Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fenomena Tanggapan Masyarakat atas "4 x 6 = 6 x 4"

25 September 2014   06:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:36 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya kaget juga ketika salah satu teman saya di Facebook men-share status mahasiswa Undip bernama M. Erfas yang mengupload foto PR matematika adiknya yang duduk di kelas 2 SD, di mana PR itu hanya diberi nilai 20 dari max. 100. Kesalahannya adalah karena dia menjawab (contoh): 4+4+4+4+4+4 = 4 x 6 = 24, bukan 6 x 4 = 24 sebagaimana diharapkan gurunya.

Tanggapan saya yang pertama adalah: gurunya kaku sekali pada text book. Tetapi saya kaget juga dengan reaksi istri saya yang menjadi sangat kuatir. Ternyata penerbit buku tempatnya bekerja juga menerbitkan buku pelajaran kelas 2 SD dengan metode perkalian seperti itu. Ia merujuk referensi ini-itu dari penerbit luar, dan semua menyatakan bahwa 4 x 6 = 4+4+4+4+4+4. Dengan merebaknya kasus ini, ia kuatir terpaksa melakukan peninjauan, revisi besar-besaran, mungkin juga recall produk, yang ujungnya berakibat pada kerugian.

Kemudian tanggapan di media sosial juga tak kalah gilanya. Para profesor dan dosen pun ikut nimbrung. Bahkan netizen di medsos pun bukan hanya terbelah antara si kakak beradik vs guru, tetapi juga antara profesor A vs profesor B. Semua menjagokan opininya masing-masing sambil menghina yang lain, dengan argumen-argumen yang sepintas nampak logis semua.

Tetapi baiklah kita telaah satu persatu masalah dan tanggapan publik tersebut. Awal masalahnya adalah: Apakah 4 x 6 = 6 x 4 benar atau salah?

Jawaban pertanyaan di atas, tak lain dan tak bukan adalah: BENAR. 4 x 6 = 6 x 4 = 24. Jadi si Habibi, adik Erfas, menjawab dengan benar.

Karena yang menjadi inti permasalahan yang harus diselesaikan si anak adalah PERKALIAN. Perkalian memiliki sifat komutatif,  jadi letak angka yang dikalikan bisa saling bertukar. Ini sama dengan penjumlahan: 4+6 = 6+4 = 10. Tetapi pembagian dan pengurangan tidak demikian. 4-6 = -2, dan 6-4 = 2. Sementara 4/6 = 6.66667, dan 6/4 = 1.5.

Mau bukti? http://en.wikipedia.org/wiki/Multiplication

Di situ bahkan dikatakan: 3 x 4 = 4+4+4, tetapi bisa juga 3 x 4 = 3+3+3+3. Karena hasilnya sama saja 12. Bahkan penjabarannya yang berupa penjumlahan berulang bisa beda, tetapi hasilnya sama.

Nah mari sekarang kita telaah tanggapan publik. Jika ada yang menanggapi sama seperti di atas, saya tidak bahas lagi di bawah.

1. Buku teks mengajarkan 6 x 4 = 4+4+4+4+4+4. Contohnya, ada 4 apel dalam satu keranjang, dan ada 6 keranjang. Jadi ada enam kali 4 buah apel = 6 x 4 = 4+4+4+4+4+4. 4-nya ada 6 kali. Ini juga dipakai untuk mengajar lisan.

Saya sependapat, sebagaimana istri saya katakan, standar yang dipakai text book demikian. Guru, dan banyak orang tua, pun mengikuti metode di text book. "Nak, kalau 6 x 4 itu 4-nya ada 6 kali." Ini adalah metode penjabaran perkalian sebagai penjumlahan berulang. Metode dengan penggambaran sejumlah benda di dalam wadah, dengan wadahnya ada beberapa, juga acap dipakai. Inilah yang digunakan Prof. Yohanes Surya dalam menanggapi kasus ini.

Tetapi kalau anda perhatikan buku teks tersebut maupun penjelasan Prof. Surya, semuanya menempatkan notasi perkalian (4 x 6) di depan, alias menjadi subyek. Sementara 4+4+4+4+4+4 ada di belakang tanda "=".

Bahkan selengkapnya dalam buku teks lebih jelas lagi. Judul babnya saja adalah PERKALIAN. Kemudian isinya adalah:


  1. Tertulis dengan jelas di awal: PERKALIAN ADALAH PENJUMLAHAN BERULANG
  2. Diikuti dengan contoh visual (apel dalam keranjang)
  3. dan diakhiridengan 6 x 4 = 4+4+4+4+4+4


Ini jelas menunjuk pada perkalian. Semetara penjumlahan berulang adalah penjelasannya. Ingat, ini adalah buku untuk anak kelas 2 SD yang belum mengenal perkalian. Penjumlahan berulang adalah (seperti penjabaran Prof. Surya) cara paling sederhana untuk menjelaskan perkalian.

Lalu kenapa harus 6 x 4, bukan 4 x 6? Atau seperti Wikipedia, 4+4+4+4+4+4 bukan 6+6+6+6? Sederhana: Penyeragaman penjelasan ini memudahkan guru/orangtua untuk mengajar dan siswa menangkap artinya. Jika anak yang belum tahu apa-apa diberikan metode yang terlalu bervariasi, anak mungkin akan bingung dan tidak menangkap maksudnya. Bahkan para guru dan orang tua bisa berdebat kusir karena tidak ada standar mengajar. Prof. Surya menyebut ini sekedar kesepakatan saja, bukan proses baku yang harus diikuti mentah-mentah oleh siswa.

Tetapi kemudian Habibi diminta (ditantang?) gurunya untuk membalik penjelasan itu dengan mengubah penjumlahan berulang menjadi notasi perkalian. 4+4+4+4+4+4 = ... x ... = .... Jika yang diminta adalah notasi perkaliannya, jelas tidak masalah apakah dia mau menulis 6 x 4 atau 4 x 6. Apa salahnya jika Habibi dijelaskan oleh kakaknya suatu proses alternatif yang tidak menyalahi kaidah matematika? Bukankah sang guru juga membalik penjelasan itu? Kenapa jika penjabarannya dibalik, notasinya tidak bisa, padahal benar?

2. Publik menjelaskan perbedaan 4 x 6 dengan 6 x 4 menggunakan contoh sehari-hari.

Dua penjelasan yang paling sering muncul dari publik netizen adalah:


  1. Minum obat 3 x 1 hari tidak sama dengan 1 x 3 hari
  2. Tamu wajib lapor RT 1 x 24 jam tidak sama dengan 24 x 1 jam


Saya tidak habis pikir dengan mereka yang ngotot (sampai menghina) pakai cara ini. Pertama, kedua contoh di atas bukan penjumlahan berulang, dan karenanya jelas bukan perkalian. Mereka adalah frekuensi: kegiatan yang dilakukan berulang dalam suatu kurun waktu. Kedua, mereka terikat satuan (hari, jam). Bahkan "kali" di sini bukan operator matematika, tetapi juga satuan! (Bisa disamakan dengan Hertz: sekian siklus getaran per detik). Jika soal dosis obat dibuat soal cerita, maka yang paling mungkin begini:

Dokter memberi Budi 9 butir obat yang harus habis dalam 3 hari. Berapa kali dalam sehari Budi harus minum obat? Jawabannya adalah pembagian: 9 obat / 3 hari = 3 kali per hari.

Mereka yang berargumen kalau letak angkanya terbalik pasien bisa mati overdosis melupakan faktor satuan yang mencegah pemahaman yang ambigu itu. Dokter atau rumah sakit mana yang tidak menjelaskan 3x1 itu sebagai frekuensi harian dengan cukup menambahkan kata "hari"? Lagipula, licik betul mereka yang menggunakan analogi obat tersebut menukar angkanya, tetapi satuannya tidak ikut tukar tempat!

3. Si Habibi tidak memperhatikan pelajaran gurunya, sementara kakaknya sok tahu tanpa melihat buku teks.

Menurut saya ini argumen yang paling jelas menyatakan guru dan buku tidak mungkin salah. Bukankah bisa saja Habibi agak bingung jika dibalik urutan penjabaran menjadi notasi perkalian seperti itu? Sementara kakaknya yang dulu tidak mendapatkan penjabaran penjumlahan berulang yang terstandarisasi tetapi sudah tahu betul konsep perkalian mengajarkan ke adiknya pemahaman yang sama tetapi dengan penulisan yang berbeda, tanpa perlu melihat buku teks. Saya ingat, orang tua saya dulu membelikan saya tabel perkalian yang begitu besar untuk ditempel di pintu lemari. Tabel itu tidak ada di buku teks. Hasilnya? Saya masuk ranking 3 besar, termasuk untuk nilai matematika.

4. 6 x 4 = 4+4+4+4+4+4 adalah pelajaran konsep berpikir yang harus dipahami dan diikuti anak, tidak bisa dia berprinsip "banyak jalan ke Roma": langsung menyamakan sama saja dengan 4 x 6 toh hasilnya sama-sama 24. Cara belajar instan yang mementingkan hasil ini yang bikin rusak bangsa.

Pertama, saya heran, apanya yang instan ketika dia mempelajari proses alternatif? Apalagi proses itu jelas tidak melanggar kaidah matematika. Ketika anak diminta membuat notasi, dia bebas menempatkannya, asalkan kedua angka komponen dari penjumlahan berulang itu ada (angka 4 dan pengalinya yang 6 buah). Ini jelas-jelas pengajaran proses yang lebih kaya. Instan itu adalah, jika dia sama sekali tidak menuliskan notasi perkalian langsung menulis jawaban 24. Kalau seandainya dia iseng menulis: 4+4+4+4+4+4 = 8 x 3 = 24 lalu ngotot sama saja, baru anda bisa mengritik kakak beradik itu karena seenaknya mengganti faktor yang harus dikalikan. Itu jawaban cerdas dan benar, dan jelas tidak instan, tapi tidak logis.

Kedua, ingat penjelasan di no.1 di atas: proses penjumlahan berulang tersebut adalah alat bantu untuk menjelaskan perkalian. Atau seperti istilah Prof. Surya, hanya kesepakatan. Bukan standar baku. Ketiga: orang mengacaukan konsep dengan standar. Konsep itu ya si perkalian itu adalah a x b = b x a = c. Sementara standar adalah soal bagaimana a x b perlu dijelaskan secara seragam sehingga orang mengerti. Jika ada orang lain yang menemukan bahwa b x a ternyata sama dengan a x b, jelas dia tidak salah konsep, hanya caranya tidak standar. Anak itu sudah belajar konsep dengan benar.

Akhir kata...

Banyak yang mengecam Erfas karena tidak hormat pada guru. Saya juga tidak sependapat tentang hal ini karena dia sudah menuliskan nota keberatan di PR adiknya maupun pengantar update status di Facebook dengan kalimat yang sangat sopan (diawali "Sebelumnya mohon maaf...", diakhiri "Terima kasih.") Akhirnya dia juga menghapus statusnya dan mengganti dengan status bahwa dia sudah minta maaf (lagi) pada guru adiknya karena mungkin beliau merasa didiskreditkan. Tetapi ia memberi catatan bahwa sang guru juga sependapat dengan Erfas soal jawaban adiknya.

Yang membuat saya sedih adalah hal ini digunakan sebagai pembenaran opini pribadi di ruang publik dan menyerang yang lain, dengan dasar-dasar pandangan yang keliru seperti di atas tadi. Bahkan yang menggunakan argumen yang benar pun tak jarang tersulut emosinya. Bahkan penjelasan yang relatif netral dari kalangan akademis juga tidak dipahami secara menyeluruh. Semata soal siapa yang dijagokan, si kakak beradik atau si guru dan buku. Sementara matematika sejatinya nyaris tidak disinggung, hanya logika verbal saja yang dipakai: Guru bilang ini, buku bilang itu, profesor bilang ini, kalau pakai dosis obat bisa mati, nanti pak RT kelabakan terima tamu.

Ibu saya yang seorang doktor kedokteran di universitas ternama di negeri ini berkomentar, kurikulum yang dipakai sekarang sudah sangat baik. Tetapi memang banyak orang (termasuk tenaga pendidik) kelihatannya tidak memahami mengapa kurikulum tersebut disusun demikian. Yang penting saya mengajar dan anak patuh, yang penting saya beropini dan orang lain kalah debat. Saya dan istri mencari berbagai referensi ilmu dan mencoba melihat masalah dari berbagai sudut pandang, hanya untuk memahami kebenaran dari peristiwa ini, bukan untuk menang debat.

Mungkin, daripada berdebat, saatnya kita belajar lagi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun