Tengkes atau “stunting” adalah gangguan tumbuh kembang anak akibat kekurangan gizi kronis dan atau infeksi berulang yang terjadi dalam 1000 hari pertama setelah kelahiran atau dikenal sebagai Golden Age. Anak tengkes mengalami gagal tumbuh (kurang berat badan, tinggi badan, gigi geligi), hambatan perkembangan kognitif/kecerdasan dan motorik maupun berbagai masalah kesehatan metabolik di saat dewasa.
Pada tahun 2021, angka tengkes di Indonesia mencapai 21%. Ini artinya, secara umum saat ini 1 dari 5 anak di Indonesia mengalami kondisi tengkes. Meskipun prevalensinya sudah berkurang dari 27% pada tahun 2019, angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan angka tengkes tertinggi di Asia Tenggara.
Tingginya angka tengkes adalah ancaman bagi masa depan kesejahteraan bangsa. Generasi tengkes akan tumbuh menjadi sumber daya manusia yang lemah kualitasnya dan kehilangan kemampuan untuk bersaing di tataran global. Secara ekonomi, negara dengan angka tengkes yang tinggi diperkirakan kehilangan 2-3 % GDP setiap tahunnya.
Dengan demikian, tingginya angka tengkes dapat menjadi faktor penghambat bagi bangsa Indonesia untuk memetik manfaat optimal dari bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030.
Pasangan Capres dan Cawapres 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi, mengagas program pemberian makan siang gratis untuk pelajar dan program EMAS (Emak dan Anak Minum Susu) untuk mengatasi masalah tengkes.
Di dalam paparan visi misinya, kedua program itu disebut sebagai program prioritas yang diharapkan dapat menghasilkan capaian dalam jangka pendek. Paslon 2 sering kali menekankan program prioritas tersebut dalam berbagai kesempatan kampanye, dan bahkan melakukan aksi nyata dengan membagikan susu gratis untuk ibu dan anak.
Sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) dan kader PKK, saya senang sekali mendengar kedua program itu. Namun, ketika saya mencoba untuk membaca lebih detail penjelasan kedua program itu dalam visi misi Paslon 2, rumusan solusi yang ditawarkan masih terasa kurang tepat dalam menjawab masalah tengkes. Selain itu, ketidakjelasan rumusan program tersebut juga berpeluang membuka ruang penyelewengan dalam pelaksanaannya.
Berikut ini beberapa catatan saya dalam menimbang kedua program tersebut.
Program makan siang bagi pelajar kurang efektif menyelesaikan masalah tengkes yang bersifat multidimensi
Terjadinya tengkes disebabkan oleh banyak faktor, seperti: kesehatan reproduksi Ibu sebelum dan pada saat hamil dan menyusui, kecukupan gizi pada Ibu dan bayi dalam masa kehamilan dan golden age, dan terhindarnya balita dari infeksi berulang.
Oleh karena itu, permasalahan tengkes tidak bisa diselesaikan hanya melalui program yang parsial seperti pemberian makan siang gratis bagi pelajar. Tanpa mengabaikan dampak positif dari program makan siang untuk pelajar tersebut, intervensi gizi setelah golden age tidak cukup signifikan untuk mencegah terjadinya tengkes.
Tanpa penerapan standar kualitas dan akuntabilitas, program makan siang untuk pelajar tidak menjawab masalah pentingnya kecukupan gizi bagi anak-anak
Tumbuh kembang yang optimal pada anak mensyaratkan makanan yang bergizi, bukan sekedar asal makan. Pentingnya kecukupan gizi tampaknya cenderung terlepas dalam tawaran program ini. Setidaknya hal itu bisa dilihat dalam ilustrasi paparan program ini dalam dokumen visi misi paslon pengusul yang memperlihatkan sekelompok pelajar makan bersama dengan hidangan yang tampak kurang seimbang gizinya.
Program ini perlu mengacu pada pedoman “Isi piringku” dari Kemenkes dalam standarisasi kualitas makanan bagi siswa. Tanpa standarisasi kualitas yang baik dan prosedur yang akuntabel, pelaksanaan program berskala besar ini sangat berpeluang diselewengkan. Sehingga realisasinya makanan yang diperoleh anak-anak di sekolah menjadi kurang berkualitas.
Program minum susu mengabaikan realita bahwa lebih dari 70% orang Indonesia intoleran terhadap laktosa
Ras Asia dan Afrika cenderung memiliki Lactose Intolerant atau ketidakmampuan mencerna dan menyerap gizi dengan baik dari susu beserta produk turunannya seperti keju, yoghurt, dll.
Hal ini terjadi karena menurunnya enzim laktase yang dibutuhkan untuk mencerna susu seiring dengan bertambahnya umur. Di Indonesia, prevalensi intoleransi laktosa pada anak usia 3‒5 tahun sebesar 21,3%, usia 6‒11 tahun sebesar 57,8%, dan pada anak 12‒14 tahun sebesar 73%.
Meskipun jarang bersifat fatal, gejala intoleransi laktosa yang muncul setelah mengkonsumsi susu seperti: mual, pusing, perut tidak nyaman maupun diare, menunjukkan bahwa program minum susu cenderung kurang efektif di Indonesia. Apalagi bila diberikan selama jam sekolah maka justru akan mengganggu proses belajar.
Terkait dengan hal itu, sejak beberapa tahun terakhir, Kementrian Kesehatan telah beralih dari acuan makan sehat yang sebelumnya dikenal sebagai “Empat Sehat Lima Sempurna” di mana susu termasuk sebagai salah satu komposisinya.
Kemenkes kemudian memperkenalkan konsep “Isi Piringku” yang sebagai acuan makan sehat, di mana susu tidak lagi menjadi standar acuan sebagai sumber protein dan kalsium.
Kandungan gula yang tinggi pada susu kemasan di Indonesia
Tingginya kandungan glukosa pada susu dalam kemasan – baik susu formula, susu UHT dan bahkan susu kental manis - sebenarnya sudah lama menjadi kegalauan tersendiri bagi ibu-ibu di Indonesia. Di balik kepraktisan yang dijual oleh susu dalam kemasan sebenarnya terdapat glukosa tinggi yang patut diwaspadai bisa berdampak buruk pada kesehatan anak.
Merujuk pada panduan WHO, total konsumsi harian glukosa dianjurkan tidak lebih dari 50 gram atau setara dengan 4 sendok makan per hari, dan separuhnya untuk anak di bawah usia 2 tahun. Mengkonsumsi glukosa lebih dari jumlah anjuran tersebut beresiko kesehatan seperti terjadinya diabetes dan obesitas.
Kandungan glukosa dalam susu UHT tawar (plain) berkisar di angka 8 gram dan 19 gram pada susu UHT varian rasa strawberry. Itu artinya, ketika anak minum sebungkus susu UHT rasa strawberry maka 38% kebutuhan gula harian sudah terpenuhi. Padahal anak masih mengkonsumsi nasi maupun makanan ringan lainnya.
Program makan siang untuk anak berpotensi melemahkan program layanan dasar lain yang tak kalah penting dan relevan
Anggaran makan siang gratis untuk siswa diperkirakan mencapai Rp. 400 triliun. Menurut Prabowo, anggaran tersebut akan bersumber dari refocusing APBN, yaitu pengalihan anggaran program pendidikan sebesar Rp. 600 triliun dan program perlindungan sosial sebesar Rp. 500 triliun. Itu artinya, untuk pelaksanaan program ini maka perlu pengurangan alokasi anggaran pendidikan dan anggaran perlindungan sosial.
Padahal, program di bidang pendidikan dan perlindungan sosial hingga saat ini masih sangat penting dan relevan. Termasuk dalam anggaran pendidikan antara lain adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana dekonsentrasi pembangunan sekolah dan fasilitas pendidikan, pendidikan non formal, dll.
Sedangkan yang termasuk dalam anggaran perlindungan sosial antara lain adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dll.
Selanjutnya, program makan siang untuk siswa dan program minum susu ini akan berada dalam pos anggaran penanganan stunting, yang nantinya akan jauh menjadi lebih besar dibandingkan yang sudah dianggarkan oleh pemerintah selama ini sebesar Rp. 30 triliun.
Memperhatikan beberapa hal tersebut di atas, sudah tepat dan realistiskah tawaran program makan siang untuk pelajar ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H