Mohon tunggu...
Panji Septo Raharjo
Panji Septo Raharjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya sangat menyukai dinamika politik di tanah air. Tidak hanya seru, politik di Indonesia sangat hidup dengan berbagai kelakar dan cerita-cerita lucu yang menyertainya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Demokrasi: Pemilihan Presiden di Negeri Fantasi

15 Februari 2024   16:47 Diperbarui: 17 Februari 2024   00:39 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangerang Selatan (15/2) - Momen pergantian presiden di negeriku tak memberi arti meski acap kali dinanti-nanti, apalagi karena terjadi lima tahun sekali. Saat itu, masyarakat harus menentukan pemimpin tanah air dalam waktu dekat meski negeri sedang sekarat.

Sayangnya momen yang akan mengamanahkan seorang pemimpin kini tak menyenangkan lagi. Pesta demokrasi pada 2024 menjadi momen yang tak dinanti, setidaknya bagi saya pribadi.

Mengapa demikian? Akan saya ceritakan dongeng yang mengantarkan Anda berimajinasi dan berfantasi. Cerita ini boleh saja tak disetujui bahkan dimaki-maki, namun cobalah gunakan pikiran serta akal sehat pribadi agar emosi bisa terkendali.

Hal menyedihkan tersebut berawal dari presiden yang bermanuver sebelum kontestasi politik dimulai. Kala itu, seorang guru besar membeberkan adanya bau anyir tercium dari arah istana. 

Ia mengungkap bahwa presiden ingin berkuasa sekali lagi. Akan tetapi, banyak pertentangan yang membuat hal tersebut tak dimungkinkan meski adik iparnya bisa saja membantu sewaktu-waktu.

Bau busuk itu pun menyebar hingga menusuk hidung para pemangku kepentingan. Namun, berkuasa sekali lagi bukan berarti harus mencalonkan diri sebagai pribadi. Bisa pula menggunakan cara tertentu agar kekuasaan bisa dipegang darah dagingnya sendiri.

Pada suatu hari, sang guru besar bercerita soal presiden yang hendak memenangkan calon presiden tertentu, pastinya presiden akan memberi dukungan penuh. Isu-isu tersebut dibarengi dengan undangan presiden kepada para ketua umum partai politik pendukung pemerintahan untuk mengunjungi istana.

Siapa gerangan yang mengetahui pembicaraan mereka? Usut punya usut, presiden kala itu sudah menentukan jagoan dan meminta para pendukung pemerintah menyetujui alur logikanya. Pertanyaannya, untuk kepentingan siapa? Presiden secara pribadi?

Saya sempat mendapat kesempatan bertanya kepada beliau, apa sih urgensinya seorang presiden mengundang para ketua umum partai politik itu? Apakah presiden dengan sengaja ikut campur atau 'cawe-cawe' dalam pertarungan politik yang akan datang? Beliau membantah.

Dalam pengakuannya, ia menyebut pertemuan itu hanya sekadar diskusi. Sebab, dirinya merupakan pejabat politik dan tak ada satupun pelanggaran yang ia lakukan. Menurutnya, capres dan cawapres yang akan bertarung di dalam gelanggang merupakan urusan partai atau gabungan partai politik saja.

Beberapa hari kemudian, kejutan mulai berdatangan. Tiba-tiba ia mengaku cawe-cawe untuk bangsa dan negara. Apa sih maksudnya? Meski demikian, dia berjanji tidak melanggar aturan, undang-undang, dan mengotori demokrasi dalam momen lima tahunan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun