Pembaca yang budiman, maaf kalau terkecoh dengan judul. Ini hanya uneg-uneg penulis sehubungan dengan fasilitas akses internet selama hidup sementara di Jepang. Sekali lagi, tulisan ini juga atas dasar pengalaman seorang yang sudah tidak muda lagi, tetapi masih ngeyel untuk bisa studi di Negara orang lain.
Baru saja salah satu stasiun TV menayangkan acara, pengambilan angket tentang kesulitan apa yang dirasakan oleh turis mancanegara ketika berwisata di Tokyo dan sekitarnya. Jawabannya adalah akses internet. Ya! Tidak setiap tempat internet itu bisa terakses, walaupun di pusat-pusat keramaian. Acara TV ini berkaitan dengan persiapan Jepang sebagai tuan rumah menghadapi Olimpic mendatang
Hal tersebut, senada dengan pengalaman penulis saat ini. Di Universitas tempat studi, jika ingin mengakses di luar tempat yang sudah ditentukan, harus mendapatkan password khusus terlebih dahulu. Dan terus terang wegah banget untuk mengurusinya.
Pengalaman yang lain, pada tahun 2006, penulis pernah traning selama 2 bulan. Di Tempat training itu hanya ada satu ruangan saja yang bisa akses internet selain di perpustakaan. Padahal di Indonesia waktu itu, Wartel sudah menjamur.
Sekarang di tahun 2014, penulis hanya mengenal laptop dan PC dengan sambungan internet pakai kabel saja. Jadi, sampai sekarang, tidak kenal dengan yang namanya smartphone dengan fasilitas WA, Line, BB dlsb. Karena apa? Karena HP yang dimiliki tidak bisa di-setting internet. Harus ganti pesawat, harus berlangganan internet. Dengan begitu harus mengeluarkan biaya ekstra sedikitnya 600.000rb rup per bulan. Belum lagi ganti pesawat yang notabene harus belajar lagi cara penggunaannya.
Yang penulis tahu, HP di sini, tidak diisi pulsa, tetapi sudah langsung bikin perjanjian dengan satu perusahaan telpon. Waktu yang diperlukan untuk pengurusan agar bisa pegang HP ini makan waktu seharian. Entahlah apa istilahnya, sampai sekarang pun menggunakannya hampir 7 tahun ya, gak mudeng juga.
Yang paling menyakitkan hati adalah, saat kita mau putuskan perjanjian, terkena biaya pemutusan sekitar 1,5 jt rup. Mengapa begitu? Karena masa perjanjian yang diperbaharui secara otomatis itu, masanya hanya per 2 tahunan. Jika kita pulang ke tanah air atau memutuskan perjanjian tidak tepat pada tenggat waktunya, harus bayar!! Walaupun kita adalah pemakai setianya, tidak pernah pindah ke lain hati. Tapi, kali ini kasusnya penulis mau pulang ke Tanah air, bukan pindah ke lain hati, tapi ya terkena juga jika akan memutusnya. Ribet khan? Dan kesannya sangat kaku tidak bersahabat.
Jadi bisa bayangkan betapa keribetan-keribetan yang dulunya waktu di Surabaya, jika ada sesuatu yang menyangkut dengan PC, misalnya, tinggal njawil mahasiswa atau saudara atau tetangga yang paham piranti ini, untuk sekedar mijetin computer. Selama hidup di Nagoya, hal seperti itu tidak bisa penulis dapatkan dengan mudah.
Mengapa begitu? Kondisi tempat dan bidang ilmu yang ditekuni sangat berpengaruh. Jika universitas tempat studi, sedikit sekali orang Indonesia yang bisa dimintai tolong ditambah juga bidang ilmu yang ditekuni jauh dari IT, tidak mudah untuk bisa merawat piranti yang vital bagi orang yang sedang studi. Belum lagi kalau bidang studinya memerlukan keyboard dengan tuts huruf Jepang untuk menunjang kecepatan dan ketepatan menulis thesis. Maksudnya, tidak setiap teman Indonesia yang bisa dimintai tolong ini, paham juga dengan tulisan-tulisan yang keluar dari layar monitor ini (karena Japanese ver). Wajar saja, karena tulisannya semua kayak cacing kepanasan.
Jadi begitu piranti itu ngadat, runtuhlah dunia ini. jika masih ada garansi, untuk dikembalikan lagi ke tokonya, perlu waktu sekitar 1-2 bulan. Jika sudah habis masa garansi, tinggal menunggu kesempatan dibawa pulang ke Surabaya. Sudah berapa biji saja yang sudah dibawa, baik itu yang rusak atau terlanjur beli tapi merasa semakin tidak praktis dalam penggunaan.
Dalam hal ini, penulis merasakan hidup sangat tertinggal dengan teman-teman yang ada di tanah air. Walaupun dikatakan bertempat tinggal yang serba berteknologi tinggi. Tetapi jika tidak didukung pengetahuan, ya apalah artinya. Oleh karenanya, penulis pesan, bawalah pengetahuan tentang IT ini sebanyak-banyaknya, jika akan studi ke sini. Karena tidak sebanyak orang Indonesia yang paham IT, walaupun bukan bidangnya. Di Jepang, hanya orang-orang yang yang memang disiplin ilmunya pada IT saja yang paham. Karena itu biaya maintenance dan service piranti ini mahal setengah mati.
Satu hal yang bisa digaris bawahi. Negara besar dengan teknologi canggih, seperti Jepang ini, jika kita hidup jauh dari pusat wisata dan dan pusat bisnis, kita hanya terima fasilitas standart yang ada di seluruh Negara. Misalnya, Universitas tempat studi ada di pucuk gunung, istilahnya secara jarak tempuh hanya beberapa puluh km saja jaraknya, dari pusat kota, hanya fasilitas standart saja yang ada. Walaupun dikatakan fasilitas itu sangat jauh modern dari fasilitas yang ada di tanah air, tetap saja tidak bisa kita gunakan secara maksimal sesuai dengan kebutuhan kita pribadi.
Yang menjadi pembeda adalah, Indonesia sangat sporadis dalam fasilitas yang berbau teknologi ini. Sedangkan Jepang tingkat keseragamannya tinggi. Di Indonesia, jika suatu tempat bisa dijangkau dengan IT, bisa dipastikan, tempat itu akan jauh lebih maju daripada Jepang. Sedangkan di Jepang, ada unsur keseragaman yang tidak mengenal tempat. Baik di desa atau pun di kota besar. Dan satu lagi "dinding" di Jepang ini sangat tinggi dan tebal. Mereka sengaja membuat dinding itu, terutama dalam menghadapi orang asing, dalam bidang apa pun.
Jadi, siapa bilang Indonesia tertinggal dari Jepang? Karena pada kenyataannya, akses internet itu sangat mudah, hanya mengeluarkan puluhan ribu rupiah saja, sudah bisa mengaksesnya.
*Sekali lagi, tulisan ini hanya dari kacamata pengalaman penulis. Di lain tempat, lain individu, mungkin merasakan hal yang beda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H