Gagasan mengenai pentingnya regulasi yang menuntut tanggung jawab platform digital global, seperti Google, Facebook dan sejenisnya, sebenarnya telah mengemuka sejak Hari Pers Nasional (HPN) pada tahun 2020.
Dan, itu kembali dipertegas oleh Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2023 lalu, di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi atas konten berita yang diproduksi oleh media lokal dan nasional.
Pada peringatan HPN tersebut, Presiden meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dewan Pers, dan stakeholder terkait agar segera menuntaskan klausul-klausul tentang Publisher Rights yang akan dimasukkan dalam Perpres.Â
Namun, sebelum membahas rancangan perpres tersebut, penting untuk diketahui posisi Peraturan Presiden dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
(Tentang Hak Cipta, Baca: Artificial Intelligence Tidak Dapat Diberikan Hak Cipta, Ini Alasannya)
Posisi Peraturan Presiden
Kewenangan presiden dalam membuat Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) tidak selalu atas dasar pendelegasian.Â
PP maupun Perpres sebagai peraturan pelaksana undang-undang bisa bersumber dari wewenang mengatur (regelen functie) yang melekat pada seorang presiden sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan (original power) atau kewenangan mandiri (Bagir Manan dalam Fadli, 2011).
Peraturan Presiden, sebelum diberlakukannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikenal sebagai Keputusan Presiden, sebagaimana diatur dalam Lampiran II A angka 5 Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 dan Pasal 2 angka 6 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 (Indrati, 2019).Â
Namun, setelah berlakunya UU No. 10 Tahun 2004, istilah Keputusan Presiden diganti dengan Peraturan Presiden.Â