Mohon tunggu...
Pardosa Godang
Pardosa Godang Mohon Tunggu... Dosen - Pelayan, pengajar dan pembelajar

Haus belajar, harus terus sampai aus ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila yang Aku Rindu (1): Berbeda dan Bersengketa Tanpa Timbulkan Perkara

1 Juni 2022   04:56 Diperbarui: 21 Juni 2022   10:39 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Instagram @dietra16

Ini cerita masa lalu, ketika masa kanak-kanak beberapa dekade lalu. Setelah "terpaksa" merantau ke Medan untuk mencari penghidupan dan yang lebih baik dalam pekerjaan, orangtua kami meninggalkan sanak keluarga di Tapanuli. Mencoba peruntungan di Medan yang saat itu mulai memasuki era kemajuan peradaban.

Beberapa tahun 'ngontrak di gang sempit di pinggiran kota -- selain ukurannya memang sangat kecil karena barengan dengan pengontrak lain dalam bangunan yang sama, juga harus diisi oleh kami berdelapan anak bapak dan mamak kami -- dengan segala keberanian orangtua kami membeli rumah tua sederhana yang berada lebih  ke pinggiran. 

Di kampung kecil itu, kami menjadi minoritas karena sebelumnya sudah ada keluarga-keluarga Melayu sebagai "penduduk asli" dan Jawa yang sudah berasimilasi terlebih dahulu.

Secara "alamiah" gang kecil kami dihuni oleh yang senasib dengan kami, sehingga dalam interaksi sehari-hari kami yang Batak dan Kristen berhadapan dengan mereka yang Jawa dan Islam. 

Berbeda juga secara ekonomi -- walau sama-sama masih miskin -- karena orangtua kami mayoritas pegawai pemerintah dan mereka sebagian besar pedagang di pasar tradisional yang berjarak hanya lebih seratus meter dari tempat kami tinggal. 

Juga dari segi pendidikan karena kami diwajibkan bersekolah sementara mereka menganggap bersekolah sebagai suatu "kemewahan" sekaligus bukan sesuatu yang perlu.

Selaku anak-anak, apa lagi yang menjadi sengketa kalau bukan yang berhubungan dengan tempat bermain? Ada halaman luas sebagai tempat bermain yang menjadi "lahan sengketa" yakni harus diperebutkan. Menjadi hal yang biasa jika kami harus berkelahi dulu untuk bisa bermain bola bertelanjang kaki. 

Saling mengejek dengan menyanyikan "Batak berekor" lalu dibalas dengan "Jawa makan kutu" demikian sebaliknya, yang sampai sekarang 'nggak ada yang tahu asal-muasal sebutan tersebut. 

Bergantian siapa yang berhak menguasai lapangan, sesuai siapa yang menang dalam perebutan "antar geng kesukuan" tersebut.

'Nggak ada yang tersinggung lalu melempari batu atau membakar ban seperti yang sering terjadi belakangan ini. Yang kalah gertak lalu meninggalkan arena untuk mencari tempat bermain yang lain (biasanya ke pasar) atau bahkan menjadi penonton di pinggir lapangan menyoraki permainan untuk kemudian bergantian bermain setelah sang pemenang lelah. 

Sangat jarang terjadi perkelahian fisik, apalagi yang disebabkan oleh kesukuan dan isu berbau agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun