Mohon tunggu...
Paradha Wihandi Simarmata
Paradha Wihandi Simarmata Mohon Tunggu... Lainnya - Orang yang masih sangat bodoh..

Ja Sagen!!!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Renungan atas Ketiadaan Yuyun

8 Oktober 2019   10:16 Diperbarui: 8 Oktober 2019   10:42 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 04 April 2016, muncul kasus pembunuhan dan pemerkosaan pada anak SMP yang bernama Yuyun. Kejadian tersebut dilakukan oleh 14 orang laki-laki yang rataan umurnya 20 tahun. Peristiwa tersebut sontak mengejutkan banyak orang setelah mendengarnya. Anak perempuan yang tak berdosa itu, menemui ajalnya sehabis dia pulang sekolah.

Nahasnya, dia berjalan disekumpulan lelaki yang sedang mabuk minuman keras dan sama sekali tidak berbudi pengerti. Dia dipukuli dengan benda tumpul dan raganya yang sudah tidak lagi bernyawa di perkosa secara bergilir. Untuk memuluskan niat bejat mereka, mayat Yuyun dibuang ke jurang sedalam 5 meter dan ditutupi dengan daun.

Keluarga besar Yuyun sangat depresi berat. Jatuhnya hukuman selama 10 tahun kepada pelaku menjadi kado pahit tersendir bagi keluarga Yuyun. Namun apakah jatuhan hukuman tersebut adil? Apa sebenernya yang menjadi latar belakang seseorang melakukan pemerkosaan? Apakah hukuman kebiri kimia menjadi solusi terbaik?

Hukuman pemerkosa

Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945 menjelaslan bahwa anak berhak berkembang dan dilindungi oleh keluarganya serta negara dari kejahatan berupa kekerasan dan diskriminasi baik itu dilakukan oleh keluarganya sendiri atau oleh orang lain. Negara akan memproses dengan hukum jika terdapat pelanggaran hak terhadap anak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. 

Pasal tersebut jelas menjadi legitimasi kuat untuk menjerat pelaku ke ranah hukum. Yuyun berhak tumbuh berkembang secara fisik dan emosional seperti semestinya dan akan menjadi tanggung jawab keluarga dan negara, apabila dilakukan seperti itu.

UU No 23 Tahun 2002, pasal 22 ayat (1) menjelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan anak apabila umurnya dibawah 18 tahun. Pasal 26 ayat (3) dan (4) UU Pengadilan Anak menjelaskan bahwa anak dapat dimintai pertanggung jawaban hukum saat umurnya 12 tahun (sebagai pelaku), sebab diumur tersebut secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental dan intelektual untuk perbuatan yang hakikinya itu salah. 

Maka daripada itu, pelaku yang rataan umurnya diatas umur 12 tahun berhak menerima hukuman yang tertera pada UU No. 23 Tahun 2002 Pasal (82) dan (88).

Keluarga Yuyun tidak terima hukuman yang dijatuhkan oleh hakim, sebab pelaku hanya dijatuhkan hukuman kurungan 10 tahun. Tuntutan yang disetujui keluarganya yaitu berupa hukuman mati atau semur hidup. Bila mellihat UU 39 Tahun 1999 mengenai HAM, maka pasal 66 ayat (2) bisa menjadi argument jelas untuk memenuhi tuntutannya.  

Psikologi pemerkosa

Pemerkosaan adalah hal yang sangat hina dan juga sangat tidak alami. Bila dipandang dengan kacamata biologis, selayaknya pelaku menyewa seorang pelacur daripada memperkosa, sehingga tidak ada alasan lagi bila pemerkosa diberikan kemudahan hukum. Namun, apa yang menggerakkan pelaku sehingga alam bawah sadarnya bertindak untuk memperkosa seseorang? Apakah rasa eksistensi bahwa mereka seorang lelaki perkasa bisa juga menjadi alasan?

Psikoanalisis Sigmen Freud menjelaskan bahwa "semua kejadian yang kita hindari untuk mengingatnya, tidak akan keluar dalam pikiran kita. Sekalipun kita berusaha keras, dia akan terbenam dalam alam bawah sadar kita dan tanpa kita sadari itulah yang akan menyetir kita". Bila merujuk argumen dari Freud tersebut, banyak sekali hal yang mempengaruhi alam bawah sadar. Suguhan dari lingkungan, televisi dan juga perangkat elektronik ini memudahkan masuknya gambaran negatif yang terekam dalam memori bawah sadar.

Zaman penuh informasi saat ini sangat merepotkan dalam memilih kebeneran. Informasi yang dulunya sangat kering, kini menjadi banjir informasi. Susunan kalimat yang dibaca, gambar yang dilihat dan video yang direkam, tanpa sadar banyak mempengaruhi cara bertindak dan berfikir. 

Tontonan yang tidak layak diberikan pada mereka yang belum cukup umur, begitu mudahnya di akses hanya dalam satu klik-an. Pelajaran-pelajaran sekolah yang sangat melangit sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dikabarkan, mereka yang memperkosa anak yang tak bersalah itu sedang mabuk berat. Minuman yang menghilangkan kesadaran penuh mereka, membuat mereka bertindak keji seperti itu. 

Dengan rentetan aktivitas yang disuguhkan diatas, sangat mungkin mereka melakukannya saat mereka sadar, apalagi saat mereka sedang mabuk berat. Maka kata khilaf tidak bisa menjadi alasan mereka berbuat demikian, karena rentetan perbuatan tersebut telah mereka bangun dari awal.

Bila berangkat dari eksistensial. Eksistensi seorang pemerkosa ialah eksistensi predator. Rasa ingin menunjukan dominasi bahwa dirinya "ada", sangat lah besar. Predator selalu bergerak memburu mangsanya untuk memuaskan hasrat biologisnya. 

Tidak peduli rasa kemanusian, dia akan memburu seganas mungkin. Framing pemuda desa, yang di cap hanya seorang petani dan tidak bisa berbuat apa-apa dalam kehidupan memaksa mereka ingin menunjukkan dirinya. 

Terlepas baik atau tidaknya perbuatan mereka, tidak mampu mereka pikirkan secara jernih. Seandainya mereka berpikir bahwa banyak pemuda dari desa yang menjadi "founding father" bangsa ini.

Kebiri Kimia

Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Perppu tersebut disahkan oleh DPR menjadi UU pada Oktober 2016 silam. 

Perppu tersebut menjerat mereka yang memperkosa untuk di kebiri kimia. Tujuan hukuman tersebut untuk mengurangi produksi testosterone pada pelaku. 

Pemberitaan Harian Kompas, 14 Mei 2016, menjelaskan bahwa "melalui kebiri kimia, pelaku diharapkan kehilangan nafsu seksualnya". Namun apakah ini efisien dan mampu mengatasi permasalahan pemerkosaan?

Ketentuan mengenai hukuman kebiri memang telah diatur dalam UU 17/2016. Pada Pasal 81 ayat (7) menyebutkan, selain dikenai pidana utama atas persetubuhan pada anak, pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. 

Menurut  Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih mengatakan bahwa kebiri kimia belum tentu menyembuhkan predator seksual, sebab suntikan kimia tersebut tidak bersifat permanen, dan efeknya akan muncul kembali selama tiga bulan. Pelaku harus intens diberikan suntikan kimia secara berkala dengan pengawasan yang ketat oleh ahli jiwa.

Pernyataan tersebut menguatkan bahwa kesalahan yang terjadi pada predator bukan dari alat vitalnya, namun berada di isi kepalanya. Daeng Mohammad Faqih juga menyarankan untuk melakukan rehabilitasi sehingga jauh lebih efektif. 

Pengkebirian kimia hanya memberikan efek yang sementara, namun perbuatannya yang ganas menumbuhkan rasa traumatik yang besar bagi korban. Lalu bagaimana memberikan pengajaran sejak dini sehingga tidak muncul pelaku yang baru?

Pelajaran seks sejak dini dan penguatan ilmu agama menjadi penting. Seks tidak hanya bertemunya alat vital pria dan wanita, namun jauh dari itu yaitu sebab dan akibatnya, tanggung jawabnya, apa dampaknya, dan positif serta negatifnya, berikanlah sepenuhnya, sehingga mereka akan mengetahui baik buruknya perbuatan mereka.

Yuyun telah meninggalkan cerita yang begitu mendalam. Kematiannya menjadi bahan evaluasi gambaran kedepan generasi bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun