Mohon tunggu...
Paoezan Sept.
Paoezan Sept. Mohon Tunggu... Petani - petani

Suka duduk, tapi lebih senang berjalan. Aku bilang untuk menghilangkan Jenuh...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rindu Ibu

20 Desember 2015   23:48 Diperbarui: 20 Desember 2015   23:48 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Bu, musim kemarau semakin panjang. Tumbuhan menjadi gersang. Tanah makin berdebu. Air sudah lama menjadi barang yang langka. Tampaknya kemarau ini akan lebih panjang. Sepanjang jalan umurku, bersama kemarau yang menjelma musim abadi dalam hati. Keteduhan serta kesejukan telah lama pergi, semenjak aku pergi. Keteduhan yang berasal dari wajahmu, kelembutan serta kasih sayang dari pancaran mata Ibu. Kini, aku merindui semuanya. Sedang Ibu masih jauh disana.

 

Bu, dalam hening malam dan dingin aura pegunungan. Aku bermimpi bertemu denganmu di depan rumah kita, juga dengan aura pegunungannya. Dingin. Sejuk. Dalam tidurku Ibu berkata, “ Pulanglah kalau sudah lelah, istirahatlah dalam pelukan Ibu. Sandarkan tubuhmu pada hangat kasih sayang Ibu. Ceritakanlah semua gulana dalam hatimu. Kalau ada air mata, jemari Ibu kan menghapusnya.” Ketika terbangun mataku sembab. Hanya suaramu dan wajahmu yang kulihat. Tak bisa kupeluk ragamu. Aku rindu. Ibu.

 

Bu, puluhan tahun yang lalu. Ibu pernah berjuang, mempertaruhkan jiwa dan hingga kini terus berjuang. Tubuh Ibu penuh dengan keringat. Sesekali air mata menghiasi putih wajah Ibu. Hanya untuk menyelamatkanku. Hanya untuk menolongku melihat dunia. Air mata Ibu semakin deras mengalir, berbanding dengan kerasnya teriakan tangisku. Air mata bahagia. Aku yang menangis tentunya juga bahagia. Bahagia karena lahir dari rahim Ibu. Bahagia karena darahmu mengalir dalam darahku. Sekali lagi aku bahagia. Kalau orang tidak percaya, nanti aku akan ajak bertanya kepada Malaikat yang ada waktu itu. Malaikat saksi akan kehadiranku. Malaikat yang telah menguatkan Ibu.

 

Bu, masih berdendang cerita-cerita tentang pelajaran hidup dalam ingatanku. Cerita tentang si Perut Genting, yang perutnya putus karena kurus. Lama menanti padi yang hendak dituai. Cerita tentang Pak Pandir yang yang memang pandir dalam hidupnya. Cerita Pak Belalang yang selalu beruntung tapi pemalas. Cerita tentang Mat Jenin yang suka mengkhayal. Dan masih banyak cerita lagi, yang mengantarkanku menuju peraduan. Tidur. Sampai lelap. Hingga kini tak terlupakan. Andai-andai. Dongeng dalam bahasa kita. Bahasa Ibu.

 

Bu, pesan Ibu agar tak lupa dengan bahasa kita terpatri kuat semenjak kepergianku. Bahasa adalah identitas. Bahasa adalah kebanggaan. Bahasa adalah jati diri. Bahasa adalah kehormatan. Walau tanah tempat bahasa Ibu dilahirkan jauh dari keberadaanku, bahasa Ibu tak mungkin aku lupakan. Bahasa kasih sayang. Bahasa kebaikan. Bahasa kepedulian. Bahasa toleransi. Bahasa manusia. Bahasa Ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun