Ini cerita masa lalu, ketika masa kanak-kanak beberapa dekade lalu. Setelah "terpaksa" merantau ke Medan untuk mencari penghidupan dan yang lebih baik dalam pekerjaan, orangtua kami meninggalkan sanak keluarga di Tapanuli. Mencoba peruntungan di Medan yang saat itu mulai memasuki era kemajuan peradaban.
Beberapa tahun 'ngontrak di gang sempit di pinggiran kota -- selain ukurannya memang sangat kecil karena barengan dengan pengontrak lain dalam bangunan yang sama, juga harus diisi oleh kami berdelapan anak bapak dan mamak kami -- dengan segala keberanian orangtua kami membeli rumah tua sederhana yang berada lebih  ke pinggiran.Â
Di kampung kecil itu, kami menjadi minoritas karena sebelumnya sudah ada keluarga-keluarga Melayu sebagai "penduduk asli" dan Jawa yang sudah berasimilasi terlebih dahulu.
Secara "alamiah" gang kecil kami dihuni oleh yang senasib dengan kami, sehingga dalam interaksi sehari-hari kami yang Batak dan Kristen berhadapan dengan mereka yang Jawa dan Islam.Â
Berbeda juga secara ekonomi -- walau sama-sama masih miskin -- karena orangtua kami mayoritas pegawai pemerintah dan mereka sebagian besar pedagang di pasar tradisional yang berjarak hanya lebih seratus meter dari tempat kami tinggal.Â
Juga dari segi pendidikan karena kami diwajibkan bersekolah sementara mereka menganggap bersekolah sebagai suatu "kemewahan" sekaligus bukan sesuatu yang perlu.
Selaku anak-anak, apa lagi yang menjadi sengketa kalau bukan yang berhubungan dengan tempat bermain? Ada halaman luas sebagai tempat bermain yang menjadi "lahan sengketa" yakni harus diperebutkan. Menjadi hal yang biasa jika kami harus berkelahi dulu untuk bisa bermain bola bertelanjang kaki.Â
Saling mengejek dengan menyanyikan "Batak berekor" lalu dibalas dengan "Jawa makan kutu" demikian sebaliknya, yang sampai sekarang 'nggak ada yang tahu asal-muasal sebutan tersebut.Â
Bergantian siapa yang berhak menguasai lapangan, sesuai siapa yang menang dalam perebutan "antar geng kesukuan" tersebut.
'Nggak ada yang tersinggung lalu melempari batu atau membakar ban seperti yang sering terjadi belakangan ini. Yang kalah gertak lalu meninggalkan arena untuk mencari tempat bermain yang lain (biasanya ke pasar) atau bahkan menjadi penonton di pinggir lapangan menyoraki permainan untuk kemudian bergantian bermain setelah sang pemenang lelah.Â
Sangat jarang terjadi perkelahian fisik, apalagi yang disebabkan oleh kesukuan dan isu berbau agama.Â
Saat itu, makhluk yang bernama Batak dan Kristen adalah sesuatu yang "aneh" bagi mereka sesama kanak-kanak.Â
Bukan jadi penyulut permusuhan, malah menjadikan "tertarik" untuk mengenal satu sama lain. Buktinya, kami 'nggak pernah kapok untuk besoknya "berkelahi" lagi memperebutkan tempat bermain tersebut. Dan bukan sesuatu yang aneh kami bisa sama-sama makan kacang tojin dan ketupat saat Lebaran dan atau makan kue semprit dan kembang layang saat Tahun Baru ketika saling berkunjung, padahal sehari sebelumnya kami berkelahi dan saling ejek. Iya, karena rebutan lahan bermain itu ...
Mengenang hal itu, ada kerinduanku untuk bertemu dengan kawan masa kanak-kanak dulu itu. Rindu bertemu Gino, Jono, Purnomo, Mali, Usman, dan nama-nama lain yang aku sudah 'nggak ingat lagi.Â
Ingin bertanya kenapa kami dulu bisa bersengketa tanpa menimbulkan luka, berkelahi bukan karena saling membenci, memendam tanpa jadi mendendam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI