Sampah plastik merupakan sampah yang mengandung senyawa polimer (PP No. 83 Tahun 2012). Senyawa polimer sendiri merupakan senyawa besar yang  terbentuk dari penggabungan sejumlah unit-unit molekul yang kecil, layaknya sebuah rantai.Â
Semakin panjang rantai pembentuk senyawa polimer, maka akan sulit untuk melebur. Itulah sebabnya butuh waktu yang begitu lama untuk alam mengurai sampah plastik yang dibuang sembarangan.
Begitu banyak dampak buruk yang diterima dari sampah plastik yang dibuang sembarang. Bahkan bila mengacu pada butterfly effect theory, kemungkinan besar sampah plastik yang dibuang sembarang, menyumbang perubahan iklim yang menjadi masalah bersama di dunia, walau hanya menyumbang 10-16 persen.
Sifat polimer plastik yang sulit melebur, membuat tunas-tunas tumbuhan yang harusnya tumbuh menjadi terhalang, sebab sulitnya menerima resapan air hujan.Â
Sifat polimer dari plastik juga dapat menjadi salah satu bahan bakar yang menyebabkan kebakaran hutan, dan dapat menyebar karena sifatnya yang ringan sehingga mudah terbawa oleh angin.
Sifat plastik yang begitu elastis dapat menahan debit air yang mungkin menumpuk di aliran drainase, sehingga dapat menyebabkan banjir saat hujan turun dan sedimentasi saat kemarau datang.Â
Namun apakah mudah untuk meninggalkan plastik dari kehidupan sehari-hari? Mengapa belum banyak orang yang sadar akan tindakan nya membuang sampah plastik sembarangan dapat menyumbang dampak negatif yang cukup besar?
Plastik dan Ekonomis nya
Dahulu plastik menjadi solusi yang lebih efisien untuk kehidupan sehari-hari. Plastik digunakan untuk  mengurangi pemakaian kertas/karton, yang bahan utamanya berasal dari pohon.Â
Plastik juga mengurangi pembunuhan hewan yang kulitnya digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Belum bisa dibayangkan, apakah binatang seperti ular dan buaya akan bertahan lebih lama, jika dulunya plastik tidak dapat ditemukan. Leo Hendrik Baekeland ilmuwan pertama yang menemukan plastik sintetis pertama kali didunia.
Plastik mempermudah seseorang dalam berkegiatan sehari-hari. Plastik begitu efektif mengangkat beberapa barang bawaan. Harganya yang ekonomis, membuat plastik selalu menjadi pilihan utama.Â
Terlepas kampanye hitam mengenai plastik, sulit sekali memisahkan plastik. Plastik merupakan polimer sintetik yang begitu banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Perlengkapan rumah tangga, perlengkapan sekolah, kantor, perangkat komputer, kabel, mainan anak-anak, pembungkus makanan, hingga klep jantung buatan, semua tidak lepas dari campur tangan polimer sintetik (plastik).
Menurut Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) yang dilansir oleh Harian Kompas (19/08/2018), menyatakan bahwa sampah plastik yang terbuang di Indonesia sekitar 10 miliar lembar/tahun atau sekitar 85.000 ton kantong plastik. Jumlah yang sangat realistis sebab plastik begitu efektif dan ekonomis. Â
Wacana merubah plastik dalam kehidupan sehari-hari, mungkin akan merogoh kocek yang cukup besar. Di gerai minuman contohnya, sudah ada yang tidak menyediakan sedotan plastik, maka konsumen harus membeli sedotan yang terbuat dari stainless steel.Â
Di toko belanjaan seperti mini market pun juga ada yang tidak menyediakan lagi plastik untuk mengangkut hasil belanjaan. Bila ingin memakai plastik, maka konsumen akan dikenakan biaya tersendiri untuk penggunaan plastik.
Dilema Merubah Plastik
Mungkinkah dengan mengurangi intensitas pemakaian plastik benar-benar menjadi solusi untuk kelestarian lingkungan? Bukankah pemakaian bahan seperti kertas atau karton dan bahkan yang gencar di kampanye kan yaitu eco bag, juga tidak lepas dari perusakan lingkungan didalam pembuatan nya?
Kertas atau karton dibuat dengan bahan dasarnya adalah kayu, yang notabene berasal dari pohon. Kegunaan pohon juga tidak dapat dipungkiri dalam menangkap gas CO2 dan menyimpan cadangan air.Â
Demikian juga eco bag, yang pembuatan nya lebih banyak berasal dari pabrik tekstil. Tidak sedikit yang mengetahui bahwa pabrik tekstil menjadi salah satu akibat dari pencemaran air.
Benar bahwa pohon yang tidak produktif, sehingga dengan berbagai perhitungan maka pohon tersebut layak ditebang untuk dijadikan kertas atau karton.Â
Demikian juga eco bag, dapat dimanfaatkan dari limbah-limbah sisa pemakaian kain dan pewarna di pabrik tekstil. Namun, apakah dalam skala yang mulai luas, dan permintaan di pasar sangat tinggi, metode yang dirasa ramah lingkungan masih akan dijalankan?
Pada intinya pendidikan dan kesadaran akan dampak yang terjadi dengan penggunaan yang berlebihan, menjadi langkah awal untuk lingkungan yang lebih lestari dan nyaman untuk ditempati.Â
Namun sejauh ini, yang lebih layak untuk menggantikan plastik adalah keranjang dari anyaman bambu, yang dulu tidak jarang ditemukan saat ibu-ibu pergi ke pasar. Namun, apakah banyak yang percaya diri bila memopong keranjang tersebut di tempat-tempat yang menuntut gaya hidup yang tinggi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H