Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Trump dan Calon Pemimpin Kita

11 April 2016   13:50 Diperbarui: 11 April 2016   14:10 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena serupa kembali berlanjut menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta yang baru akan berlangsung tahun 2017. Hanya gara-gara petahana adalah seorang Kristen Tionghoa, kaum konservatif berusaha keras untuk menjegal si ‘kafir aseng’ dengan menjaring tokoh Muslim manapun yang berhasrat menjadi pemimpin. Celakanya, para pemimpin Muslim yang waras seperti Ridwan Kamil dan Tri Rismaharini memilih untuk tetap berada di daerah masing-masing. Lalu siapa yang mereka ajukan?

Sandiaga Uno, pebisnis yang sukses (seperti Trump!) dan relatif tanpa skandal pribadi (meskipun perusahaannya ditengarai ikut andil melakukan pembakaran hutan). Adhyaksa Dault? Mantan menteri era SBY, juga relatif tanpa skandal, kecuali gaya bicaranya yang kacau. Tetapi mereka mau saja bergabung dengan Ahmad Dhani yang kawin cerai, maniak seks dan membiarkan anaknya melakukan pembunuhan massal. Atau dengan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., Ph.D. yang juga kawin cerai dan menunggak sewa rumah.

Ya, para pendukung mereka dengan senang hati menempatkan orang-orang amoral ini di barisan terdepan mereka demi satu tujuan: mengalahkan musuh. Ini bukan soal moral, tetapi supply and demand: orang-orang yang ingin berkuasa ini menjawab kebutuhan kaum konservatif untuk memenangkan ‘perang Badar’.

Mereka mendefinisikan ulang dosa menjadi segala sesuatu yang dilakukan musuh mereka. Dosa itu adalah berbeda etnis dan agama, berbicara blak-blakan (‘tidak santun’), menganut paham liberal atau sosialis, dan mengasihi LGBT. Sementara kawin cerai, skandal seks, korupsi, kekerasan dan diskriminasi; semuanya bisa diputihkan, disapu ke bawah keset, atau dilemparkan sebagai fitnah ke pihak lawan.

Saya tidak mengatakan bahwa lawan mereka (Jokowi, Ahok, Obama dan Clinton) tidak mempunyai kekurangan atau bahkan cacat moral. Tetapi yang menjijikkan adalah, mereka menggunakan isu-isu yang bukan hanya tidak beradab (misalnya kebencian etnis dan agama) tetapi juga bodoh dan banal. Apa urusannya LGBT dengan tata kelola pemerintahan dan ekonomi? Atau ‘kata-kata santun’ dengan penataan birokrasi dan pencegahan korupsi?

Kolom lain di majalah yang sama memberikan jawabannya: ternyata ocehan kasar para calon bermasalah dan pendukungnya ini malah sering dibalas dengan cara yang juga tidak cerdas. Banyak warga AS malah berkomentar, “Goblok!” atau “Dasar Hitler!” Beberapa pendeta dan juga Paus Fransiskus yang melawan argumen Trump dengan cerdas tapi tegas, ditenggelamkan hiruk-pikuk saling caci-maki antar pendukung.

Singkatnya, mereka dengan sengaja melakukan pembodohan publik. Pendukung lawan menjadi terpancing untuk membalas tak kalah kasarnya. Mereka menyebar hoax, pendukung lawan membalas dengan melebih-lebihkan berita sesungguhnya. Ini berlanjut terus bahkan setelah pemerintahan berjalan. Akhirnya energi rakyat habis untuk mengurusi hal-hal bodoh ini sehingga mereka lupa membantu proses check and balance dengan sehat: memberi masukan program, mengawal proyek, mengawasi anggaran, bahkan sekedar menaati peraturan!

Apakah ini bukti kegagalan demokrasi? Tidak. Tetapi seperti sudah saya katakan dalam tulisan saya sebelumnya, demokrasi membutuhkan orang-orang baik. Salah satu cirinya, tentu saja, tidak haus kekuasaan. Jika elite politik masih membiarkan, bahkan memelihara, pembodohan publik yang demikian di level akar rumput, itu membuktikan mereka haus kekuasaan karena masih butuh pendukung fanatik yang sama hausnya akan kekuasaan sampai rela menjual integritas demi memenangkan jagoannya.

Jadi apa yang harus dilakukan? Menurut saya tidak ada gunanya mengkotbahi kaum konservatif fanatik dengan menunjukkan kesalahan mereka. Yang pertama harus dilakukan oleh kelompok progresif adalah menghentikan fanatisme kelompok sendiri. Fanatisme membuat anda sama bodohnya dengan orang-orang reaksioner, hanya saja posisinya berbeda.

Kedua, tidak menyerang musuh. Ya, mau tidak mau kita harus belajar pada Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr. (yang ajarannya sudah banyak dilupakan orang India maupun pejuang hak-hak sipil modern). Apa itu? Saya hanya bisa menyimpulkan dengan dua kata: kasih dan integritas. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan: anda akan menjawab argumen lawan dengan baik dan sopan dan tidak menggunakan cara-cara lawan demi membenarkan pihak anda.

Ketiga, belajar untuk menggunakan logika yang sehat secara konsisten. Mudahnya: jangan ikut-ikutan gila! Ingat, salah satu tujuan negara kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Rakyat yang cerdas akan melahirkan pemimpin yang cerdas pula. Pemimpin yang cerdas tidak akan terbantu oleh perilaku bodoh rakyatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun