Mohon tunggu...
Panjijayadi
Panjijayadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

HUKUM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyelewengan Tujuan dan Manfaat Investasi di KEK Mandalika

3 Oktober 2022   20:10 Diperbarui: 3 Oktober 2022   20:19 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Selebihnya pada pasal 3 ayat (2) huruf h, mengingat model akumulasi primitif melalui perampasan lahan secara paksa dengan cara praktik hitam diatas putih, intimidasi, teror, ancaman, dan represifitas oknum aparat, hingga usaha gagal dalam relokasi Desa Ebunut sehingga menciptakan desa yang terisolir dan selalu kurang akan 9 bahan pokok terkhusus air bersih yang pastinya tidak akan pernah menjamin pekerjaan masyarakat terdampak terlebih pada bagaimana usaha masyarakat terdampak tetap mempertahankan hidupnya; andil AIIB pun juga tidak pernah mengindahkan narasi ’meningkatkan kesejahteraan masyarakat’ yang telah diatur secara legal.

Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi: “Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia” secara kasuistik juga membuktikan bahwa adanya agenda investasi AIIB tidak menjanjikan tenaga kerja indonesia adalah tenaga kerja yang primer dan mayor. Karena adanya program besar One Belt One Road (OBOR) yang sekarang sudah berganti nama program menjadi Belt and Road Inisiative (BRI), AIIB sebagai instrumen dan lokomotif utama pembangunan proyek BRI, cenderung perlu memberikan ruang lebih untuk para pegawainya karena program MP3EI yang mempunyai program 10 Bali Baru sendiri merupakan salah satu program yang di inisiasi oleh WTO, tetapi kesempatannya justru di rebut oleh AIIB, dan tanggung jawab pembangunan KEK Mandalika setidak-tidaknya juga milik AIIB selaku investor asing, sehingga secara empirik tidak memberikan lapangan kerja yang mayor bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana PT. ITDC-pun telah mewadahi para korban perampasan lahan tetapi tetap selektif untuk kemudian dapat bekerja di fasilitas KEK Mandalika.

Pasal 15 huruf a (menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik) dan huruf d (menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal) Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal pun memberikan gambaran mengenai AIIB yang telah melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik yang sebelumnya telah diatur dalam 5 (lima) prinsip Good Corporate Governance atau 5 (lima) tata kelola perusahaan yang baik. 

Kelima prinsip tersebut terdiri dari: Prinsip Transparansi, Akuntabilitas, Tanggung jawab, Independensi, Kewajaran dan kesetaraan; prinsip yang kemudian dinilai telah dilanggar oleh AIIB sendiri adalah prinsip Tanggung jawab yang mempunyai komposisi prinsip akan wajibnya menjalankan tanggung jawab sosial, antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan. Model perampasan akumulasi primitif tersebut yang kemudian melahirkan karakter memaksa dalam tiap-tiap pengambil-alihan lahan, baik dalam praktik hitam diatas putih, intimidasi, ancaman, teror terhadap para masyarakat Kuta hingga pemaksaan pengambil-alihan lahan tanpa melihat potensi kerusakan alam. AIIB tidak benar-benar ekologis dalam mengindahkan agenda investasinya. 

Selebihnya, UN Special Rapporteur, Olivier de Schutter telah mengemukakan bahwa skema perampasan lahan telah menciptakan kerusakan alam terkhususnya pada laha-lahan milik masyarakat adat, dan bahkan kebudayaan Adat Sasak itu sendiri. Penembokan yang dilakukan oleh AIIB bersama dengan Vinci Construction Grand Project (VCGP) untuk membangun hotel pada beberapa wilayah pesisir pantai telah menghilangkan kebudayaan “Bau Nyale” yang biasa dilakukan oleh masyarakat Adat Sasak Kuta Mandalika di beberapa wilayah pesisir pantai.

Serta prinsip Independensi yang lebih lanjut mengatur untuk tidak memonopoli karena suatu orientasi subjektif; prinsip ini terlebih menegaskan bahwasannya organ perusahaan harus menghindari dominasi, tidak terpengaruh kepentingan tertentu, bebas dari conflict of interest dan segala pengaruh atau tekanan, untuk menjamin pengambilan keputusan yang objektif. Mengingat AIIB yang dengan implisit mengucurkan dana investasi senilai 3,6 Triliun Rupiah untuk menindaklanjuti program One Belt One Road (OBOR) yang sekarang sudah berganti nama program menjadi Belt and Road Inisiative (BRI) atau yang kemudian dikenal sebagai jalur sutera abad 21 (era neoliberalisme); AIIB sesungguhnya memang mempunyai kepentingan untuk tetap mempertahankan program BRI pada wilayah KEK Mandalika untuk tetap menjaga wadah akumulasi kapital-nya. AIIB tidak benar-benar independen, AIIB tetap harus bertarung dengan Vinci Construction Grand Project (VCGP) yang juga menanamkan modalnya untuk saling merebut ‘ladang-nya’ masing-masing walaupun VCGP merupakan proyek besar perusahaan pengembang, hal inilah yang kemudian dikenal sebagai conflict of interest. Selebihnya, UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) juga telah dilanggar oleh AIIB dalam menjalankan uji Due Diligence terkhusus dalam mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, dan mempertanggung jawabkan dampak buruk terhadap HAM.

 

Conclusion (Kesimpulan)

Proyek KEK Mandalika yang dikelola oleh PT. ITDC sebagai lembaga bentukan negara untuk membangun perekonomian negara melalui usaha perampasan lahan dengan skema akumulasi primitif (dalam hal ini pemaksaan) adalah keliru total. Andil investasi AIIB sebesar Rp 3,6 Triliun yang kemudian mempunyai komposisi pembagian dana untuk menggelontorkan biaya kompensasi lahan yang tidak mempunyai akta kepemilikan pada tiap-tiap HPL, sebesar Rp 3.000.000,-/bangunan permanen dan semi permanen merupakan ukuran ganti rugi yang tidak pasti mengingat dari tiap-tiap warga mempunyai perbedaan kepemilikan lahan masing-masing.

Terlebih pada skema akumulasi primitif (pengambil-alihan lahan secara paksa) yang dimana AIIB pun urut andil untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur juga sama hal-nya keliru. Dampak yang dialami oleh masyarakat sekitar adalah ketiadaan jaminan 9 bahan pokok yang seharusnya layak diperoleh manusia. Hal ini yang kemudian jelas bertentangan dengan Hak Asasi Manusia terkhususnya pada hak subsistensi sehingga pada akhirnya menimbulkan respon UN Special Rapporteur for Extreme Poverty and Human Rights, Mr. Olivier de Schutter. Melalui press release-nya, Schutter menjelaskan bahwa “Para petani dan nelayan terusir dari tanah yang mereka tinggali, serta rumah, ladang, sumber air, peninggalan budaya serta situs religi mereka mengalami perusakan karena Pemerintah Indonesia dan ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) akan menjadikan Mandalika sebagai 'Bali Baru'.” Terlebih pada bagaimana kemudian broker lahan (dalam hal ini PT. ITDC) menghilangkan nilai kebudayaan masyarakat untuk mmpertahankan tradisi “Bau Nyale” karena telah terjadinya penembokan yang dilakukan oleh AIIB selaku investor asing bersama dengan VCGP selaku perusahaan pengembang.

Secara normatif, Pasal 3 ayat (2) huruf f, dan huruf h; Pasal 10 ayat (1); Pasal 15 huruf a dan huruf d Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, juga memiliki kontradiksi terhadap implementasinya yang dilakukan oleh AIIB sendiri. Masing-masing pasal dan ayat telah secara rigit dijelaskan pada sub-bab pembahasan bagian analisis paper ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun