Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fenomena Tanggapan Masyarakat atas "4 x 6 = 6 x 4"

25 September 2014   06:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:36 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menurut saya ini argumen yang paling jelas menyatakan guru dan buku tidak mungkin salah. Bukankah bisa saja Habibi agak bingung jika dibalik urutan penjabaran menjadi notasi perkalian seperti itu? Sementara kakaknya yang dulu tidak mendapatkan penjabaran penjumlahan berulang yang terstandarisasi tetapi sudah tahu betul konsep perkalian mengajarkan ke adiknya pemahaman yang sama tetapi dengan penulisan yang berbeda, tanpa perlu melihat buku teks. Saya ingat, orang tua saya dulu membelikan saya tabel perkalian yang begitu besar untuk ditempel di pintu lemari. Tabel itu tidak ada di buku teks. Hasilnya? Saya masuk ranking 3 besar, termasuk untuk nilai matematika.

4. 6 x 4 = 4+4+4+4+4+4 adalah pelajaran konsep berpikir yang harus dipahami dan diikuti anak, tidak bisa dia berprinsip "banyak jalan ke Roma": langsung menyamakan sama saja dengan 4 x 6 toh hasilnya sama-sama 24. Cara belajar instan yang mementingkan hasil ini yang bikin rusak bangsa.

Pertama, saya heran, apanya yang instan ketika dia mempelajari proses alternatif? Apalagi proses itu jelas tidak melanggar kaidah matematika. Ketika anak diminta membuat notasi, dia bebas menempatkannya, asalkan kedua angka komponen dari penjumlahan berulang itu ada (angka 4 dan pengalinya yang 6 buah). Ini jelas-jelas pengajaran proses yang lebih kaya. Instan itu adalah, jika dia sama sekali tidak menuliskan notasi perkalian langsung menulis jawaban 24. Kalau seandainya dia iseng menulis: 4+4+4+4+4+4 = 8 x 3 = 24 lalu ngotot sama saja, baru anda bisa mengritik kakak beradik itu karena seenaknya mengganti faktor yang harus dikalikan. Itu jawaban cerdas dan benar, dan jelas tidak instan, tapi tidak logis.

Kedua, ingat penjelasan di no.1 di atas: proses penjumlahan berulang tersebut adalah alat bantu untuk menjelaskan perkalian. Atau seperti istilah Prof. Surya, hanya kesepakatan. Bukan standar baku. Ketiga: orang mengacaukan konsep dengan standar. Konsep itu ya si perkalian itu adalah a x b = b x a = c. Sementara standar adalah soal bagaimana a x b perlu dijelaskan secara seragam sehingga orang mengerti. Jika ada orang lain yang menemukan bahwa b x a ternyata sama dengan a x b, jelas dia tidak salah konsep, hanya caranya tidak standar. Anak itu sudah belajar konsep dengan benar.

Akhir kata...

Banyak yang mengecam Erfas karena tidak hormat pada guru. Saya juga tidak sependapat tentang hal ini karena dia sudah menuliskan nota keberatan di PR adiknya maupun pengantar update status di Facebook dengan kalimat yang sangat sopan (diawali "Sebelumnya mohon maaf...", diakhiri "Terima kasih.") Akhirnya dia juga menghapus statusnya dan mengganti dengan status bahwa dia sudah minta maaf (lagi) pada guru adiknya karena mungkin beliau merasa didiskreditkan. Tetapi ia memberi catatan bahwa sang guru juga sependapat dengan Erfas soal jawaban adiknya.

Yang membuat saya sedih adalah hal ini digunakan sebagai pembenaran opini pribadi di ruang publik dan menyerang yang lain, dengan dasar-dasar pandangan yang keliru seperti di atas tadi. Bahkan yang menggunakan argumen yang benar pun tak jarang tersulut emosinya. Bahkan penjelasan yang relatif netral dari kalangan akademis juga tidak dipahami secara menyeluruh. Semata soal siapa yang dijagokan, si kakak beradik atau si guru dan buku. Sementara matematika sejatinya nyaris tidak disinggung, hanya logika verbal saja yang dipakai: Guru bilang ini, buku bilang itu, profesor bilang ini, kalau pakai dosis obat bisa mati, nanti pak RT kelabakan terima tamu.

Ibu saya yang seorang doktor kedokteran di universitas ternama di negeri ini berkomentar, kurikulum yang dipakai sekarang sudah sangat baik. Tetapi memang banyak orang (termasuk tenaga pendidik) kelihatannya tidak memahami mengapa kurikulum tersebut disusun demikian. Yang penting saya mengajar dan anak patuh, yang penting saya beropini dan orang lain kalah debat. Saya dan istri mencari berbagai referensi ilmu dan mencoba melihat masalah dari berbagai sudut pandang, hanya untuk memahami kebenaran dari peristiwa ini, bukan untuk menang debat.

Mungkin, daripada berdebat, saatnya kita belajar lagi...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun