Di pagi yang cerah saya melajukan sepeda motor matik saya ke arah barat, menuju Bondowoso via hutan Baluran Situbondo. Tadi malam saya ada acara dengan kolega di Banyuwangi, rencananya malam itu langsung pulang ke Bondowoso, namun baru 15 menit melaju tiba-tiba rasa kantuk menyerang, dan saya memutuskan bermalam di SPBU Ketapang.
Pukul 06.00 persis saya memulakan perjalanan, sesampainya di Wongsorejo saya mengurangi kecepatan hingga sekira 50 km/jam, karena ada dua Tronton dan satu Truk gandeng yang berjalan beriringan, saya tidak berani mendahului karena di depan ada Bus yang sedang melaju, menurut perhitungan saya sangat beresiko jika saya memaksakan nyalip.Â
Namun, tiba-tiba dari arah belakang seorang remaja putri menggunakan sepeda motor matik menyalip, bukan hanya saya yang disalip, tetapi dua Troton dan satu Truk Gandeng di depan saya ikut dilahapnya, Bus dari arah depan terpaksa membunyikan klakson untuk memberi peringatan agar tidak memaksa nyalip, mungkin karena merasa tanggung remaja putri itu justru malah menambah laju motornya untuk mendahului.
Di atas kendaraan saya termenung sekaligus heran, seorang remaja putri, tanpa helm, tanpa jaket, mengunakan rok lebar yang  berkibar, dalam laju kecepatan lumayan tinggi, memutuskan untuk mengambil tindakan berani mendahului dua Tronton, satu Truk Gandeng, dan ada Bus dari arah berlawanan. Apa yang dikejarnya, jika ketepatan waktu masuk sekolah yang dikejarnya? Sepadankah itu dengan keselamatannya, sepadankah itu dengan harga nyawanya.
Belum tuntas keheranan saya, dan posisi saya masih di belakang Tronton, ingin memastikan aman untuk mendahului, tiba-tiba dari arah belakang dua remaja putra berboncengan dengan sepeda motor tanpa spion, lagi-lagi tanpa atribut keselamatan berkendara sepeda motor, tanpa helm, tanpa jaket dan bercelana pendek, celana pendek seragam sekolah.
Remaja-remaja tadi sedang melintas di jalan Nasional, di mana berbagai kepentingan, baik kepentingan Nasional, kepentingan Lokal, kepentingan antar Pulau dan antar Daerah sedang berlomba untuk sampai di tujuan secepat mungkin.Â
Jalan itu jalan Poros, kendaraan dengan berbagai tonase, berbagai ukuran, berbagai jumlah roda, melaju dengan berbagai kecepatan pula. Kendaraan-kendaraan itu sedang berlomba mendapatkan laju terdepan demi kecepatan dan ketepatan sampai di tujuan, dan remaja-remaja itu menekadkan diri masuk ke gelanggang lintasan tanpa memperhatikan atribut keselamatan.
Miris!
Di manakah orang tuanya, di manakah perannya?
Oh, mungkin tidak ada budaya sarapan bersama di rumah itu, sehingga tidak ada wejangan dari orang tuanya tentang keselamatan berkendara, walaupun itu hanya sebatas nasihat untuk memakai helm. Oh, mungkin tidak ada budaya pamitan dan cium tangan di keluarga itu, sehingga tidak ada nasihat hanya sekedar memakai jaket saat berkendara. Oh, mungkin komunikasi di keluarga juga tidak terbangun, karena terbiasa dengan rutinitas, pagi-pagi si Bapak harus sudah berangkat kerja, si Ibu sibuk ngurus urusan rumah tangga.
Di manakah sekolahnya, di manakah perannya?
Apakah tidak ada pemberitahuan berkala, apakah tidak ada edukasi berkendara, apakah tidak ada pemanggilan terhadap orang tuanya, hanya untuk sekedar mengingatkan kepada putra-putrinya memakai helm dan jaket saat berkendara. Apakah sekolah sudah kehabisan cara untuk memaksa anak didiknya mentaati bahwa helm dan jaket saat berkendara?
Bagaiman Kepala Sekolahnya, Gurunya, Komitenya, atau Satpamnya? Apakah tidak mengingatkan, untuk, minimal memberikan pengertian bahwa apa yang dilakukan oleh anak didiknya sangatlah berbahaya? "Oh, sudah disampaikan namun tidak diindahkan oleh siswa". Apakah pihak sekolah tidak punya kemampuan untuk memaksakan peraturan tidak boleh membawa sepeda motor ke sekolah tanpa piranti lengkap dalam berkendara?.
Di manakah Dinas Pendidikan, Di manakah perannya?
Dinas Pendidikan harus turut serta penertiban siswa dalam berkendara, karena keberhasilan dunia pendidika bagi siswa dimulakan saat siswa keluar dari rumah, dan sampai di rumah kembali. Dinas sosial memiliki akses untuk berkomunikasi dengan Pemda dan Kepolisian. Sehingga tugas pokok dan fungsi Dinas Pendidkan harus ditambah, bukan hanya merumuskan, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi berjalannya dunia pendidikan, tapi, mengkoordinasikan keselamatan siswa mulai dari rumah sampai kembali ke rumah.
Sebagai wakil Pemerintah Daerah dalam hal pendidikan, yang mempunyai otoritas penuh dunia pendidikan di Daerah, sewajarnya jika Dinas Pendidikan turut serta dalam pengawasan dan keselamatan para siswa saat menuju ke sekolah dan saat menuju ke rumah sepulang sekolah.
Di manakah peran Kepolisian Lalu Lintas, Di manakah perannya?
Apakah pemilik otoritas jalan itu sudah kehilangan wibawa di depan anak-anak, sehingga tidak mampu untuk menghimbau atau memaksa penggunaan atribut berkendara? Regulasi sudah dibuat dan disahkan, bahwa yang berhak memiliki SIM hanyalah yang sudah berusia minimal 17 tahun.
Kita paham bersama bahwa regulasi itu sudah ada sejak lama, namun fakta di lapangan sangat berbeda. Zaman sudah berlari, sekarang anak usia SD sudah ada yang bisa dan berani berkendara di jalan raya. Saya tiidak sedang mengajak merubah regulasi itu. Ini soal anak bangsa, Ini soal anak-anak kita, ini demi generasi Indoneisa, bukankah setiap anak adalah anak kita, bukankah setiap remaja adalah remaja kita, mereka adalah penerus estafeta tahta Indonesia.
Menyelamatkan anak-anak juga bagian dari amanat pendiri bangsa ini, tertuang dalam lagu Indonesia Raya pada stanza tiga;
Indonesia tanah yang suci//Tanah kita yang sakti//Di sanalah aku berdiri//N'jaga ibu sejati//Indonesia tanah berseri//Tanah yang aku sayangi//Marilah kita berjanji//Indonesia abadi//S'lamatlah rakyatnya//S'lamatlah putranya//Pulaunya, lautnya, semuanya//Majulah Neg'rinya//Majulah pandunya//Untuk Indonesia Raya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H