Mohon tunggu...
Panjijayadi
Panjijayadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

HUKUM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyelewengan Tujuan dan Manfaat Investasi di KEK Mandalika

3 Oktober 2022   20:10 Diperbarui: 3 Oktober 2022   20:19 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENYELEWENGAN TUJUAN DAN MANFAAT INVESTASI OLEH ASIAN INFRASTRUCTURE INVESTMENT BANK SELAKU INVESTOR ASING DI KEK MANDALIKA MELALUI PENDEKATAN NORMATIF-KONTRADIKTIF ANTARA SITUASI MULTI SEKTORAL DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL


Issue (Isu)

Proyek Kawasan Ekonomi Khusus di Nusa Tenggara Barat tepatnya di Pulau Lombok yang kemudian lebih dikenal sebagai KEK Mandalika merupakan pusat kegiatan ekonomi terlebih pada etika bisnis ekonomi kreatif yang terpusat pada wilayah Lombok Tengah. Hal ini diciptakan semata-mata untuk melakukan produktifitas pembangunan yang bersandar pada program Sustainable Development Goals atau yang lebih dikenal sebagai Program SDGs; lebih-lebih untuk menindaklanjuti Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau yang lebih dikenal sebagai MP3EI.

Permasalahan secara strategis timbul ketika PT. Indonesian Tourism Development Corporate (PT. ITDC) selaku penyedia lahan hanya memiliki kas yang minim dan arahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mensyaratkan pembangunan KEK Mandalika melalui program kerjasama investasi. 

Hal ini semata-mata dikarenakan pekerjaan utama indonesia yang kemudian menghasilkan persentase PDB tertinggi hanya melalui kegiatan ekspor-impor dan pembukaan keran investasi seluas-luasnya yang kemudian membuat indonesia hanya bergantung pada fluktuasi status pasar, tidak melalui kemandirian pembangunan industri nasional. Lagi-lagi, APBN yang diterima melalui PDB Indonesia hanya bergantung pada penjualan komoditas internasional yang harganya telah diatur dalam peraturan dagang yang diciptakan oleh World Trade Organization (WTO).

Walaupun baru-baru ini kita melihat telah berdirinya sirkuit MotoGP yang begitu megah, tetapi, dibalik tembok Dorna Sports, terdapat masyarakat Desa Ebunut yang masih tinggal di wilayah tersebut. Lebih lanjut, permasalahan taktis timbul karena penyelenggaraan Idemitsu Asian Talent Cup (IATC) telah dilakukan, tetapi masyarakat sekitar yang lahannya dirampas masih belum mendapatkan kepastian akan 9 (sembilan) bahan pokok kehidupan dan lokasi relokasi yang layak.

Hal ini kemudian mendapatkan perhatian dan respon dari Olivier De Schutter, UN Special Rapporteur (Pelapor Khusus PBB) untuk kemiskinan ekstrim dan hak asasi manusia. Dalam siaran persnya, ia mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghormati Hak Asasi Manusia dan hukum yang berlaku dengan adanya laporan bahwa proyek pariwisata senilai USD 3 miliar di pulau Lombok telah menimbulkan perampasan tanah yang agresif, penggusuran paksa terhadap Masyarakat Adat Sasak, dan intimidasi serta ancaman terhadap pembela hak asasi manusia. Lebih lanjut, beliau mengatakan: “Para petani dan nelayan terusir dari tanah yang mereka tinggali, serta rumah, ladang, sumber air, peninggalan budaya serta situs religi mereka mengalami perusakan karena Pemerintah Indonesia dan ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) akan menjadikan Mandalika sebagai 'Bali Baru'.”

Tim Special Rapporteur lebih lanjut menegaskan bahwasannya proyek pembangunan yang amoral ini semata-mata dapat berjalan karena adanya dukungan investasi yang diberikan oleh Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) milik China sebanyak 3,6 Triliun Rupiah. AIIB dalam mengucurkan dana investasi dinilai tidak tuntas dalam uji due diligence sebagai investor terkhusus dalam mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, mempertanggungjawabkan dampak buruk terhadap HAM.

Hal inilah yang kemudian menjadi pertanyaan fundamentalis bagi seorang investor terlebih investor asing, apakah investasi dalam hal ini merupakan investasi yang bersandar pada prinsip yang sehat bagi seorang investor?


Rule (Peraturan yang Terkait)

Mengingat permasalahan ini cenderung melihat penyelewengan hak asasi manusia yang dilakukan AIIB selaku salah satu investor asing yang lagi-lagi secara tidak langsung mengindahkan perampasan lahan yang tentu tidak ekologis seperti penghilangan karakter tanah gembur menjadi karakter tanah yang tandus serta sumber air bersih masyarakat Desa Bunut yang di alihkan ke fasilitas-fasilitas milik KEK Mandalika, Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan corong utama dalam peraturan perundang-undangan yang lebih lanjut mengatur mengenai investasi merupakan peraturan perundang-undangan yang mempunyai kontradiksi dengan implementasi pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat dari pendekatan empirik dan menemukan kontradiksi Pasal 3 ayat (2) huruf f, dan huruf h; Pasal 10 ayat (1); Pasal 15 huruf a dan huruf d Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Pasal 15 huruf a Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal sendiri mengatur lebih lanjut mengenai kewajiban penanam modal yang harus menerapkan 5 (lima) prinsip Good Corporate Governance atau 5 (lima) tata kelola perusahaan yang baik. Kelima prinsip tersebut terdiri dari: Prinsip Transparansi, Akuntabilitas, Tanggung jawab, Independensi, Kewajaran dan kesetaraan; prinsip yang kemudian dinilai telah dilanggar oleh AIIB sendiri adalah prinsip Tanggung jawab yang mempunyai komposisi prinsip akan wajibnya menjalankan tanggung jawab sosial, antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan. 

Serta prinsip Independensi yang lebih lanjut mengatur untuk tidak memonopoli karena suatu orientasi subjektif; prinsip ini terlebih menegaskan bahwasannya organ perusahaan harus menghindari dominasi, tidak terpengaruh kepentingan tertentu, bebas dari conflict of interest dan segala pengaruh atau tekanan, untuk menjamin pengambilan keputusan yang objektif.

Pendekatan normatif yang kemudian lebih-lebih dapat dilihat dari kacamata hukum internasional adalah melalui UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) yang juga dilanggar oleh AIIB dalam menjalankan uji Due Diligence terkhusus dalam mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, dan mempertanggung jawabkan dampak buruk terhadap HAM.


Analysis (Analisa)

Melalui pendekatan empiris, saya selaku penulis dengan ini secara terang memperoleh data sebagai komparasi dan pembuktian baik data primer maupun sekunder melalui hasil investigasi dari Tim Investigasi Khusus Front Perjuangan Rakyat Nusa Tenggara Barat (data primer) dan Siaran Pers yang dilakukan oleh Mr. Olivier de Schutter selaku UN Special Rapporteur for Extreme Poverty and Human Rights (data sekunder). Hingga sampai saat ini, masyarakat Desa Bunut masih belum mendapatkan kepastian akan sumber air bersih,  9 (sembilan) bahan pokok untuk menunjang kehidupan manusia, dan lokasi relokasi yang layak ditinggali. 3,6 Triliun Rupiah yang digelontorkan oleh AIIB setidak-tidaknya tetap mempunyai komposisi pembagian dana untuk menggelontorkan biaya kompensasi lahan yang tidak mempunyai akta kepemilikan pada tiap-tiap HPL, salah satu contohnya adalah HPL 22 dengan besaran ganti rugi Rp 3.000.000,-/bangunan permanen dan semi permanen; dimana lagi-lagi AIIB selaku investor asing tidak menetapkan ukuran dalam bentuk nominal tertentu dalam mengganti kerugian masyarakat yang lahannya digusur.

Melalui pendekatan normatif, menurut saya terdapat dua kontradiksi besar antara prinsip dan kewajiban investor terlebih investor asing dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang dimana aktor utama penyelewengan prinsip investor asing disini merupakan Asian Infrastructure Investment Bank itu sendiri.

 Jika melakukan pendekatan empiris-normatif yang bersandar pada situasi; Pasal 3 ayat (2) huruf f (mendorong ekonomi kerakyatan) dan huruf h (meningkatkan kesejahteraan masyarakat) Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, yang menjelaskan mengenai tujuan investasi, lebih lanjut telah memberikan corong yang menegaskan bahwasannya AIIB selaku investor asing tidak benar-benar mengindahkan adanya keadilan organik dan karakter investasi yang berwawasan lingkungan. 

Hal ini dapat dilihat dari bagaimana AIIB melakukan perampasan lahan melalui skema akumulasi primitif dengan biaya ganti rugi hanya Rp 3.000.000,- saja pada tiap-tiap HPL. Terminologi ekonomi kerakyatan sendiri lagi-lagi adalah sistem ekonomi yang mempunyai tendensi dan bersandar pada kepentingan rakyat. 

Dalam hal ini, rakyat sendiri tidak diikutsertakan karena modal awal pembangunan KEK Mandalika sendiri melalui AIIB bukanlah rakyat. Timbullah pertanyaan bagaimana menciptakan basis ekonomi kerakyatan? Pembangunan industri nasional adalah jawabannya, bukan industri manufaktur yang dimiliki oleh Indonesia saat ini yang hanya mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi. Industri nasional sendiri merupakan instrumen pembangunan negara yang mempunyai ketergantungan terhadap produktifitas rakyat, bukanlah produktifitas pasar kapital (fluktuasi pasar internasional). Industri nasional sendiri merupakan industri yang dikelola oleh negara lagi-lagi oleh tendensi kepemimpinan rakyat yang hanya ditemukan dalam ideologi Demokrasi Nasional; singkatnya, rakyat akan diikutsertakan dalam pembangunan negara melalui instrumen industri nasional.

Mengingat Indonesia saat ini hanya berkutat pada pekerjaan utama yaitu skema ekspor-impor dan pembukaan keran investasi yang luas hanya karena kuantitas yang diterima sangatlah besar, tetapi titik tekannya adalah, skema ini tidak sustainable dan sangat sporadis (tidak berkelanjutan). Maka dari itu, untuk mengisi APBN yang biasa disebut sebagai ‘dompet negara’, investasi berlebih seperti yang dilakukan oleh AIIB terhadap KEK Mandalika tidak akan pernah dapat mengindahkan pembangunan ekonomi kerakyatan. 

Selebihnya pada pasal 3 ayat (2) huruf h, mengingat model akumulasi primitif melalui perampasan lahan secara paksa dengan cara praktik hitam diatas putih, intimidasi, teror, ancaman, dan represifitas oknum aparat, hingga usaha gagal dalam relokasi Desa Ebunut sehingga menciptakan desa yang terisolir dan selalu kurang akan 9 bahan pokok terkhusus air bersih yang pastinya tidak akan pernah menjamin pekerjaan masyarakat terdampak terlebih pada bagaimana usaha masyarakat terdampak tetap mempertahankan hidupnya; andil AIIB pun juga tidak pernah mengindahkan narasi ’meningkatkan kesejahteraan masyarakat’ yang telah diatur secara legal.

Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi: “Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia” secara kasuistik juga membuktikan bahwa adanya agenda investasi AIIB tidak menjanjikan tenaga kerja indonesia adalah tenaga kerja yang primer dan mayor. Karena adanya program besar One Belt One Road (OBOR) yang sekarang sudah berganti nama program menjadi Belt and Road Inisiative (BRI), AIIB sebagai instrumen dan lokomotif utama pembangunan proyek BRI, cenderung perlu memberikan ruang lebih untuk para pegawainya karena program MP3EI yang mempunyai program 10 Bali Baru sendiri merupakan salah satu program yang di inisiasi oleh WTO, tetapi kesempatannya justru di rebut oleh AIIB, dan tanggung jawab pembangunan KEK Mandalika setidak-tidaknya juga milik AIIB selaku investor asing, sehingga secara empirik tidak memberikan lapangan kerja yang mayor bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana PT. ITDC-pun telah mewadahi para korban perampasan lahan tetapi tetap selektif untuk kemudian dapat bekerja di fasilitas KEK Mandalika.

Pasal 15 huruf a (menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik) dan huruf d (menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal) Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal pun memberikan gambaran mengenai AIIB yang telah melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik yang sebelumnya telah diatur dalam 5 (lima) prinsip Good Corporate Governance atau 5 (lima) tata kelola perusahaan yang baik. 

Kelima prinsip tersebut terdiri dari: Prinsip Transparansi, Akuntabilitas, Tanggung jawab, Independensi, Kewajaran dan kesetaraan; prinsip yang kemudian dinilai telah dilanggar oleh AIIB sendiri adalah prinsip Tanggung jawab yang mempunyai komposisi prinsip akan wajibnya menjalankan tanggung jawab sosial, antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan. Model perampasan akumulasi primitif tersebut yang kemudian melahirkan karakter memaksa dalam tiap-tiap pengambil-alihan lahan, baik dalam praktik hitam diatas putih, intimidasi, ancaman, teror terhadap para masyarakat Kuta hingga pemaksaan pengambil-alihan lahan tanpa melihat potensi kerusakan alam. AIIB tidak benar-benar ekologis dalam mengindahkan agenda investasinya. 

Selebihnya, UN Special Rapporteur, Olivier de Schutter telah mengemukakan bahwa skema perampasan lahan telah menciptakan kerusakan alam terkhususnya pada laha-lahan milik masyarakat adat, dan bahkan kebudayaan Adat Sasak itu sendiri. Penembokan yang dilakukan oleh AIIB bersama dengan Vinci Construction Grand Project (VCGP) untuk membangun hotel pada beberapa wilayah pesisir pantai telah menghilangkan kebudayaan “Bau Nyale” yang biasa dilakukan oleh masyarakat Adat Sasak Kuta Mandalika di beberapa wilayah pesisir pantai.

Serta prinsip Independensi yang lebih lanjut mengatur untuk tidak memonopoli karena suatu orientasi subjektif; prinsip ini terlebih menegaskan bahwasannya organ perusahaan harus menghindari dominasi, tidak terpengaruh kepentingan tertentu, bebas dari conflict of interest dan segala pengaruh atau tekanan, untuk menjamin pengambilan keputusan yang objektif. Mengingat AIIB yang dengan implisit mengucurkan dana investasi senilai 3,6 Triliun Rupiah untuk menindaklanjuti program One Belt One Road (OBOR) yang sekarang sudah berganti nama program menjadi Belt and Road Inisiative (BRI) atau yang kemudian dikenal sebagai jalur sutera abad 21 (era neoliberalisme); AIIB sesungguhnya memang mempunyai kepentingan untuk tetap mempertahankan program BRI pada wilayah KEK Mandalika untuk tetap menjaga wadah akumulasi kapital-nya. AIIB tidak benar-benar independen, AIIB tetap harus bertarung dengan Vinci Construction Grand Project (VCGP) yang juga menanamkan modalnya untuk saling merebut ‘ladang-nya’ masing-masing walaupun VCGP merupakan proyek besar perusahaan pengembang, hal inilah yang kemudian dikenal sebagai conflict of interest. Selebihnya, UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) juga telah dilanggar oleh AIIB dalam menjalankan uji Due Diligence terkhusus dalam mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, dan mempertanggung jawabkan dampak buruk terhadap HAM.

 

Conclusion (Kesimpulan)

Proyek KEK Mandalika yang dikelola oleh PT. ITDC sebagai lembaga bentukan negara untuk membangun perekonomian negara melalui usaha perampasan lahan dengan skema akumulasi primitif (dalam hal ini pemaksaan) adalah keliru total. Andil investasi AIIB sebesar Rp 3,6 Triliun yang kemudian mempunyai komposisi pembagian dana untuk menggelontorkan biaya kompensasi lahan yang tidak mempunyai akta kepemilikan pada tiap-tiap HPL, sebesar Rp 3.000.000,-/bangunan permanen dan semi permanen merupakan ukuran ganti rugi yang tidak pasti mengingat dari tiap-tiap warga mempunyai perbedaan kepemilikan lahan masing-masing.

Terlebih pada skema akumulasi primitif (pengambil-alihan lahan secara paksa) yang dimana AIIB pun urut andil untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur juga sama hal-nya keliru. Dampak yang dialami oleh masyarakat sekitar adalah ketiadaan jaminan 9 bahan pokok yang seharusnya layak diperoleh manusia. Hal ini yang kemudian jelas bertentangan dengan Hak Asasi Manusia terkhususnya pada hak subsistensi sehingga pada akhirnya menimbulkan respon UN Special Rapporteur for Extreme Poverty and Human Rights, Mr. Olivier de Schutter. Melalui press release-nya, Schutter menjelaskan bahwa “Para petani dan nelayan terusir dari tanah yang mereka tinggali, serta rumah, ladang, sumber air, peninggalan budaya serta situs religi mereka mengalami perusakan karena Pemerintah Indonesia dan ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) akan menjadikan Mandalika sebagai 'Bali Baru'.” Terlebih pada bagaimana kemudian broker lahan (dalam hal ini PT. ITDC) menghilangkan nilai kebudayaan masyarakat untuk mmpertahankan tradisi “Bau Nyale” karena telah terjadinya penembokan yang dilakukan oleh AIIB selaku investor asing bersama dengan VCGP selaku perusahaan pengembang.

Secara normatif, Pasal 3 ayat (2) huruf f, dan huruf h; Pasal 10 ayat (1); Pasal 15 huruf a dan huruf d Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, juga memiliki kontradiksi terhadap implementasinya yang dilakukan oleh AIIB sendiri. Masing-masing pasal dan ayat telah secara rigit dijelaskan pada sub-bab pembahasan bagian analisis paper ini.

Belenggu ketergantungan investasi berlebih untuk membangun negara ini hanya dapat dihentikan ketika Indonesia telah membangun Industri nasional dengan syarat melakukan reforma agraria sejati untuk dapat memastikan berjalannya disiplin ekonomi pertanian sebelum memastikan disiplin ekonomi industri. Pembagian lahan kepada kaum dan buruh tani secara merata adalah langkah awal yang seharusnya dilakukan oleh Negara Indonesia.

Artikel ini disusun oleh :

Rafly Muzhaffar Rizqullah (D1A020435)

Panji Jayadi Buana (D1A020422)

Muthiya nurhaqul Iman (D1A020374)

Mesi Septiani (D1A020330)

M. Zaidi Hawari (D1A020298)

Maharani putri (D1A020317)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun