyukur juga rakernas tidak memutuskan capresnya siapa. Berharap dalam waktu yang tersisa, bu Mega berkontemplasi, merenung, bertanya kepada lebih banyak orang yang bukan petualang politik sehingga memperoleh masukan yang genuine yang kemudian memutuskan yang terbaik sehingga tidak malah menjadi salah arah.
PDIP adalah aset bangsa. Ketidakstabilan parpol ini dapat berdampak langsung bagi ketidakstabilan negara cinta damai yang sangat kita cintai ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H